Keunggulan demokrasi—mungkin juga pada saat yang sama dianggap kelemahan oleh sebagian kalangan—adalah memungkinkan siapa pun, dari kalangan mana pun, dan dengan kemampuan apa pun, untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai kompetisi politik seperti pemilu. Secara kasarnya, seorang yang memiliki perangai buruk pun, jika ia ikut berkompetisi dalam pemilu dan dinyatakan menang melalui proses pemilihan yang fair, maka ia berhak menjadi pemimpin. Dan semua pihak harus menghormatinya.
Di Pemilu Amerika Serikat (AS) yang baru lalu, kemunculan Donald Trump sebagai pemimpin baru negeri adidaya tersebut seolah membenarkan sinyalemen di atas. Trump yang tampil dengan perangai antagonistiknya, cenderung kasar, dan rasialis, terutama terhadap kalangan imigran termasuk kaum Muslim, ternyata dipilih rakyat AS. Betapapun banyak rakyat AS yang tidak suka terhadapnya, mereka tetap menghormati Trump sebagai pemimpin baru mereka karena terpilih secara demokratis.
Di Pilkada DKI Jakarta 2017 yang baru saja usai, tampilnya pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno agaknya memperlihatkan kecenderungan yang tidak jauh berbeda. Pasangan yang sesungguhnya dari sisi kemampuan politiknya masih kalah dari rivalnya, yakni pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat—setidaknya bisa dibaca dari dari hasil survei kepuasan terhadap petahana yang menunjuk angka di atas 60%—ternyata dipilih oleh mayoritas warga Jakarta seperti terlihat dari hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei.
Namun demikian, suka atau tidak suka, pasangan Anies-Sandi telah terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta periode 2017-2022 menggantikan Ahok-Djarot. Atas nama demokrasi, semua pihak harus menerimanya dengan lapang dada, termasuk mereka yang sebelumnya tidak mendukungnya. Inilah konsekuensi demokrasi.
Olengkah Kapal?
Jakarta bisa diibaratkan sebuah kapal utama dari induk kapal yang tengah berlayar di Samudera Indonesia. Kini, kapal itu telah berganti nakhoda. Jika sebelumnya sang nakhoda begitu piawai mengendalikan lajunya kapal, bahkan mampu menghalau berbagai gangguan, baik dari internal maupun ekseternal, pertanyaan yang muncul kemudian, apakah nakhoda baru itu akan mampu juga melakukan hal yang sama, atau lebih baik, atau bahkan lebih buruk?
Tentu tidak mudah menjadi nakhoda kapal besar Jakarta. Ada banyak problem yang bertumpuk-tumpuk: kriminalitas, kemacetan dan banjir (dua problem klasik ibu kota), dan yang paling menggiriskan saling rebutan kue politik dan ekonomi. Berbagai bandar politik dan ekonomi ada semua di Jakarta: perselingkuhan politik dan ekonomi yang berujung pada korupsi pun kerapkali mewarnai kota metropolitan ini.
Dalam situasi kota yang seperti ini pemimpin yang berani dan tegas sangat diperlukan. Nakhoda lama, terlepas dari sejumlah kekurangannya, sesungguhnya merupakan orang yang sangat tepat untuk menakhodai kapal besar Jakarta. Sebagai nakhoda kapal, ia berhasil membuat nyali para “perompak” lautan Jakarta menciut. Pada saat yang sama ia juga bergerak membersihkan orang-orang dalam yang mungkin bekerja sama dengan para perompak tersebut.
Mungkinkah nakhoda baru bisa melakukan hal yang sama?
Sebagai penumpang kapal, tentu kita berharap pasangan ini mampu. Hanya kita perlu melihatnya juga dari sisi yang nyata, apakah keduanya memiliki nyali yang besar. Dari sisi karakter, misalnya, pasangan nakhoda baru ini tampaknya bukanlah tipikal sosok yang tegas dan berani. Keduanya lebih terlihat sebagai “the nice guys”, orang-orang yang tampak ramah dan manis.
