Ia bernama lengkap Michael Hannahan. Biasa dipanggil Mike, Direktur Civic Initiative pada Donahue Institute, University of Massachusetts, Amherst, Amerika Serikat. Mike adalah penyandang gelar doktor di bidang ilmu politik. Sering menyatakan diri sebagai seorang agnostik, betapapun ia lahir dalam keluarga dengan tradisi Katolik yang kental.
Kakeknya yang berasal dari Irlandia dan bermigrasi ke Amerika Serikat pada paruh terakhir abad ke-19 adalah seorang penganut Katholik fanatik. Dalam sebuah sesi kuliah tentang agama dan politik di Amerika Serikat, Mike membuat sebuah kesimpulan yang mengejutkan. Setidaknya bagi saya. Ia mengatakan: “Muhammad is a political genius.” Menurutnya, Nabi Muhammad adalah seorang pemimpin politik yang luar biasa cerdas.
Tersentak oleh pernyataan ini, saat berada di luar kelas, saya berusaha mencari kesempatan untuk melakukan konfirmasi dan penjelasan lebih jauh dari Mike. Jangan-jangan saat itu saya salah menangkap. Atau bisa jadi pula, Muhammad yang ia maksudkan adalah Muhammad yang lain, bukan Muhammad Nabi panutan umat Islam.
“Ya, benar. Saya memang menganggap Muhammad sebagai seorang pemimpin politik yang sangat cerdas,” demikian kata Mike ketika saya meminta konfirmasi. “Bisakah Anda memberikan elaborasi singkat tentang kesimpulan ini?” tanya saya.
“Mari kita duduk,” ajak Mike. Setelah kami berdua duduk, Mike lalu menjelaskan. Pertama, untuk melihat kejeniusan Nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin, adalah melalui perbandingan dengan pemimpin-pemimpin agama lain, seperti Isa atau Buddha Gautama! Mike berkeyakinan bahwa jika dibandingkan dengan kedua pemimpin agama ini, Nabi Muhammad memiliki keunggulan, yakni pernah memimpin angkatan perang.
Sementara, dalam sejarah, Isa dan Buddha Gautama tidak pernah melakukan hal yang sama. Padahal tidak sekali dua kali, Nabi Muhammad berhasil memperoleh kemenangan ketika memimpin pasukan perang kaum Muslimin. “Dari satu bukti ini saja,” kata Mike, “sudah menjadi bukti bahwa Muhammad seorang pemimpin politik yang sangat jenius.”
Kedua, masih dalam perbandingan dengan Isa dan Buddha Gautama, Mike memandang Nabi Muhammad bukan tidak mengajarkan falsafah tentang kehidupan. Lebih dari itu, Nabi Muhammad bahkan memimpin secara langsung perubahan-perubahan yang ia ajarkan itu.
Kecerdasan politik Nabi Muhammad adalah juga dalam hal mengontrol waktu. Mike mengaitkannya dengan salat lima waktu. Dengan memimpin salat lima waktu secara langsung, Nabi Muhammad sebenarnya tidak hanya mengajarkan umat Islam awal tentang pilar agama, tetapi melakukan kontrol sosial atas umat Islam.
Selain itu, kecerdasan politik Nabi Muhammad ini juga terekam dalam sejumlah perjanjian yang ia lakukan dengan berbagai pihak, dengan pihak-pihak di Mekkah maupun Madinah. Tentang kesepakatan-kesepakatan yang dibuat Nabi Muhammad dengan penduduk Madinah, Mike berkesimpulan bahwa hanya orang yang memiliki kecerdasan politiklah yang mampu mengikat masyarakat yang secara identitas begitu majemuk dalam satu komunitas.
Contoh lainnya adalah perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan Nabi Muhammad dengan penduduk Mekkah atau Suku Quraisy, sekilas nampak seperti merugikan kelompok Muslim.
Di luar Mike, ada seorang kawan dari Amerika yang ketika berdiskusi tentang Perjanjian Hudaibiyah menyatakan keheranannya atas keputusan Nabi Muhammad menerima butir-butir perjanjian dengan Suku Quraisy itu. Tetapi, “Di situlah saya melihat Muhammad sebagai seorang jenius dalam hal politik. Muhammad tidak berfikir hanya tentang hari ini, tetapi tentang proyeksi masa depan.”
Diskusi saya dengan Mike selesai. Tetapi diskusi singkat itu lalu memantik keingintahuan saya untuk melacak lebih jauh tentang pemikiran-pemikiran serupa yang dianut oleh para sarjana Barat. Jika mencari pendapat yang mengganggap negatif Nabi Muhammad, tentu sangat banyak. Tetapi pendapat yang di luar mainstream seperti ini sangat menarik. Lebih-lebih dikemukakan oleh seorang ilmuwan politik Amerika Serikat.
