Ada banyak, juga beragam, respons netizen terhadap kolom bertajuk Lebih Baik Dituduh PKI daripada PKS. Ketika tayang dan tersebar ke hampir antero jagat maya, tak sedikit nada-nada sinis terlontar untuknya. Disebut inilah, itulah, anulah, apalah-apalah, semua tampak tertuju pada aras yang sama: PE…NO…LA…KAN!
Netizen anti-PKI zaman now tampaknya memang begitu. Meski tak bisa jadi patokan bahwa mayoritas darinya menolak kolom viral Geotimes itu, respons-respons atasnya, saya kira, tetap harus dinilai sebagai hal yang patut diberi tanggapan balik. Bukan karena anti-kritik, tetapi mendiamkan kekeliruan adalah juga laku yang munafik. Dalam hal apa pun, mesti ada ketegasan. Itu perlu.
Melalui kolom terbaru ini, saya hanya akan memberi penegasan sekaligus tanggapan balik atas opini Grady Nagara. Dalam tulisannya, Kalo Ane Sih, Gpp Dituduh PKS, pendaku “pengamat politik” itu menilai kecenderungan pilihan saya sebagai sesuatu yang absurd. Bahkan, judul dan sumbernya pun dinilai serupa. Lebih memilukan lagi adalah karena menganggap absurd kencenderungan pilihan, judul, serta sumber rujukan, maka analisis dan hasilnya pun dipandang seirama: sama-sama absurd, katanya.
Oh, inginku berteriak dan berkata: sumpe loe? Secara ilmu logika sih (ciee..) sudah tepat. Standar. Cara pengambilan keputusannya memenuhi kaidah-kaidah ilmiah, menarik kesimpulan berdasar premis-premis yang ada. Terlepas premisnya benar atau tidak, itu soal lain, yang sayangnya justru tidak tercermati sedemikian rupa.
Dalam makna dasarnya, absurd adalah kata sifat yang berarti “tidak masuk akal; mustahil”. Biasanya, sesuatu yang dianggap absurd (tidak masuk akal) adalah ia yang memang tidak bisa dinalar, tidak terbukti kevalidannya secara nyata, seperti cerita-cerita mitos, legenda, mukjizat nabi-nabi, dan sebangsanya yang lain.
Pada pilihan atau kecenderungan pilihan, atas dasar apa ia lantas disebut sebagai yang tidak masuk akal alias absurd? Apakah lantaran pilihannya itu unik atau anti-arus utama? Jangan mencap seenak dengkul, dong. Tiap orang punya pilihan masing-masing, hidup, sikap, pandangan, dan lain sebagainya. Tidak mesti semua harus seragam, justru seringnya tampak beragam. Keberagaman adalah fitrah dan penyeragaman adalah penindasan. Seperti sedang orasi saja ya.
Ketika pilihan yang lain berbeda dengan pilihan kita, itu tak berarti ia lantas tidak masuk akal. Milih PKI, kok, dibilang absurd? Maunya milih PKS, gitu? Justru sebaliknya, anggapan yang demikian itu sendirilah yang absurd. Jadinya, ya maling teriak maling. Merespons sesuatu yang dianggap absurd dengan absurditas. Wadefak!
Bagaimana dengan sumbernya? Padahal di sana sudah tertulis jelas, polling Luthfi Assyaukanie yang jadi rujukan itu saya tempatkan sebagai sesuatu yang memang tak bisa diklaim representatif. Meski begitu, kemasuk-akalannya sangat nyata, yakni berdasar pada pilihan ribuan netizen pengguna Twitter. Itu fakta. Jauh lebih ilmiah ketimbang klaim-klaim kebenaran religius, yang tidak bisa dipastikan asal-usul sumbernya.
Saya berani bersaksi, malahan hakkul yakin, bahwa penulis yang juga alumnus Universitas Indonesia itu tidak betul-betul membaca sumber kritikannya sendiri. Jika benar ia membaca tanpa sekadar mengeja, tentu pertanyaan seputar penyandingan PKS dengan PKI tidak terlontar lagi. Sebab, di sana, di sumber kritikannya itu, lagi-lagi sudah jelas tersurat: berdasar pada cuitan @idetopia sebagai sumber rujukannya.
Artinya, bukan semata mempersandingkan PKI-PKS begitu saja, tapi itu sekadar respons pada apa yang sudah ada. Jadi, kalau ingin menanyakan perihal ini, maka tanya langsung saja kepada pembuat polling-nya. Maksud saya, buanglah sampah pada tempatnya. Understood, kan? You know-lah.
Meski mengaku bukan kader PKS, karena tidak punya kartu anggota partai (katanya), rasa-rasanya ia adalah pendukung/simpatisan partai berbau Islam itu—rasa-rasanya, lho; bisa benar, bisa tidak. Itu tampak dari seberapa getolnya ia membela PKS dengan mengarahkan pembaca untuk melirik kasus korupsi anggota partai di luarnya, yakni ke papa Setya Novanto. Ia tak mau menyoal kasus korupsi kader-kader PKS hanya karena dinilai sejumput, tidak banyak, tidak besar, jika dibanding dengan kasus yang melilit Ketua DPR RI.
Sekarang saya tanya, benarkah Setnov itu korupsi? Apa buktinya? Ini Indonesia, ya akhi, bukan bumi datar. Sebagai negara hukum, pengadilan yang menentukan itu. Tak bisa orang mengira-ngira begitu saja, apalagi sampai main hakim sendiri. Selama belum ada keputusan absah dari dewan hakim yang menyatakan Setnov korupsi, maka selama itu pula Setnov tak bisa diklaim seperti itu.
