Dalam bahasa Jawa kita mengenal ungkapan “bener nanging ora pener”. Artinya kira-kira, “benar tapi kurang tepat”. Maka yang kita butuhkan dalam banyak hal adalah: “bener tur pener” (benar dan tepat).
Banyak hal yang baik tapi menjadi tidak baik karena tidak dikelola dengan benar. Dengan demikian, sesuatu yang baik bisa diibaratkan seperti pisau bermata dua: bisa konstruktif atau sebaliknya destruktif. Seperti api yang bisa memberikan kehangatan atau memusnahkan (membakar). Atau seperti air yang bisa menyegarkan atau menghanyutkan.
Akhir-akhir ini, sesuatu yang baik namun banyak dipersoalkan orang adalah kebebasan. Semua orang mengakui, kebebasan adalah sesuatu yang baik. Tapi seperti pisau bermata dua, kebebasan bisa sangat destruktif jika tidak dikelola dengan baik. Kebebasan yang paling banyak mendapat sorotan adalah kebebasan berekspresi.
Sendi-sendi demokrasi yang sudah mulai terbangun sejak berakhirnya rezim Orde Baru, kini mulai tergerus pelan-pelan. Kita sadar betul bahwa kebebasan berekspresi adalah salah satu prasyarat demokrasi. Tapi pada saat antara ruang kebebasan dengan gejolak yang berkembang berjalan tidak seimbang, maka yang muncul kemudian adalah fenomena surplus kebebasan.
Aspirasi tumpah ruah seperti air bah, antara yang positif dan negatif berbaur dan masing-masing mencari katarsisnya dengan cara yang tak selamanya sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Jika terus dibiarkan, demokrasi akan tergerus oleh prasyaratnya sendiri.
Akibat dari surplus kebebasan, kebhinekaan yang menjadi keniscayaan dalam proses pembangunan Indonesia yang kokoh sudah mulai diusik dengan tampilnya sejumlah perkumpulan atau organisasi massa yang secara terang-terangan tidak lagi berpegang pada Pancasila sebagai asas utamanya. Dengan dalih jaminan kebebasan berserikat, berkumpul, dan berekspresi, ormas-ormas “anti-Pancasila” pun bermunculan.
Tapi anehnya, meskipun sangat jelas terlihat dari propaganda yang dihembuskan di berbagai media bahwa mereka tidak menghendaki Pancasila dan ingin menggantinya dengan sesuatu yang lain, mereka toh tetap saja (pada saat yang sama) meneriakkan slogan NKRI harga mati. Padahal NKRI tidak mungkin bisa hidup tanpa ada ruh/jiwa berupa Pancasila. Artinya apa? Sangat jelas orang-orang ini tidak mengerti apa yang mereka teriakkan.
Kita sadar betul bahwa kebebasan adalah salah satu sendi demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa adanya kebebasan. Tapi kebebasan yang tak terkendali bisa menimbulkan gesekan-gesekan dan disintegrasi. Tapi di sisi lain, kita juga tidak boleh mengekang kebebasan dengan dalih demokrasi. Oleh karena itu, kita membutuhkan kebebasan yang proporsional.
Untuk mengelolanya secara proporsional, ada tiga hal mengenai kebebasan yang perlu dicermati: pertama, pemahaman filosofis tentang kebebasan; kedua, untuk apa kebebasan; dan ketiga, bagaimana mengelola kebebasan.
Dalam bukunya On Liberty (terbit pertama kali tahun 1859), John Stuart Mill membedakan antara kebebasan bertindak dengan kebebasan sebagai bentuk absennya koersi (tekanan, paksaan, intimidasi). Kebebasan bertindak merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia. Belum bisa disebut manusia, pada saat seseorang tidak memiliki kebebasan bertindak.
Budak adalah sebutan paling umum bagi manusia yang tidak memiliki kebebasan bertindak. Budak statusnya sama dengan barang yang bisa dijual-belikan sesuai kemauan tuannya. Tapi manusia, termasuk yang berstatus sebagai “tuan” pun, bisa tergerus kemanusiaanya pada saat berada dalam kungkungan kekuasaan yang represif. Jadi, kekuasaan yang otoriter merupakan musuh utama kemanusiaan.
Kedua, untuk apa kebebasan? Anda tidak bisa berpura-pura bahagia pada saat masih dalam kekangan pihak lain. Bahkan Anda tidak bisa berpura-pura bahagia karena memiliki beragam properti yang mewah dan diinginkan semua orang. Jadi, tujuan utama kebebasan adalah untuk meraih kebahagiaan.
Masalahnya, seperti apakah kebahagiaan? Abstrak. Sulit digambarkan. Tapi ilmu sosial bisa mengkuantifikasi kebahagiaan dengan mengidentifikasi aspek-aspek apa saja yang bisa menyebabkan seseorang menjadi bahagia, misalnya ketersediaan tempat tinggal dan lingkungan yang nyaman; pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki sehingga bekerja seperti menyalurkan hobi; dan lain-lain.
Dengan kualifikasi-kualifikasi tertentu, para ilmuwan sosial tak hanya mampu mendeteksi kebahagiaan pada manusia, tapi juga pada kota-kota. Maka, jangan heran jika belakangan ini ada lembaga yang merilis kota-kota paling bahagia di dunia, atau kota-kota paling bahagia di Indonesia.
Ketiga, bagaimana mengelola kebebasan? Di sinilah kata kuncinya, kebebasan harus dikelola secara proporsional: tidak dilepas begitu saja tanpa kendali, tapi tidak boleh juga dikendalikan sesuka hati.
Ada dua pilihan untuk mengelola kebebasan. Pertama, pilihan kuratif, yakni melalui penegakan hukum untuk kebebasan yang tak terkendali hingga merugikan pihak lain. Sebagai contoh, peredaran berita-berita hoax merupakan bagian dari ekspresi kebebasan yang tak terkendali. Tapi jika ada pihak-pihak yang dirugikan dengan hoax, maka bisa diadukan dan dijerat dengan hukum yang berlaku. Penegakkan hukum diharapkan bisa membuat jera, atau setidaknya bisa membuat para pelakunya lebih berhati-hati dalam mengekspresikan kebebasan.
Pilihan kedua, yang paling ideal adalah dengan menempuh jalur preventif, dengan cara melakukan pendidikan bagi segenap rakyat, terutama anak-anak muda yang tengah bergejolak, yang emosinya mudah memuncak. Misalnya dengan memberikan pemahaman tentang makna dan fungsi kebebasan; serta bagaimana mengekspresikan kebebasan agar tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Serat Edaran Kepala Kepolisian RI Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech).