Jumat, April 26, 2024

Menjaga Semangat Kepahlawanan

[ilustrasi]

Kepahlawanan dalam konteks berbangsa dan bernegara adalah proses perjuangan dalam merintis, memerdekakan, dan menjaga keutuhan keindonesiaan. Inti dari keindonesiaan adalah keanekaragaman suku, adat istiadat, bahasa, ras, dan kepercayaan (agama).

Menjaga keutuhan keindonesiaan, dengan demikian, menjaga semangat toleransi dalam negara multikultural. Dan menjaga semangat kepahlawanan sama artinya dengan menjaga keutuhan negara yang multikultural. Semangat inilah yang dibangun Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan Hari Pahlawan 10 November 1945.

Semangat kepahlawanan seperti ini mutlak harus kita jaga karena, bagi Indonesia, kondisi multikultural merupakan realitas objektif yang tak bisa dibantah oleh siapa pun. Dalam bahasa Profesor  Ahmad Syafii Maarif, kondisi multikultural merupakan fakta keras. Fakta yang tak bisa dilunakkan, atau dikompromikan dengan dalih apa pun.

Bahkan semangat menjaga ideologi suatu agama yang sangat kuat tertanam dalam jiwa seseorang pun tak bisa dijadikan alat untuk merontokkan keindonesiaan. Sekali semangat keindonesiaan rontok karena fanatisme agama, kita akan terpecah belah. Diskriminasi dan ketidakadilan akan tumbuh karena keinginan untuk mengutamakan agama tertentu.

Kita percaya bahwa Indonesia merdeka karena patriotisme para ulama dan tokoh-tokoh agama. Itulah mengapa Indonesia dikatakan merdeka karena berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa. Karena ada keyakinan yang kuat bahwa tanpa ada semangat spiritual, perjuangan kemerdekaan tidak akan menguat dan bergelora.

Inti dari ajaran agama adalah semangat kemanusiaan yang merdeka. Semurni-murni tauhid yang ditanamkan pahlawan nasional Tjokroaminoto pada murid-muridnya, termasuk Sukarno, adalah tauhid yang memerdekakan kemanusiaan. Manusia tauhid adalah manusia yang merdeka, yang hanya tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Oleh karena itulah, setiap upaya untuk membangkitkan semangat keagamaan seraya menihilkan keindonesiaan adalah bertentangan dengan semangat kepahlawanan. Karena semangat keagamaan dan keindonesiaan berada dalam satu tarikan nafas yang tak bisa dipisahkan. Tapi, ini juga bukan alasan untuk mempolitisasi agama. Mengeksploitasi semangat agama untuk meraih kekuasaan.

Politisasi agama harus dilawan, seperti juga upaya-upaya untuk menanggalkan semangat kebangsaan dalam membangun semangat keagamaan. Pada saat agama dieksploitasi untuk meraih kekuasaan, pada saat itulah benih-benih diskriminasi dan ketidakadilan telah tertanam. Tidak ada makan siang yang gratis. Setiap dukungan politik bukanlah sesuatu yang tanpa pamrih. Setiap dukungan bermakna investasi yang harus dipetik pada saat kekuasaan sudah ada di genggaman.

Kita tidak sedang memisahkan agama dari politik, tapi yang kita lawan adalah eksploitasi agama untuk kepentingan politik. Semangat juang agama yang seyogianya kita bangun adalah semangat untuk menjaga kemanusiaan, kebersamaan, toleransi, dan saling menghormati keberagaman.

Munculnya sejumlah indikasi intoleransi sebagaimana yang tercermin dalam sejumlah survei politik akhir-akhir ini seyogianya membuat kita waspada, bahwa ada semangat yang muncul untuk merusak keindonesiaan. Semangat yang apabila tidak kita antisipasi bisa membuat kita terpecah belah seperti yang terjadi di sebagian negara Timur Tengah.

Semangat inilah, saya kira, yang melandasi Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan yang sekarang sudah ditetapkan menjadi UU tentang Ormas. Bahwa ada bagian-bagian yang perlu diperbaiki kita setuju, dan ada beragam mekanisme konstitusional untuk memprosesnya.

Mengapa mayoritas anggota DPR menyetujui Perppu Ormas harus dimaknai bahwa masih ada semangat dari para wakil rakyat untuk menjaga keutuhan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang berisi keragaman suku, ras, bahasa, adat istiadat, dan agama.

Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk mengakui aliran kepencayaan dalam administrasi kependudukan sebagai agama yang bisa dicantumkan dalam Karta Tanda Penduduk (KTP) juga harus kita maknai dalam semangat membangun keindonesiaan.

Dalam Indonesia yang multikultural tidak boleh ada kelompok, sekecil apa pun kelompok itu, yang diabaikan hak-haknya sebagai warga negara. Kebebasan beragama, dan kebebasan menjalankan keyakinan agama, adalah hak warga negara yang dijamin UUD 1945. Dan jaminan konstitusi ini harus termanifestasi dalam ketentuan perundang-undangan yang kedudukannya berada di bawah UUD 1945.

Seperti terhadap Perppu, yang kemudian diputuskan DPR, kita juga harus menghormati keputusan MK. Bahkan, menurut saya, keputusan MK ini bisa menjadi wujud nyata (objektifikasi) dari sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”–sila yang paling banyak dikritik karena masih banyak realitas objektif dalam kehidupan kebangsaan kita yang bertentangan dengan sila ini.

Maka, yang merayakan keputusan MK seyogianya bukan hanya para penghayat aliran kepercayaan, tapi juga kita semua yang berkomitmen menjaga semangat keindonesiaan.

Kemerdekaan bangsa dan keutuhan keindonesiaan adalah hasil perjuangan para pahlawan kita di zaman dulu. Dan menjaga semangat kepahlawanan adalah tugas kita, generasi zaman sekarang.

Kolom terkait:

Mengkafirkan Pahlawan, Menistakan Indonesia

Nyai Ahmad Dahlan dan Amnesia Pahlawan Perempuan

Keragaman Agama Itu Sunnatullah

Kebhinekaan Itu Sunnatullah, Hentikan Politisasi Pluralisme!

Islam, Pancasila, dan Fitrah Keindonesiaan Kita

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.