Ini tidak menutup mata. Terserah orang mau menilai bagaimana gelagat Hakim Cepi Iskandar. Ini hanya soal terbukti atau tidaknya seseorang melakukan tindak pidana korupsi saja. Maka, jika dibanding kader-kader PKS seperti LHI, Gatot, Sigit, dan Yudi, setidaknya Setnov masih terbukti bersih daripada merekalah. Entah di kemudian hari Setnov terbukti, itu persoalan lain. Yang jelas, sekarang, Setnov tak terbukti melakukan hal yang sama yang dilakukan oleh kader-kader PKS yang kini terkurung dalam penjara.
Jika memang anggota Kelompok Muslim Dialektis (Kemudi) itu mau adil dalam berpikir, bersikap, bertindak, sebagaimana serunya, maka di sinilah saatnya. Biar bagaimanapun, pikiran atau sikap adil itu juga harus berdasar. Jangan mematoknya pada klaim, apalagi bersambut dengan kebencian. Itu tak adil juga namanya.
Masih soal korup-mengkorup di tubuh PKS. Toh saya tidak menyebut bahwa partai besutan tokoh-tokoh KAMMI itu adalah partai paling korup. Justru saya menulis: bukan hanya PKS yang berperilaku kotor semacam ini; hampir semua partai politik yang punya posisi strategis di pemerintahan berlaku sama. Duh, bisa baca gak sih orang ini? Menjadi semakin jelas ke-hakkul-yakin-an saya saja kalau begitu. Ia sebenarnya tidak membaca. Bahkan, sekadar mengeja kata per katanya pun hampir tidak.
Terkait soal pernyataan “PKS benar-benar mengandung banyak koruptor”, apa yang salah coba? Empat koruptor yang tersaji di kolom itu, apa iya tidak bisa jadi bukti bahwa PKS benar-benar mengandung banyak pencuri uang? Anak kecil pun tahu, keles, bahwa lebih dari 1 alias minimal 2 adalah angka yang sudah terbilang banyak. Atau jangan-jangan penulisnya tak pernah ikut kelas matematika waktu duduk di bangku SD dulu? Atau mungkin di saat kuliah di UI ia diajarkan untuk menyangkal ketentuan yang sudah ada dari sejak zaman batu itu? Entahlah.
Soal pencantuman nama Musa Zainuddin. Netizen, termasuk sang penulis opini, menilai penempatan Musa di kolom itu adalah keliru. Apa sebab? Karena Musa bukan politikus PKS, melainkan berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Jujur, saya sebelumnya tidak tahu-menahu siapa itu Musa Zainuddin, dari mana ia bersumber. Tapi, satu yang pasti, ia ikut terlibat dalam kasus korupsi yang melilit kader PKS Yudi Widiana Adia. Yudi adalah wakil di Komisi V DPR saat melakukan tindak pidana korupsi. Sedang Musa sebagai anggotanya, ikut membantu melakukan kejahatan perampokan uang rakyat itu.
“…fakta penambalnya datang dari Musa Zainuddin. Ia disebut menyalurkan dana aspirasinya sebesar Rp 104,7 miliar ke proyek pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara.”
Apa yang salah dari kutipan di atas? Selain tak menyebut Musa adalah politikus PKS, yang saya maksud sendiri adalah koruptor ini terlibat-serta sebagai penambal dalam kasus korupsi yang melilit kader PKS Yudi. Karena sama-sama di Komisi V DPR, keduanya tersandung kasus korupsi terkait proyek pembangunan infrastruktur pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sampai di sini, semoga clear.
Tentang perbandingan kaderisasi. Jika benar PKS juga melakukan metode serupa dengan apa yang jadi ciri khas PKI, terutama di tahun-tahun revolusi 50-an, maka sudah selayaknyalah bahwa PKS juga bertengger sebagai partai terkuat di lingkup nasional. Karena ini belum terbukti, sebagaimana PKI yang mampu menjadi partai terkuat ke-4 berkat metode kaderisasinya yang cukup solid (turun ke bawah atau turba), maka PKS belum pantas dinyatakan begitu. Bukti itu perlu.
“PKS juga terkenal solid dan bahkan kader-kadernya rela bekerja tidak dibayar. Datang saja ke aksi-aksi kemanusiaan PKS yang jumlah pesertanya selalu fantastis. Silakan wawancara salah satu pesertanya. Saya yakin, mereka bahkan tidak dibayar sepeser pun, dan tidak seperti demo-demo bayaran lainnya yang di akhir aksi para peserta mengantri untuk mendapatkan box nasi dan amplop.”
Jangan lupa, tak mungkinlah ada anggota, pendukung/simpatisan partai tertentu yang akan membeberkan kebobrokan partai jagoannya sendiri. Lantaran suka, salah atau benar kelakuannya, pasti tetap akan dinyatakan benar. Kecenderungannya begitu. Dan inilah yang sebenarnya tidak adil, baik dalam berpikir, bersikap, juga dalam perbuatan.
Terakhir, yang membuat saya hampir mau mati ketawa adalah penolakannya terhadap PKI berdasar ketakutan pribadinya. Ia menolak PKI, menolak memilihnya, dan lebih baik dituduh PKS karena takut digebuk oleh preman-preman jalanan (yang mengaku Pancasilais).
Benar-benar netizen anti-PKI zaman now: pilihannya didasarkan pada kemauan orang lain. Tidak punya sikap. Maunya didikte. Emoh-lah saya diajak ngopi sama orang yang beginian. Maaf, saya mending ngopi sendiri kalau begitu.