Kamis, April 25, 2024

Menjadi Indonesia Pasca-1998

Muhammad Damm
Muhammad Damm
Muhammad Damm, Peneliti independen, penyunting buku-buku filsafat dan ilmu sosial

Alir waktu dalam perjalanan sejarah sebuah bangsa selalu ditandai dengan angka-angka tahun di mana perubahan fundamental terjadi. Sebuah perubahan yang merombak tatanan sosial, politik, ekonomi, bahkan kultur bangsa yang bersangkutan.

Dalam kehidupan bangsa kita, kita mengenal paling tidak dua angka keramat: 1945 dan 1965. Yang pertama menandai kemerdekaan dan—semoga—keterputusan dari kolonialisme Belanda. Yang kedua juga menandai sebuah keterputusan, yakni dari ideologi komunisme yang berkembang subur seiring kampanye internasionalnya yang pada masa itu digawangi Rusia atau China. Tapi juga menandai bangkitnya sebuah rezim kuat yang bertahan selama tiga dasawarsa—Orde Baru. Siapa yang menyangka, menjelang milenium ketiga rezim ini kolaps. Momen itu pun menambah daftar angka keramat dalam alir sejarah kita: 1998. Di bulan Mei, angka ini biasanya akan kembali kita rayakan.

Membicarakan Indonesia hari ini, baik di berbagai diskusi publik, publikasi buku, artikel jurnal ilmiah, hingga kolom-kolom surat kabar, hampir selalu membicarakan Indonesia pasca-1998, atau Indonesia pasca-Reformasi. Dan seolah semua dari kita sudah paham dengan sendirinya, apa yang dirujuk oleh frase “Indonesia pasca-1998”. Sekarang frase ini telah menjadi salah satu penanda yang ikut mengonstruksi identitas keindonesiaan. Namun, apakah sebenarnya “Indonesia pasca-1998?”.

Di sini edisi Kamis, 17 Maret 2016, Geger Riyanto juga mengartikulasikan dengan brilian gagasan tentang konstruksi identitas kita sebagai sebuah bangsa. Dalam tulisan bertajuk “Menjadi Indonesia Pasca-1965” itu, Geger mengungkapkan bahwa setelah 1965 kita memiliki dua kata untuk mendefinisikan apa artinya menjadi Indonesia, yakni “bukan PKI”. Kampanye pembumihangusan komunis dari bumi pertiwi yang diikuti berbagai elemen masyarakat—sipil, militer, paramiliter—dengan TNI Angkatan Darat sebagai ujung tombak pada saat itu telah memberikan trauma yang mendalam. Bukan saja bagi para korban dan keluarga korban—terutama mereka yang sekadar dituduh komunis—tetapi juga bagi simpatisan bahkan partisan dalam kampanye anti-komunis itu.

Apa buktinya? Hingga sekarang sebagian dari kita akan segera “panik” jika mendapati tanda-tanda kemunculan kembali gagasan komunisme, sosialisme, atau pikiran-pikiran “kiri” lainnya. Setiap kali diskusi atau peluncuran “buku-buku kiri” diadakan, misalnya, segera pula kelompok-kelompok “anti-komunis” melakukan protes atau sweeping.

Secara nalar, hal ini dapat dimengerti. Mengingat selama lebih dari tiga dasawarsa lamanya, kita diajak dan dididik untuk benci, marah, bahkan jijik dengan “pikiran-pikiran kiri”. Upaya untuk selalu menolak, mengingkari, membenci, dan melenyapkan elemen ini dari diri kitalah yang selama ini menjadi bagian dari pembangunan identitas kebangsaan kita. Dalam bahasa yang cukup teknis, cendekiawan menamai ini “abjeksi”—proses menolak apa pun yang dianggap kontaminan sebagai bagian dari kedirian. Itulah artinya definisi yang diungkapkan Geger, bahwa selama masa Orde Baru menjadi Indonesia berarti menjadi “bukan PKI”.