Mike adalah di antara sarjana Barat yang tidak secara khusus melakukan kajian tentang Islam, dan menemukan keunggulan Nabi Muhammad dalam bidang yang ia kaji itu. Apa yang diungkapkan Mike Hannahan ini, meski tidak tertulis, juga mengingatkan kepada seorang penulis yang menempatkan posisi Nabi Muhammad di atas posisi Isa melalui The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History (1978) yang ditulis Michael H Hart.
Buku itu memicu kontroversi karena Hart menempatkan Nabi Muhammad pada urutan pertama diikuti Isaac Newton, Yesus, kemudian Buddha Gautama. Hart menulis bahwa ia memberikan peringkat Muhammad lebih tinggi dari Yesus karena ia percaya bahwa Nabi Muhammad memainkan pengaruh pribadi yang lebih besar dalam perumusan agama Islam, dibandingkan dengan Isa dalam perumusan agama Nasrani.
Hart menyadari bahwa saat ia memilih Muhammad sebagai tokoh pada urutan dari tokoh-tokoh paling berpengaruh di dunia ini sangat mungkin akan menjadikan para pembaca kaget. Tak hanya membuat orang kaget, Hart juga tahu bahwa sangat mungkin beberapa pihak juga mempertanyakan kesimpulannya itu. Tetapi Hart bergeming dengan pendapatnya, karena ia berkeyakinan bahwa Muhammad adalah “the only man in history who was supremely successful on both the religious and secular level” (satu-satunya tokoh sejarah yang mampu meraih keberhasilan puncak dalam bidang agama dan dunia).
Bagi Hart, keistimewaan Muhammad adalah juga terletak pada asal-usulnya yang sederhana, tetapi mampu memainkan kepemimpinan politik yang efektif. Bahkan hingga berabad-abad setelah kepergiannya, pengaruh itu masih demikian kuat.
Sesungguhnya tidak terlalu sulit juga untuk menemukan pernyataan-pernyataan positif tentang Nabi Muhammad dari para sarjana Barat. Tetapi, sangat mungkin, pernyataan-pernyataan itu jarang sampai kepada umat Islam di Indonesia. Pernyataan-pernyataan seperti yang dikutip di atas, antara lain juga mengisyaratkan tentang akhlak seorang pemimpin yang harus mau menanggung rasa sakit.
Haji Agus Salim sering mengutip pepatah kuno Belanda, leiden is leijden, memimpin itu menderita. Teladan kepemimpinan politik ini juga bisa direkam melalui kesimpulan yang ditulis oleh William Montgamerry Watt yang menyebut Muhammad sebagai pemimpin dengan integritas. “His readiness to undergo persecutions for his beliefs, the high moral character of the men who believed in him and looked up to him as leader, and the greatness of his ultimate achievement –all argue his fundamental integrity. To suppose Muhammad an impostor raises more problems than it solves. Moreover, none of the great figures of history is so poorly appreciated in the West as Muhammad.” (W. Montgomerry Watt, Muhammad at Mecca, Oxford University Press, 1958, 52.)
Pandangan positif tentang Nabi Muhammad juga bisa dilihat melalui pernyataan George Bernard Shaw (1936) yang mempercayai Nabi Muhammad adalah orang yang mampu mendatangkan solusi masalah-masalah manusia modern, seandainya, dia saat ini masih ada dan memegang tampuk kepemimpinan manusia modern.
Bukan sekadar solusi, melainkan solusi yang benar-benar dibutuhkan dan membawa kebahagiaan bagi semua orang. Bahkan Bernard juga mengusulkan agar Muhammad diberikan julukan sebagai “the Savior of Humanity” atau Penyelamat Kemanusiaan. “I have prophesied about the faith of Mohammad that it would be acceptable the Europe of tomorrow as it is beginning to be acceptable to the Europe of today,” kata Bernard.
Publik Islam di Indonesia, sangat akrab dengan pernyataan Bernard Shaw, “Jika ada agama yang bisa menaklukkan Eropa pada masa 100 tahun mendatang, maka tidak lain, agama itu adalah Islam.”
Pengakuan positif tentang Nabi Muhammad terlihat di Gedung Mahkamah Agung Amerika Serikat atau U.S. Supreme Court Building. Dalam gedung itu, terdapat salah satu ruangan yang didedikasikan bagi para peletak hukum dari zaman ke zaman. Di dinding sebelah selatan, terdapat patung para peletak dasar dan penegak hukum pada zaman kuno seperti Hammurabi, Musa, Sulaiman, dan Confucius.
