Keputusan Presiden Joko Widodo membatalkan kunjungannya ke Australia, Sabtu pekan lalu, bisa dipandang sebagai upaya mencegah internasionalisasi kasus Ahok. Sudah bisa dipastikan kedatangan Presiden ke sana, aksi anti-penistaan agama yang berakhir bentrok dan penjarahan di Penjaringan, Jakarta Utara, akan menjadi isu yang tidak hanya dibicarakan ditingkat kepala pemeritahan tetapi juga menjadi santapan media.
Pemberitaan soal dua peristiwa di 4 November itu akan menutupi hasil-hasil kunjungan Presiden Jokowi ke Australia. Bukannya tidak mungkin, politisi di sana akan juga memanfaatkan kunjungan Presiden untuk mengedepankan agendanya sendiri, yakni kondisi hak asasi manusia di Indonesia, yang tidak hanya menyangkut soal intoleransi agama tetapi bisa merembet ke Papua.
Politisi dan LSM Australia akan memanfaatkan bentrokan 4 November untuk meyakinkan pihak internasional bahwa Papua harus merdeka jika tidak ingin ditindas oleh rezim yang lemah terhadap Islam garis keras.
Sementara itu, kasus intoleransi itu akan membuat Indonesia mudah diserang di pelataran internasional dari sisi hak asasi manusia. Padahal, catatan hak asasi manusia Indonesia dari berbagai lembaga internasional, termasuk juga Komisi HAM PBB, sebenarnya cukup baik dengan cacatan dan garis bawah. Isu yang terus disuarakan oleh organisasi HAM untuk Indonesia adalah hukuman mati, masalah Papua, dan intoleransi agama.
Soal intoleransi agama, Indonesia terus didesak untuk mengendalikan kelompok Islam garis keras yang melakukan aksi kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum minoritas, antara lain terhadap pemeluk agama minoritas. Penutupan, perusakan serta pembakaran gereja, kekerasan terhadap pemeluk Ahmadiyah dan Syiah telah menjadi kerikil dalam sepatu yang terus membuat risih pemerintah Indonesia.
Laporan badan-badan internasional selalu memasukkan Front Pembela Islam (FPI) sebagai pihak yang terus menyuarakan intoleransi. Dan Indonesia didesak untuk mengendalikan ormas ini.
Jadi, itu artinya kasus aksi penistaan agama dipastikan akan menjadi isu yang kembali diributkan oleh berbagai organisasi internasional HAM yang bisa juga digunakan oleh siapa pun untuk menekan Indonesia. Bagaimanapun, kehadiran 100 ribu pengunjuk rasa di 4 November melawan seorang etnis Tionghoa Kristen yang minoritas adalah peristiwa luar biasa dan memberi citra bahwa Islam garis keras mencoba menguasai Indonesia yang akan membuat kelompok minoritas makin tertindas.
Meski media internasional semuanya mengapresiasi upaya cepat aparat keamanan memadamkan bentrokan 4 November serta menumpas kerusuhan di Penjaringan yang disebut sebagai kerusuhan anti-Tionghoa, mereka tetap mempertanyakan dan menantikan jawaban Presiden Joko Widodo dalam mengendalikan kelompok Islam garis keras. Dan tampaknya Presiden sedang mempersiapkan jawabannya paling lambat dua minggu ke depan, yakni sesuai janji Wakil Presiden ketika bertemu dengan perwakilan aksi anti-penistaan agama bahwa masalah Ahok akan diselesaikan dengan cepat, tegas, dan transparan berdasarkan hukum yang berlaku.
Seperti ditegaskan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian, pihaknya akan melakukan gelar perkara secara terbuka. Meskipun tidak lazim, namun itulah satu-satunya cara untuk meredam gejolak di dalam negeri dan imbasannya di pelataran internasional.
Dalam hal ini, dugaan bahwa Ahok akan dinyatakan bersih tidak terlalu salah. Masalahnya, jika Ahok dinyatakan bersalah, maka dunia internasiional akan bereaksi karena menganggap pemerintahan Jokowi tunduk dan menyerah pada kelompok Islam garis keras dan Indonesia akan menjadi Timur Tengah di Asia. Dampak reaksi ini bisa seperti efek bola salju yang merembet pada realisasi investasi asing dan juga menghambat penyelesaian Papua di pelataran internasional.
