Hawa politik kian memanas di Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Perebutan kursi pimpinan DPD telah menyebabkan lembaga yang mewakili kepentingan daerah itu menjadi tak karuan selama lebih dari satu tahun.
Penyebab memanasnya situasi bermula dari keinginan beberapa anggota DPD untuk membatasi masa jabatan pimpinan dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun. Melalui Peraturan DPD-RI Nomor 1 Tahun 2017, masa jabatan pimpinan DPD hanya berjalan setengah periode tugas parlemen. Padahal, selain tidak memiliki basis teori hukum tata negara, masa jabatan 2,5 tahun tidak hanya akan menimbulkan ketegangan politik, tetapi juga akan membebani biaya negara karena terjadi dua kali proses pemilihan pimpinan.
DPD harus menyadari keributan yang terjadi hanya akan menyudutkan posisi DPD di mata publik semakin memburuk. Apalagi, DPD dikenal tidak terlalu produktif bekerja sebagai wakil daerah di parlemen. Itu sebabnya konflik perebutan kursi pimpinan DPD seharusnya tidak dikapitalisasi karena hanya akan meningkatkan ketidakpercayaan publik kepada DPD.
Putusan Mahkamah Agung
Sebenarnya setelah Putusan Mahkamah Agung Nomor: 20P/HUM/2017, keributan soal masa jabatan pimpinan DPD sudah dapat diakhiri. Putusan itu secara tegas membatalkan konsep masa jabatan 2,5 tahun pimpinan DPD yang diatur dalam Peraturan DPD-RI Nomor 1 Tahun 2017.
Putusan MA bersifat final dan mengikat serta berlaku umum bagi siapa saja yang terkait dengan peraturan tersebut (erga omnes). Itu sebabnya penolakan terhadap putusan merupakan pembangkangan terhadap hukum.
Penolakan yang dilakukan anggota DPD sesunggunya lebih didasari ketidakpahaman terhadap hukum. Misalnya, sebagian dari anggota DPD berpendapat bahwa putusan MA tidak dapat diberlakukan karena terjadi kesalahan dalam amar putusan. Padahal, dari 5 poin amar putusan, hanya poin ketiga yang terjadi kesalahan penulisan (clerical error). Dalam hukum acara, clerical error tidak membatalkan putusan sepanjang substansi sangat jelas. Apalagi terhadap kesalahan penulisan itu MA dapat melakukan perbaikan (renvoi).
Itu sebabnya keributan terhadap keabsahan putusan tidak perlu diperpanjang karena DPD dapat menunggu perbaikan kesalahan penulisan tersebut. Meskipun demikian, anggota DPD harus menyadari bahwa daya laku putusan tersebut tidak dapat ditunda. Apalagi kalau ada pandangan anggota DPD yang menyatakan bahwa MA tidak dapat membatalkan peraturan DPD karena merupakan lembaga yang sederajat.
Tentu pandangan anggota DPD seperti ini menyesatkan karena kewenangan MA untuk membatalkan produk perundang-undangan di bawah undang-undang itu diatur UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman. Itu sebabnya, alasan penolakan terhadap putusan MA lebih terkesan dipaksakan daripada argumentasi yang memahami hukum.
Anggota DPD harus menyadari bahwa pengabaian terhadap putusan MA tersebut, apalagi menyebutnya sesat dan dapat diabaikan, merupakan tindakan melecehkan peradilan (contempt of court). Pelecehan terhadap peradilan adalah sebuah tindak pidana yang tidak boleh diabaikan anggota DPD, meski anggota parlemen memiliki kekebalan hukum (imunitas) dalam menjalankan tugasnya. Namun, kekebalan hukum itu tidak dapat diberlakukan dalam upaya mengabaikan putusan peradilan.
Menyelamatkan DPD
Semestinya putusan MA dianggap sebagai upaya peradilan untuk menyelamatkan DPD. Putusan MA tersebut akan menghilangkan potensi terjadinya keributan berulang dalam pemilihan pimpinan.
Dalam konsep hukum tata negara dan dipraktikan beberapa negara, masa jabatan pimpinan berlangsung selama satu periode parlemen hingga terpilihnya anggota Senat yang baru. Hal itu memang untuk menghindari pertikaian kelembagaan dan agar para anggota Senat tidak bekerja untuk mengalahkan pesaing politiknya menjadi pimpinan DPD.
Namun, putusan MA tidak disikapi dengan bijaksana oleh sebagian anggota DPD dengan memilih melanjutkan pertikaian. Saya menduga jangan-jangan keributan ini disebabkan telah dikuasainya DPD oleh partai politik. Hasrat partai untuk menguasai DPD telah menyebabkan lembaga ini mengalami pertikaian perebutan kursi kekuasaan.
Partai dalam kondisi ini harus menyadari dan memerintahkan kadernya di DPD untuk menghentikan tindakan menyimpang dari putusan MA agar perspektif publik terhadap partai tidak semakin minus.
Upaya MA untuk menyelamatkan DPD melalui putusannya adalah putusan tertinggi. Tindakan menyimpangi putusan MA adalah pembangkangan terhadap hukum. Mari selamatkan DPD dengan menghentikan keributan perebutan kursi pimpinan DPD dengan mematuhi putusan MA yang final dan binding (mengikat).