Sementara di sebelah utara patung atau lukisan pahat di dinding adalah tokoh-tokoh hukum Abad Pertengahan. Pada jajaran pahatan itulah terdapat gambaran Nabi Muhammad. Digambarkan di situ, Nabi Muhammad memegang Qur’an dengan tangan kanan, dan pedang di sebelah kiri.
Patung atau lukisan pahatan tokoh-tokoh hukum dunia dari masa terdahulu itu dibuat dan didirikan pada zaman Presiden Franklin D. Roosevelt, tahun 1935. Tentu saja, karena dalam Islam terdapat pemahaman bahwa menggambarkan bentuk fisik Nabi Muhammad tidak diperbolehkan, maka pada tahun 1997 Council on American-Islam Relations meminta agar penggambaran Nabi Muhammad dalam patung di Gedung Mahkamah Agung Amerika Serikat itu dibatalkan.
Tetapi, Jaksa Agung Amerika pada saat itu, Hakim William Rehnquist, menolak permintaan, dengan alasan bahwa penggambaran itu hanya sebagai representasi pengakuan dan penghargaan yang tinggi dari Mahkamah Agung Amerika Serikat kepada Muhammad sebagai salah satu pencipta dan penegak hukum dunia dalam sejarah kemanusiaan.
William menyebut, ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai salah satu bentuk penyembahan pada berhala. Setelah peristiwa itu, ditambahkan catatan tentang patung Nabi Muhammad itu, yang berbunyi: Muhammad (c. 570 – 632) The Prophet of Islam. He is depicted holding the Qur’an. The Qur’an provides the primary source of Islamic Law. Prophet Muhammad’s teachings explain and implement Qur’anic principles. The figure above is a well-intentioned attempt by the sculptor, Adolph Weinman, to honor Muhammad, and it bears no resemblance to Muhammad. Muslims generally have a strong aversion to sculptured or pictured representations of their Prophet.
Hal-hal positif bersifat universal. Sebuah pencapaian sepanjang itu dimaksudkan sebagai pengabdian kepada kemanusiaan adalah bagian dari nilai universal. Maka, nilai itu akan abadi sepanjang sejarah kemanusiaan berlangsung.
Barangkali ada sementara umat Islam yang marah, sedih, dan pesimistis dengan sikap-sikap dan reaksi-reaksi negatif yang sering ditunjukkan oleh sebagian kecil kalangan masyarakat Barat tentang Nabi Muhammad. Tetapi, satu hal yang mesti diyakini adalah, sikap-sikap itu lahir dari ketidaktahuan.
Buktinya, mereka yang dengan sungguh-sungguh dan tanpa prasangka telah mengkaji Islam dan kehidupan pribadi Nabi Muhammad justru menemukan mutiara-mutiara yang nyatanya tak bisa dilihat oleh “mata” biasa. Mutiara kehidupan Nabi Muhammad hanya bisa dilihat melalui “mata” hikmah.
Selain itu, sesungguhnya ada sesuatu yang sangat fundamental ketika mendengar pernyataan-pernyataan positif tentang Nabi Muhammad dari kalangan non-Muslim ini. Hal tersebut adalah hendaknya kebanggan umat Islam atas berbagai hal positif pada Nabi Muhammad itu tidak berhenti sebagai kebanggaan. Nabi Muhammad mengajarkan kesantunan. Itu pula salah satu faktor penting yang membuat para pengkaji Islam terpesona.
Maka, kebanggaan kaum Muslimin kepada Nabi Muhammad hendaknya juga bermakna menghidupkan nilai kesantunan dalam kehidupan nyata. Jika kekaguman sarjana-sarjana Barat pada Nabi Muhammad itu adalah karena kecerdasannya dalam berpolitik, itu justru merupakan sebuah peringatan kepada umat Islam untuk melakukan tindakan-tindakan politik yang cerdas, politik tanpa kegaduhan, sehingga bisa menangkap ikan tanpa harus membuat air menjadi keruh.
Dalam pemahaman saya, itulah makna ber-sunnah yang lebih penting, memaknai sunnah secara lebih substansial. Ini tak berarti bahwa memaknai sunnah-sunnah Nabi yang bersifat fisik dan kasat mata tidak boleh; tetapi sunnah Nabi itu akan lebih bermakna manakala teladan-teladan kemanusiaan Nabi Muhammad dihadirkan dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini.
Inilah yang lebih penting ketimbang sekadar memperdebatkan apakah jenggot dan gamis itu sunnah apa bukan.