Jumat, Maret 29, 2024

Melawan Adiksi Ojek dan Taksi Online

Fariz Panghegar
Fariz Panghegarhttps://farizpanghegar.wordpress.com
Peneliti Politik Lokal dan Studi Perkotaan. Kini bergiat di Lembaga Penelitian Cakra Wikara Indonesia

Sopir ojek pangkalan (opang) dan Go-Jek ribut di Bundaran Cibiru, Kecamatan Panyileukan, Kota Bandung, Jawa Barat. [Sumber: www.bandung.pojoksatu.id]
Dalam sebulan terakhir, kota-kota suburban penyangga Jakarta bergejolak karena “perang jalanan” antara sopir angkot dan ojek/taksi (transportasi) dalam jaringan (daring).

 

Sebelumnya, konflik antara pelaku usaha angkutan konvensional dan daring juga marak terjadi di kota-kota besar lain seperti Bandung dan Solo. Namun, transportasi daring tetap tumbuh pesat dan menjadi gaya hidup baru dalam kehidupan urban di kota-kota besar Indonesia. Ada dua hal yang membuat transportasi daring berkembang pesat di kota-kota Indonesia.

Pertama, transportasi daring beroperasi tanpa melewati jalur lawas, sehingga tidak perlu berurusan dengan birokrasi Kementerian Perhubungan, organisasi pengusaha angkutan (Organda), dan pelaku usaha angkutan lainnya. Sebelumnya, pengusaha angkutan baru bisa menguasai trayek atau daerah operasi jika sudah berhasil menyelesaikan perizinan di birokrasi Kementerian Perhubungan dan mengakomodir kepentingan pengusaha angkutan lain yang trayek atau daerah operasinya dilintasi (Panghegar, 2015).

Transportasi daring lolos dari regulasi transportasi publik karena beroperasi dengan kendaraan plat hitam. Ojek daring lolos dari jerat sistem karena ojek sepeda motor tidak dianggap sebagai sarana transportasi publik. Pemesanan layanan melalui aplikasi membuat supir transportasi daring mampu menciptakan ruang operasionalnya sendiri tanpa berurusan dengan birokrasi negara.

Para sopir transportasi daring cenderung memulai operasi dari tempat yang familiar, seperti daerah dekat tempat tinggal mereka, sehingga mereka dapat dengan mudah membangun “pangkalan” untuk menunggu pesanan angkutan. Kini, di wilayah Jabodetabek, kita dapat dengan mudah menjumpai warung-warung kopi atau bahkan trotoar yang menjadi tempat mangkal sopir transportasi daring.

Kedua, transportasi daring menjadi jawaban sempurna bagi kota-kota yang tidak memiliki sarana transportasi publik yang memadai, karena transportasi massal seperti kereta, Mass Rapid Transit (MRT), dan bus besar tidak ada atau belum menjangkau seluruh wilayah kota dan sarana transportasi sisanya begitu buruk pelayanannya.

Di Ibu Kota Jakarta, meski sudah ada sarana transportasi massal (kereta komuter dan bus transjakarta), rutenya belum menjangkau semua pusat ekonomi dan aktivitas warga. Selain itu, jalur rutenya belum terhubung sempurna dengan angkutan penghubung seperti bus menengah dan angkot. Ditambah lagi dengan tidak kunjung membaiknya layanan transportasi konvensional seperti angkot dan bus menengah membuat transportasi daring berhasil merebut hati warga.

Solusi Sementara Kebutuhan Transportasi Warga

Transportasi daring memiliki beberapa potensi yang dapat memenuhi kebutuhan mobilitas warga.

Pertama, sarana transportasi ini sangat praktis. Pengguna hanya perlu menggunakan aplikasi melalui smartphone dan koneksi internet untuk memesan layanan. Kemajuan teknologi dan infrastruktur komunikasi yang memadai mendukung berkembangnya transportasi daring.

Kedua, tarifnya tergolong murah ketimbang transportasi komersial konvensional, karena pelaku usaha transportasi daring tidak harus membayar izin usaha dan izin operasi kepada birokrasi Kementerian Perhubungan atau izin-izin siluman lainnya, seperti izin mangkal bagi tukang ojek pangkalan. Namun, kita harus ingat bahwa tarif transportasi daring yang terjangkau belum tentu bertahan selamanya, karena masih dalam rentang waktu perang tarif.

Ketiga, organisasi kerja yang fleksibel dan dukungan kapital yang besar membuat perusahaan transportasi daring mampu membangun layanan angkutan yang cair namun masif. Dalam waktu tiga tahun terakhir, transportasi daring sudah bermunculan di kota-kota besar.

Selain itu, transportasi daring juga menyediakan lapangan kerja bagi warga bahkan kalangan kelas menengah rentan (vulnerable middle class) yang membutuhkan pekerjaan utama atau paruh waktu dengan jam kerja yang fleksibel. Dengan begitu, keberadaannya semakin signifikan bagi ekonomi warga.

