Jalannya pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah melewati 100 hari. Artinya, pemerintah pasti telah menemukan langgam birokrasi dan politik kebijakannya. Namun, beberapa kebijakan tetap disikapi pro-kontra. Antara lain penolakan reklamasi, penataan Tanah Abang, dan izin becak yang jadi sorotan karena dianggap punya derajat ketidakpastian (entropi) kebijakan dan pelanggaran aturan.
Di tengah polemik implementasinya, logika kebijakan Gubernur—disadari atau tidak—justru menjadi poin krusial itu sendiri dalam perspektif administrasi publik.
Poin krusial ini laten terjadi sebagai problem logika kebijakan. Pertama, kecenderungan benturan norma (conflict of norms) dan penyalipan (overlapping) aturan perundangan dalam kebijakan kepala daerah. Kedua, kecenderungan personifikasi kekuasaan pemerintahan daerah.
Jakarta adalah “pars pro toto” (menggambarkan umumnya) daerah, dan sebaliknya, bisa menjadi preseden buat daerah lain. Dua poin krusial di atas bukan tentang siapa yang benar dan salah. Lebih dari itu, ini adalah tentang jalannya pemerintahan di tengah tarik-menarik antara logika kekuasaan dan kepublikan.
Benturan Norma
Dalam perspektif administrasi publik, penolakan reklamasi Jakarta adalah opsi yang diambil dalam conflict of norms dan overlapping sekaligus. Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dijadikan dasar Gubernur menolak pembangunan yang dilandasi Kepres itu sendiri. Alasannya, wewenang dan tanggung jawab ada pada gubernur (Pasal 4).
Harus dipahami bahwa dalam regulasi tersebut ranah gubernur adalah implementasi dan berada dalam asas delegasi. Bukan lagi dalam kewenangan untuk menentukan jadi-tidaknya kebijakan. Hal ini diperjelas dengan Pasal 8 yang memandatkan gubernur membentuk badan pelaksana, yang pada praktiknya diartikan berbeda oleh Gubernur DKI Jakarta. Ada conflict of norms dengan pembenturan antara Kepres dan bagian dari Kepres itu sendiri, yaitu Pasal 4 dan 8. Pasal dimaknai berdiri sendiri dan terpisah dari perundangannya.
Kepres adalah aturan perundangan yang bersifat keputusan (beschhikking) yang individual, konkret, dan berlaku sekali selesai (einmahlig). Maka, sebagai regulasi yang diakui menurut UU No. 12/2011 tentang Perundangan, pencabutannya perlu dilakukan dengan mengeluarkan produk perundangan yang setingkat pula (Kepres pencabutan).
Perkembangan kondisi sekarang dengan adanya UU No. 27/2007, UU No. 1/2014, Perpres No. 54/2008, dan Perpres No. 112/2012, pada dasarnya menggarisbawahi perihal pengelolaan ruang. Artinya, reklamasi dan hal-hal terkait menghendaki adanya dokumen kajian untuk melanjutkan kebijakan. Bukan bersifat menegasikan regulasi secara otomatis.
Sementara, penataan pedagang kaki lima (PKL) Tanah Abang dan becak di Jakarta memunculkan overlapping. Terdapat UU No. 38/2004 tentang Jalan, PP No. 34/2006 tentang Jalan, dan UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Ketiganya melarang segala aktivitas yang merusak dan mengganggu fungsi jalan, perlengkapan jalan, dan ruang manfaat jalan. Perda No. 8/2007 tentang Ketertiban Umum sendiri telah melarang segala bentuk kegiatan yang melibatkan adanya becak.
Mungkin ada alasan tertentu Gubernur menerapkan kebijakan Tanah Abang dan becak sebagai terobosan masalah ibu kota. Namun, tidak sesederhana itu. Dengan pelarangan yang eksplisit, penutupan Jalan Jatibaru dan pengizinan becak di Jakarta bisa diartikan sebagai ketidakpatuhan terhadap aturan perundangan.
Personifikasi Kekuasaan
Anies Baswedan berkata bahwa gubernur membawa amanat rakyat dan bisa mengubah Perda. Masalahnya, statement itu dilontarkan ketika menjelaskan overlapping kebijakan becak di tengah aturan berlaku (Perda No. 8/2007) yang melarang becak.
Bahwa gubernur membawa amanat rakyat itu betul. Namun, kerja pejabat publik tidak berdiri sendiri; ada tata cara penyelenggaraan pemerintahan. Di samping itu, ia bekerja bukan lagi dengan logika politik umum (kekuasaan), melainkan sudah harus naik kelas dalam logika politik kepublikan. Mempraktikkan logika politik umum dalam ruang kelembagaan pemerintahan adalah bentuk personifikasi kekuasaan.
Di banyak daerah, hal ini sering mengakibatkan tarik-menarik legitimasi. Eksekutif merasa paling berhak dalam domain kebijakan. Sebaliknya, legislatif merasa paling mewakili rakyat dan domain perundangan. Keduanya punya legitimasi dari rakyat dan saling mempersonifikasi kekuasaannya. Sistem di Indonesia lain dengan Amerika Serikat dengan government shutdowns-nya (tutupnya pemerintah) jika tidak mencapai kesepakatan dalam pemerintahan. Sistem politik-pemerintahan di sana mengakui oposisi sebagai bagian demokrasi.
“Administration begins where politics ends” (pemerintahan berjalan manakala politik usai) adalah semacam diktum etik yang lahir dari pandangan klasik administrasi negara. Begitu pemerintahan dijalankan setelah kampanye, banyak konsekuensinya. Secara politik ia tidak boleh lagi memihak kelompok tertentu, dan secara kelembagaan ia harus taat perundangan sebagai produk konsensus sistem demokrasi.
Problem laten kebijakan ketika dihadapkannya konsep umum kepemimpinan (moral atau politik) dengan posisi formalnya di struktur pemerintahan. Tidak akan ada jawabannya memilih antara urgensi menerapkan terobosan atau kepatuhan pada perundangan. Keduanya tidak relevan dibenturkan. Tentu ini bukan soal substansi kebijakan, yang bisa jadi benar menurut pengambil kebijakan. Ini adalah tentang mekanisme yang harus dipenuhi dalam sistem demokrasi, yaitu mengubah Perda yang harus dilakukan bersama DPRD. Kebijakan publik tidak bisa “asal praktis” dan tidak menghiraukan konsensus yang berlaku.
Komunikasi politik dan kelembagaan horizontal dan vertikal menjadi dasar jalannya pemerintahan dalam sistem demokrasi di Indonesia. Walaupun kewenangan kepala daerah mencakup hampir semua hal dalam pemerintahan, ada batas-batas yang harus diperhatikan. Norma, perundangan, dan etika adalah batasan yang mampu membedakan antara pemerintahan yang dijalankan berdasar logika kekuasaan atau dalam logika kepublikan.
Tidak hanya untuk DKI Jakarta, namun juga buat semua pejabat publik di daerah. Karena, bekerja dengan logika kekuasaan biasanya memunculkan keruwetan logika atas penerapan kebijakan itu sendiri.
Kolom terkait:
Gubernur Anies dan Polemik Staf Khusus
Gaji Tim Gubernur dan Patahnya Alasan Anies Baswedan
Putusan MA, Sepeda Motor, dan Keruwetan Transportasi Jakarta