Dengan kata lain, pasangan nakhoda baru ini tidak saling mengisi karena keduanya memiliki karakter yang kurang lebih sama. Tentu ini menjadi kekurangan tersendiri bagi pasangan tersebut.
Berbeda dengan pasangan nakhoda lama yang saling mengisi antar keduanya: Yang pertama cenderung tegas, tak kenal kompromi, dan suka berbicara apa adanya, sementara yang kedua tampil lebih kalem dan cenderung mengemong.
Pasangan nakhoda baru yang sama-sama manis ini bukan tidak mungkin akan kesulitan ketika berhadapan dengan kehadiran para perompak yang kasar-kasar. Mungkin sekarang para perompak itu tengah bersorak sorai karena lawan yang dihadapinya kini, di mata mereka, tidak setangguh nakhoda sebelumnya. Boleh jadi mereka mulai melakukan rencana-rencana baru lagi untuk “mengeruk” kekayaan di kapal besar ini.
Persoalan kedua yang akan dihadapi nakhoda baru kapal Jakarta adalah relasinya dengan nakhoda kapal induk. Seperti diketahui, nakhoda baru ini sebelumnya menjadi bagian penting dari kapal induk yang kemudian “terbuang”. Maka, ketika kemudian ia berhasil menjadi nakhoda baru di kapal utama, tentu akan ada ketegangan relasional dengan nakhoda kapal utama.
Apalagi santer terdengar kabar bahwa posisi nakhoda baru di kapal utama ini sebenarnya hanyalah sasaran sementara. Target utamanya justru adalah nakhoda kapal induk di mana posisinya akan diperebutkan pada tahun 2019. Mungkin juga bukan sang nakhoda sendiri yang akan maju menantang nakhoda kapal induk, melainkan orang kuat di belakang sang nakhodalah yang akan maju ke medan laga.
Karena itu, masalah ini menjadi penting untuk diamati publik. Apakah nakhoda baru kapal Jakarta tersebut akan lebih memprioritaskan program-program kerja untuk menata kapal Jakarta, menjaga, dan menyelamatkannya dari berbagai ancaman, baik internal maupun eksternal, ataukah akan lebih mengutamakan pengejaran targetnya untuk memudahkan jalan bagi kemenangan dirinya atau penyokong utamanya untuk memperebutkan posisi nakhoda kapal induk. Bisa diduga, jika pilihan kedua yang diambil, kapal Jakarta tidak akan melaju di lautan Indonesia dengan tenang, bisa-bisa malah oleng.
Bagi para penumpang kapal Jakarta, baik yang mendukung maupun tidak, mungkin pembenahan ke dalam akan dianggap jauh lebih penting. Bagaimanapun kapal ini tengah dipercantik sedemikian rupa oleh nakhoda lama, maka nakhoda baru sebaiknya melanjutkan kerja yang sangat bagus tersebut. Apalagi nakhoda baru sendiri dituntut untuk merealisasikan janji-janjinya kepada seluruh penumpang untuk terus mempercantik kapal ini.
Namun, semua itu terpulang kepada nakhoda baru. Prioritas mana yang akan lebih dikedepankan selama menakhodai kapal Jakarta ini. Pilihan untuk melangkah terbuka di hadapannya: mau mengedepankan langkah yang rasional atau hanya mau menuruti langkah yang emosional saja.
Jelas sebagai penumpang atau sesama penumpang kapal-kapal yang ada di Samudera Indonesia, kita berharap kapal Jakarta, yang notabene kapal utama, tidak mengalami guncangan hebat sehingga membuatnya oleng. Sebab, kalau kapal utama oleng, sangat mungkin akan berpengaruh ke kapal-kapal lainnya, dan pada gilirannya kapal utama pun ikut oleng.
Maka, pertanyaannya, mau ke mana nakhoda baru kapal Jakarta?