Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2017-2022, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, melontarkan gagasan yang memicu kontroversi di masyarakat terkait dengan masalah transportasi di Ibu Kota Jakarta. Pertama, gagasan Gubernur Anies untuk mencabut larangan sepeda motor di Jalan MH Thamrin – Jalan Medan Merdeka Barat yang diterapkan sejak Desember 2014. Kedua, gagasannya untuk membuat desain trotoar di Jalan Sudirman yang bisa digunakan untuk roda dua.
Kalau yang dimaksudkan roda dua itu sepeda tentu kita mendukung, karena itu gagasan lama yang telah kami perjuangankan sejak 12 tahun silam. Tapi kalau roda dua yang dimaksudkan adalah sepeda motor tentu kita tolak, karena pejalan kaki makin tidak selamat, tidak aman, dan tidak nyaman.
Pelarangan sepeda motor melintas di Jalan MH Thamrin hingga Jalan Medan Merdeka Barat sudah berlangsung sejak Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta dijabat M. Akbar dan diperkuat dengan Peraturan Gubernur Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor. Pergub ini kemudian direvisi dengan Pergub Nomor 141 Tahun 2015.
Sejak sosialisasi gagasan sampai implementasinya hingga sekarang, kebijakan tersebut tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. Artinya, kebijakan tersebut dapat diterima di masyarakat. M.Akbar sendiri saat itu menuturkan, mengapa pilihan jalurnya adalah Jalan Thamrin – Jalan Medan Merdeka Barat karena dua alasan. Pertama, di koridor tersebut layanan angkutan umumnya sudah cukup bagus, sehingga mobilitas warga yang akan menuju ke lokasi tersebut tidak akan terganggu.
Kedua, di kawasan tersebut banyak ditemukan “jalan tikus” sehingga dapat mencapai ke lokasi tujuan dengan menggunakan sepeda motor melalui jalan belakang. Konon, keluhan itu berasal dari mereka yang memberikan layanan jasa makanan. Sejak kebijakan pelarangan sepeda motor melintas di Jl MH Thamrin diberlakukan, terjadi penurunan omset order makanan yang diantarkan dengan menggunakan ojek hingga mencapai Rp 10 miliar per bulan.
Tapi angka ini juga perlu diverifikasi akurasinya mengingat dua hal. Pertama, order makanan melalui ojek (online) di akhir 2014 itu belum berkembang, karena ojek online baru mulai muncul. Kedua, banyak bangunan di sekitar Jalan MH Thamrin yang dapat dicapai melalui “jalan tikus”, sehingga bila terjadi penurunan mungkin tidak setinggi klaim. Sayangnya, belum ada kajian transportasi mengenai benefit yang diperoleh dengan tidak melintasnya sepeda motor di jalan protokoler tersebut, sehingga kita tidak memiliki perbandingan.
Kebijakan pelarangan sepeda motor melintas di jalan-jalan protokol seperti Jalan MH Thamrin hingga Jalan Medan Merdeka Barat itu sendiri punya landasan hukum yang kuat, yaitu Perda No. 5 Tahun 2014 tentang Transportasi. Kecuali itu, pelarangan tersebut dilakukan melalui kajian teknis tentang rekayasa lalu lintas dengan memperhatikan aspek mobilitas warga. Pelarangan tersebut dilakukan pada saat Dinas Perhubungan DKI Jakarta dijabat oleh seseorang yang memiliki kompetensi sebagai ahli transportasi darat, yaitu M. Akbar.
Jadi, dasar pelarangan bukan pada pertimbangan kuasa saja, tapi lebih ke teknis (transportasi). Dilihat dari ketersediaan layanan angkutan umumnya, Jalan MH Thamrin – Jalan Medan Merdeka Barat memiliki layanan transportasi umum yang baik. Selain jalur bus Transjakarta sudah memadai, saat itu sudah ada bus tingkat gratis yang melayani hilir mudik antara Bundaran HI hingga Stasiun Juanda.
Jika pelarangan tersebut akan dicabut, tentu itu suatu kemunduran. Sebab, bila nanti 2019 Mass Rapid Transit (MRT) sudah beroperasi dan jalur Transjakarta sudah steril, sehingga sepeda motor perlu dilarang di jalan-jalan yang sudah dilayani angkutan umum, maka diperlukan waktu dan energi untuk sosialisasi lagi. Jadi, menurut saya, apa yang sudah bagus dari pemerintahan sebelumnya, lebih baik dipertahankan, sedangkan yang belum baik, itulah yang dibenahi.
Demikian pula gagasan Anies agar Dinas PUPR mendesain ulang pembangunan trotoar di Jalan Sudirman dengan desain yang bisa mengakomodasi roda dua. Bila yang dimaksudkan roda dua itu adalah sepeda motor, tentu ini suatu bencana besar bagi transportasi di Ibu Kota Jakarta, khususnya bagi pejalan kaki. Namun kalau roda dua yang dimaksudkan adalah sepeda angin, tentu itu yang kita harapkan. Karena, itu memang bagian dari perjuangan kami sejak 12 tahun silam yang meminta agar dibuatkan jalur sepeda yang bisa sharing dengan pejalan kaki (di trotoar).
Trotoar yang didesain kombinasi antara pejalan kaki dengan pengendara sepeda itu sudah banyak ditemukan di kota-kota di dunia, termasuk di Bogota yang menjadi acuan pembangunan Transjakarta. Namun, desain trotoar yang bisa mengakomodasi sepeda motor belum ditemukan di kota mana pun di dunia, karena kecenderungan kota-kota di dunia justru menghapuskan sepeda motor dari tengah kota dan mendorong warganya menggunakan angkutan umum.
