Sabtu, April 27, 2024

Megawati, Salam Pancasila, dan Ideologi “Keselamatan”

Syahirul Alim
Syahirul Alim
Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia. Penulis lepas, pemerhati sosial, politik dan agama.

Ketua Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Megawati Soekarnoputri memperagakan Salam Pancasila ala proklamator Bung Karno di hadapan 500-an mahasiswa peserta penguatan pendidikan Pancasila di halaman Istana Presiden, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (12/8/2017).[kompas.com/Fabian Januarius Kuwado]
Istilah “Salam Pancasila” yang diusulkan oleh Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri, pada acara program Penguatan Pendidikan Pancasila di Istana Bogor (12/08) rasanya cukup unik. Keunikannya, karena Pancasila sejauh ini serasa perlu “diselamatkan” dari berbagai rongrongan ideologi lain yang terus menerus mempertentangkannya. Walaupun sesungguhnya sejak kelahirannya Pancasila sudah menjadi “ideologi penyelamat” bangsa ini dari sekian banyak pertarungan ideologi lainnya yang diperdebatkan para founding fathers kita dalam membangun dan menata republik ini.

Pancasila akhirnya berhasil menjadi “juru selamat” bagi keberagaman agama, etnik, suku, dan budaya yang dipersatukan dalam sebuah tekad bersama membangun dan membesarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Pancasila sesungguhnya adalah ideologi “keselamatan” yang paling dapat diterima oleh semua pihak sebagai cermin kekuatan nasionalisme-religius bangsa ini, yang tak membeda-bedakan unsur keberagaman masyarakat. Pancasila sekaligus sebagai hasil kompromi politik para pendiri bangsa ini yang sudah seharusnya dijaga dan diteladani seluruh anak bangsa. Kita sejatinya hanyalah generasi penikmat kemerdekaan, berbeda dengan pendahulu kita yang dengan berdarah-darah memperjuangkan kemerdekaan.

Menyadari bahwa Pancasila merupakan ideologi penyelamat bagi bangsa ini, sudah semestinya tak pernah ada siapa pun atau kelompok mana pun yang mempertanyakan atau bahkan ingin mengubahnya, karena jelas keinginan ini cerminan ahistoris yang gagal paham terhadap semangat jihad memperoleh kemerdekaan.

Memang, saking beragamnya keyakinan dan budaya di republik ini, istilah “salam” sepertinya menjadi klaim sendiri-sendiri atas fanatisme kelompok atau agama. Padahal, “salam” merujuk pada akar katanya yang diadopsi dari bahasa Arab, “salima”, mengandung pengertian “selamat dari bahaya”.

Kata ini jelas memiliki makna yang universal yang berarti mendoakan pihak lain agar selamat dari apa pun yang akan membahayakan dirinya. Oleh karena itu, usulan “Salam Pancasila” yang diungkapkan Megawati adalah bentuk harapan dan keinginan agar kita senantiasa menjaga Pancasila dari bahaya ideologi lain yang tiba-tiba datang mempersoalkannya.

Bahkan, ungkapan “assalamu’alaikum” yang sejauh ini dipraktikkan oleh umat Muslim adalah kalimat yang juga universal dalam pengertiannya. Tidak saja berarti mendoakan seseorang yang kita jumpai agar selalu dalam keadaan selamat dari segala bahaya, tetapi juga kata ganti “kum” yang ada di belakang kata “as-salaamu ‘ala” berkonotasi penghormatan sekaligus harapan atas keselamatan. Bahkan tidak hanya untuk lawan bicara, tetapi siapa pun yang ada di sekeliling atau yang tidak hadir sekalipun.

Nabi Muhammad sebagai pribadi panutan kaum Muslim juga memerintahkan agar senantiasa menyebarkan ideologi keselamatan (afsyu al-salaam) kepada siapa pun, tanpa batasan agama, budaya atau kelompok.