Meski transportasi daring terlihat potensial memenuhi kebutuhan mobilitas warga, sejatinya kota-kota padat penduduk seperti megapolitan Jabodetabek dan kota-kota besar lainnya tidak bisa mengandalkan transportasi daring untuk menjadi tulang punggung transportasi kota. Karena, ojek/taksi bukanlah sarana transportasi massal.

Daya angkutnya sangat terbatas. Hanya satu penumpang untuk ojek dan sekitar empat-lima penumpang untuk taksi. Daya tampung ojek/taksi sangat inferior, jika dibandingkan dengan daya tampung moda transportasi massal seperti bus yang mampu mengangkut puluhan penumpang, apalagi dengan moda transportasi massal seperti kereta komuter yang mampu mengangkut sedikitnya 250 penumpang (kapasitas normal) dalam satu kali keberangkatan.

Minimnya kapasitas angkut membuat transportasi daring sama tidak efisiennya dengan kendaraan pribadi yang memacetkan jalan-jalan kota. Terlebih lagi, suburbanisasi telah mendorong warga tinggal di pinggiran kota atau kota-kota satelit, atau dengan kata lain semakin menjauh dari tempat kerja yang berada di pusat kota. Akibatnya, jarak tempuh perjalanan semakin panjang.

Misalkan, bagi warga Kota Bekasi yang bekerja di kawasan Sudirman, Jakarta, tentu tidak akan efisien jika hanya menggunakan transportasi daring untuk bepergian ulang alik dari rumah ke tempat kerja karena waktu akan habis ditelan kemacetan jalan. Bagi warga suburban, akan lebih efisien jika mereka berpergian dengan kereta atau MRT. Sekali angkut ratusan penumpang terbawa dari kota satelit ke pusat kota.

Apa yang Harus Dilakukan?

Transportasi daring bisa menjadi solusi sementara untuk kebutuhan mobilitas warga, karena sarana transportasi massal belum menjangkau seluruh pusat bisnis dan aktivitas warga. Namun, kota besar yang padat penduduk tidak bisa mengandalkan moda transportasi non-massal untuk mobilitas warga. Karena daya angkutnya tidak efisien untuk kota padat penduduk.

Tampak bahwa sejatinya motor dan mobil kecil hanya akan menambah macet dan ruwet lalu lintas jalanan, terlebih lagi jika jumlahnya makin banyak tak terkendali. Transportasi massal yang efektif merupakan kebutuhan mutlak bagi kota-kota megapolitan yang padat penduduk. Terlalu tergantung pada ojek/taksi jelas bukan merupakan pilihan yang tepat untuk masa depan transportasi kota.

Untuk menyikapi ini, pemerintah harus fokus bergegas membangun sarana transportasi massal yang rute-rutenya saling terhubung. Dengan demikian, relevansi transportasi daring akan berkurang menjadi sekadar pelengkap sarana transportasi kota. Prioritas yang perlu segera dilakukan adalah membenahi dan mengembangkan layanan transportasi massal. Pemerintah harus bergegas membangun sarana transportasi massal (kereta komuter, MRT, dan bus besar) yang menjangkau seluruh sentra-sentra ekonomi dan aktivitas warga serta kawasan permukiman.

Kebutuhan sarana transportasi massal merupakan kebutuhan mutlak, lebih-lebih bagi kota-kota besar seperti Ibu Kota Jakarta dan Kabupaten Bekasi (kawasan industri terbesar di Indonesia) yang menjadi pusat aktivitas, baik bagi warga dalam kota maupun kota-kota di sekitarnya.

Selain itu, sarana transportasi pendukung lainnya seperti angkot dan bus menengah (seperti Metromini dan Kopaja) harus dibenahi pengelolaannya untuk meningkatkan kualitas layanannya.

Angkutan ukuran menengah penting untuk menunjang mobilitas warga dari kawasan permukiman ke jalan raya tempat halte bus dan stasiun kereta/MRT terdekat. Seluruh rute trayek angkutan massal dan pendukung juga perlu disinkronkan agar bisa menjangkau seluruh wilayah kota dan saling terhubung dengan efektif dan tidak saling tumpang tindih.

Jika sarana transportasi massal sudah terbangun dan rutenya saling terhubung dengan baik serta beroperasi efektif pemerintah dapat memaksa pembatasan penggunaan kendaraan pribadi untuk mengatasi kemacetan di jalan. Dengan demikian, layanan angkutan non-massal seperti transportasi daring (yang menggunakan kendaraan pribadi) akan berkurang relevansinya sebagai sarana transportasi utama. Dan dengan sendirinya transportasi daring menempati peran pendukung seperti mengantarkan penumpang dari rumah ke jalan terdekat tempat halte bus dan stasiun kereta/MRT terdekat, atau sebagai opsi darurat jika sudah ketinggalan kereta atau bus terakhir di malam hari.

Baca juga: 

Ahok dan Regulasi Ojek-Go-Jek

(Bukan) Ekonomi Berbagi: Catatan untuk Rhenald Kasali

Fariz Panghegar
Fariz Panghegarhttps://farizpanghegar.wordpress.com
Peneliti Politik Lokal dan Studi Perkotaan. Kini bergiat di Lembaga Penelitian Cakra Wikara Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.