Lantas hari ini, kita melihat iklim kebangsaan sudah berubah dan jungkir balik nyaris 180 derajat. Orang-orang relatif lebih bebas untuk berbeda. Relatif bebas untuk mempelajari, bahkan menyuarakan paham-paham yang sebelumnya “haram”, yang sebelumnya “terlarang”. Berbagai upaya rekonsiliasi atas masa lalu, sekalipun belum benar-benar berhasil hingga sekarang, kerap diupayakan dan mendapat dorongan dari banyak aktivis, dari banyak aliansi masyarakat sipil.

Namun yang terkadang luput dari cermatan kita: situasi sudah berbeda, iklim kebangsaan sudah sama sekali lain, langkah-langkah baru untuk mendefinisikan Indonesia sudah mulai dicoba; hanya saja, logika dan alur nalar abjeksi sebenarnya masih bekerja. Jika dulu menjadi Indonesia berarti menjadi “bukan PKI”, menjadi Indonesia hari ini nampaknya kita maknai nyaris identik dengan “bukan Orde Baru”.

Ya, hari ini di negeri kita “Orde Baru” telah menjadi objek baru. Seolah kita mewarisi memori kolektif entah dari mana, bahwa setiap kali membayangkan masa-masa kelam, opresif, dan korup, yang menjadi rujukan adalah masa-masa “Orde Baru”. Dan setiap kali ada pertanyaan mengemuka, mau ke mana bangsa kita?

Hampir melulu jawabannya seolah sekadar menggaungkan “jauh-jauh dari Orde Baru”. Para politisi, teknokrat, dan akademisi hampir senantiasa mengupayakan tampilan wajah-wajah yang jijik terhadap abjek ini. Alasannya sederhana; bagi siapa pun yang menjual kedekatan dengan rezim lama itu, akan kehilangan simpati dan dukungan.

Saya tidak sedang dalam posisi untuk menakar baik–buruk rezim lama ataupun rezim yang sekarang ada. Bukan pula dalam posisi untuk membanding-bandingkan kedua-duanya. Semua orang yang terbuka pikirannya akan selalu bisa mendapatkan alasan untuk mengatakan yang pertama lebih baik daripada yang kedua dalam satu hal, yang kedua lebih baik dari yang pertama dalam hal lain. Jika boleh menyederhanakan, ini sekadar pilihan untuk mengambil mana yang lebih sedikit mudaratnya.

Yang sepatutnya menjadi keprihatinan kita justru adalah, mau sampai kapan kita sekadar mendefinisikan diri kita sebagai “bukan ini” atau “bukan itu”. Sekadar menolak masa lalu tak berarti sudah tahu jalan mana yang hendak dituju ke masa depan. Ketika presiden terakhir kita terpilih misalnya, salah satu hal yang amat dirayakan, bahkan oleh cendekia Barat yang menyimak Indonesia, adalah kemunculan Joko Widodo menandai keterputusan dengan Orde Baru.

Joko Widodo, presiden pertama yang tak memiliki afiliasi atau ikatan apa pun dengan rezim lama. Sekali lagi, keterputusan dengan masa lalu menjadi lahan bagi semainya benih harapan. Terlebih kita ingat, satu-satunya lawan Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2014 hampir selalu dicitrakan sebagai bakal reinkarnasi Orde Baru.

Kini saatnya kita berharap lebih, sebenarnya. Berharap bahwa apa yang kita dapat tak sekadar keterputusan dari masa lalu, tapi juga kejelasan akan melangkah ke mana kita ke depan. Jika melulu kita menyesali dan menyalahkan apa yang di belakang, akan selalu ada hantu untuk kita. Maka sudah saatnya pula pemimpin baru kita menjawab harapan ini.

Baca juga

Menjadi Indonesia Pasca-1965

Muhammad Damm
Muhammad Damm
Muhammad Damm, Peneliti independen, penyunting buku-buku filsafat dan ilmu sosial
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.