Karena makna “salam” yang bersifat universal, maka kemudian banyak muncul pendapat untuk menggantikan “salam” dari bahasa Arab ke bahasa lokal. Seperti pernah dikemukakan almarhum KH Abdurrahman Wahid bahwa mengganti kalimat salam dengan bahasa lokal tidak akan mengubah esensi salam itu sendiri, karena salam hakikatnya mendoakan kepada siapa pun agar diberikan keselamatan sekaligus kedamaian.

Lagi pula, ideologi “keselamatan” (salvation) juga adalah ide universal yang juga diklaim milik seluruh umat beragama, bukan klaim salah satu agama saja. Setiap agama memiliki konsepsi tersebut bahkan menjadi klaim keagamaan (religious truth) untuk menyelamatkan umat manusia dari kesesatan sekaligus membangun perdamaian antarumat manusia.

Bagi saya, kata “salam” memiliki arti sangat luas dan mendalam, tidak sekadar berarti “keselamatan” tetapi juga berkonotasi “perdamaian”. Salam berarti kedamaian, yang dalam arti luas, berarti “kita bersaudara”, “kita dalam kedamaian” yang justru akan membuang jauh-jauh unsur-unsur fanatisme, kebencian atau penolakan atas hal apa pun yang telah disepakati sebelumnya.

Karenanya, kata “Islam” pun merujuk pada akar kata yang sama, yaitu “salima” yang berkonotasi “kedamaian” atau “keselamatan”. Maka, ketika dikaitkan dengan agama, Islam menuntut adanya upaya untuk “menyelamatkan” orang lain dari bahaya dan sekaligus menebarkan kedamaian kepada siapa pun. Ber-Islam berarti menihilisasi kekerasan karena kecondongannya yang kuat untuk menyelamatkan dan mendamaikan. Islam berarti jelas menganut ideologi “keselamatan” dan juga “kedamaian”.

Kita tak perlu lagi mempersoalkan salam yang diekspresikan oleh banyak kelompok dengan beragam bahasa yang diucapkan, karena bahasa sejatinya hanyalah sarana yang terkait dengan budaya dan tradisi di mana bahasa itu disampaikan. Yang jelas, salam merupakan doa dan juga harapan agar kita senantiasa dalam keadaan selamat dan tentu saja selalu berada dalam suasana kedamaian karena sesungguhnya damai adalah pendorong majunya sebuah peradaban kemanusiaan.

Tanpa salam, rasanya sulit manusia membangun peradabannya, yang ada justru manusia akan hilang peradaban akibat damai yang tak pernah sama sekali mewujud.

Sebagai umat Muslim, justru saya merasa bangga karena istilah “salam” diadopsi menjadi bagian budaya Indonesia yang mewujud dalam bahasa sehari-hari. Istilah ini seringkali menjadi bahasa “perdamaian” dalam berbagai situasi sosial, termasuk “salam tempel” yang juga berkonotasi “damai” di saat pengendara motor melanggar aturan, kemudian diberhentikan polisi.

Ada baiknya istilah salam ini tidak hanya sebatas “Salam Pancasila” atau “Salam Bhinneka Tunggal Ika” yang belakangan viral di media sosial sebagai bentuk “perlawanan” terhadap klaim salam yang bersifat parsial hanya berlaku bagi kalangan atau kelompok tertentu saja. Salam tidak bisa menjadi klaim salah satu pihak atau kelompok tertentu, karena salam bernuansa universal.

Maka, sebarkanlah salam atau kedamaian kepada siapa pun dan pihak mana pun, karena sungguh itu akan sangat menyejukkan!

Baca juga:

Islam, Pancasila, dan Fitrah Keindonesiaan Kita

Rame-rame Latah dan Mengklaim Diri “Saya Pancasila!”

Saya Islam, Saya Indonesia, Saya Pancasila!

Syahirul Alim
Syahirul Alim
Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia. Penulis lepas, pemerhati sosial, politik dan agama.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.