Sementara itu, jika Ahok dinyatakan tidak bersalah, maka kelompok yang menganggap Gubernur DKI Jakarta itu telah menistakan Islam akan marah besar. Namun, ini nampaknya akan diredam melalui sejumlah penjelasan yang mengajak semua pihak untuk berpikir dan memahami keputusan pihak Kepolisian secara jernih dan rasional. Untuk itu, Kapolri sudah memberi indikasi mengenai faktor-faktor apa saja yang mendasari keputusan pihak Kepolisian membebaskan Ahok dari segala tuduhan penistaan agama.
Indikasi pertama, soal rangkaian kata-kata yang diucapkan Ahok berikut: “Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya. Karena Dibohongin pakai surat Al-Maidah 51 macem-macem gitu lho.”
Perkataan ini yang dijadikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai landasan bahwa Ahok menghina Islam dan mengatakan orang-orang itu adalah para ulama. Mengenai hal ini, setelah mengadakan konferensi pers di Istana pada Sabtu, 5 November, Tito mengatakan tidak ada bukti Ahok menyebut ulama dalam pidatonya di Kepulauan Seribu.
Indikasi kedua, intensi atau maksud Ahok menistakan agama. Jenderal Tito dalam acara Mata Najwa menyebutkan predikat tersangka penistaan agama ditentukan oleh niatan seorang yang disangka. Polisi akan menilai apakah pernyataan Ahok itu mewakili pandangan Ahok apakah dia benci Islam. Di bagian lain, Tito juga menjelaskan bahwa ribut-ribut ini berawal dari postingan Buni Yani yang menghilangkan kata “pakai” hingga publik percaya bahwa Ahok mengatakan dibohongi al-Maidah 51.
Jadi, indikasi ketiga, mencari rantai yang paling lemah (weakest link) dalam kasus Ahok ini, yakni Buni Yani. Dia adalah satu-satunya orang yang disebut polisi sudah mengaku bersalah menghilangkan kata “pakai”, meski Buni Yani berkilah bahwa dalam video itu Ahok menghina Islam. Jadi, ada kemungkinan Buni Yani dijadikan tersangka atas dugaan menjadi provokator gonjang ganjing penistaan agama yang muaranya bentrokan 4 November.
Penentuan siapa yang bersalah dalam kasus penistaan agama adalah penting untuk menuntaskan kasus Ahok supaya tidak ke mana-mana. Untuk itu, polisi akan mempersiapkan sejumlah tokoh Islam kharismatik serta ahli bahasa yang kredibel untuk melindungi apa pun keputusannya nanti.
Para ulama dan ahli bahasa ini akan dijadikan acuan untuk mengelola gejolak kemarahan kelompok yang kecewa sekiranya polisi menyatakan Ahok tidak menistakan agama. Gejolak dalam negeri pasti ada, namun akan lebih mudah dikelola dan dituntaskan oleh berbagai elemen bangsa, ketimbang mengelola dampak internasionalnya yang bisa meluas semerata bumi.
Apabila akhirnya Ahok dinyatakan tidak bersalah, maka Presiden Joko Widodo akan dipandang dunia internasional sebagai figur pemimpin mampu meredam pengaruh radikalisme Islam sekaligus mempertahankan citra Islam Indonesia yang moderat dan toleran. Ini akan memberikan dampak positif dalam upaya Indonesia menarik investor asing karena berbagai lembaga rating dan perbankan internasional akan meniadakan ancaman radikalisme dalam daftar faktor risiko berinvestasi di Indonesia.
Di lain pihak, keberhasilan ini akan makin memperpendek daftar negatif isu HAM yang dicatat oleh berbagai lembaga HAM internasional, termasuk PBB. Dan ini memberi peluang bagi Indonesia untuk lebih berkiprah dan menanamkan pengaruhnya yang lebih luas di pelataran internasional.