Sedangkan pernyataan Wakil Gubernur Sandiaga Uno yang menimbulkan sinisme publik adalah mengenai penilaiannya terhadap para pejalan kaki di Tanah Abang yang katanya menimbulkan kesemrawutan. Di sejumlah grup WhatsApp beredar pula video seorang pedagang kaki lima (PKL) di Tanah Abang yang diwawancarai oleh salah satu televisi swasta dan mengatakan bahwa pejalan kakilah yang menimbulkan kesemrawutan di Tanah Abang.
Banyak anggota WAG yang mengkaitkan pernyataan Sandiaga Uno dengan pernyataan PKL tersebut, bahwa pernyataan Sandi merujuk PKL. Pernyataan Sandi ini tentu menimbulkan sinisme, karena baru kali ini seorang pejabat publik menyalahkan pejalan kaki sebagai sumber kemacetan maupun kesemrawutan lalu lintas.
Padahal, selama lima tahun terakhir Pemprov DKI Jakarta memperbanyak pembanguan fasilitas pejalan kaki (trotoar) guna mendorong agar makin banyak pergerakan di Jakarta dengan menggunakan jalan kaki. Tapi kali ini seorang pejabat publik di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, yang seharusnya melanjutkan pembangunan fasilitas pejalan kaki sampai ke kampung-kampung, justru menyalahkan pejalan kaki yang terlalu banyak sehingga menimbulkan kesemrawutan.
Konsistensi Anies-Sandi
Berdasarkan dua gagasan kontroversial dari Gubernur Anies dan wakilnya tersebut, timbul kekhawatiran mengenai kebijakan transportasi di DKI Jakarta lima tahun ke depan yang tidak berkelanjutan. Kata “berkelanjutan” di sini mengandung dua pengertian. Pertama, menyangkut kebijakannya itu sendiri yang tidak berkelanjutan dari pemerintahan sebelumnya ke pemerintahan berikutnya, bahkan menegasikan kebijakan-kebijakan sebelumnya yang sudah baik.
Kedua, tidak berkelanjutan dari aspek lingkungan. Tidak ada satu pun kota besar di dunia yang kebijakan transportasinya bertumpu pada sepeda motor. Bahkan Vietnam, yang kondisinya sekarang seperti Jakarta, menargetkan pada tahun 2020 nanti Kota Hanoi bebas dari sepeda motor. Sedangkan Gubernur Anies justru akan mengembalikan kehadiran sepeda motor di jalan-jalan protokol Jakarta.
Jauh sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta 1997-2007 Sutiyoso sebetulnya sudah meletakkan dasar-dasar yang baik dengan membuat grand design transportasi Kota Jakarta yang kemudian terkenal dengan sebutan Pola Transportasi Makro (PTM). Dalam PTM tersebut dirumuskan bahwa pengembangan transportasi di Kota Jakarta akan bertumpu pada angkutan umum, baik yang berbasis rel (kereta api) maupun berbasis jalan (bus). Yang berbasis rel itu, selain ada KRL Jabodetabek dan MRT, juga ada Light Rail Transit (LRT). Sedangkan yang berbasis bus itu diwujudkan dalam bentuk Transjakarta Busway.
Konsisten dengan PTM tersebut, Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2030 menetapkan bahwa share angkutan umum terhadap perjalanan di DKI Jakarta pada tahun 2030 itu mencapai 60%. Saat ini share angkutan umum baru sekitar 23% saja, sehingga diperlukan upaya ekstra untuk meningkatkan share angkutan umum tersebut agar mencapai 60%, salah satunya adalah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, termasuk sepeda motor.
Dengan kata lain, pelarangan sepeda motor melintas di Jalan MH Thamrin – Jalan Medan Merdeka Barat saat ini adalah langkah awal untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Yang akan dibatasi melintas Jalan Sudirman – Jalan Thamrin – Jalan Medan Merdeka Barat bukan hanya sepeda motor, tapi juga mobil pribadi melalui electronic road pricing (ERP). Masalahnya adalah, proses tender untuk penyelenggaraan ERP yang diselenggarakan Dinas Perhubungan 2016 lalu dimentahkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sehingga proses tendernya harus dimulai dari awal, dan baru dimulai tahun 2017 ini.
Kelak bila tender ERP itu usai, otomatis semua kendaraan pribadi, baik roda dua maupun roda empat, dibatasi gerakannya. Karena itu, lokasi-lokasi yang sekarang sudah dilakukan pelarangan sepeda motor sebaiknya tidak dimentahkan lagi, tapi tetap dipertahankan.
Yang wajib dijamin oleh Pemprov DKI Jakarta bukan sepeda motor boleh melintas di semua jalan di Jakarta, tapi soal mobilitas warga. Sejauh Pemprov DKI Jakarta menjamin akses mobilitas warga melalui layanan angkutan umum yang baik, maka pelarangan penggunaan kendaraan pribadi bukan merupakan pelanggaran hak asasi manusia, itu adalah bagian dari rekayasa lalu lintas.
Kolom terkait:
Menggusur Motor dari Jalan-jalan Protokol
Membatasi Gerak Sepeda Motor ala Ahok
Jakarta, Sistem Ganjil Genap, dan Kepanikan Ahok