Selasa, April 23, 2024

Mau Dipilih, Kampanyekan Keberhasilan

Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok meninjau saluran air saat "blusukan" di daerah Lenteng Agung, Jakarta, Senin (31/10). Ahok mengisi masa kampanye dengan melakukan "blusukan" untuk mendengarkan keluhan dan masukan dari warga. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./kye/16
Gubernur non-aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok meninjau saluran air di daerah Lenteng Agung, Jakarta, Senin (31/10/2016). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./kye/16

Kalau kita melihat perdebatan pasangan calon (paslon) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlangsung saat ini, sudah pasti semuanya merasa paling layak dipilih. Semuanya mengampanyekan, atau lebih tepatnya menjanjikan, kebaikan-kebaikan untuk wilayah/daerah di mana mereka akan memimpin.

Agar tidak terkecoh para paslon, kita harus benar-benar cermat memilah dan memilih agar pada waktunya di bilik suara tidak salah pilih. Bagaimana caranya? Pertama, dengan melihat data-data keberhasilan yang pernah diraih tiap-tiap paslon.

Kita seyogianya menyadari bahwa dalam kampanye politik, banyak cara yang bisa ditempuh para paslon, cara yang paling umum adalah melalui pencitraan. Dari cara duduk, cara berdiri, cara makan, cara berbicara, dan lain-lain, semua diatur sedemikian rupa hingga meninggalkan kesan baik bagi siapa pun yang melihatnya.

Citra yang baik diyakini paling efektif untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya. Citra yang baik juga bisa menjadi pendidikan politik bagi generasi penerus yang akan berjuang di arena politik.

Kita tidak bisa menolak pandangan seperti itu. Tapi, kepada para paslon, mungkin akan lebih jika memilih cara lain dalam berkampanye karena pencitraan bukan satu-satunya pilihan. Pencitraan sudah banyak dikritik dan dianggap sebagai bentuk kampanye yang cenderung membohongi diri sendiri. Oleh karena itu, pilihlah cara berkampanye dengan menjual keberhasilan.

Di era teknologi digital, rekam jejak keberhasilan seorang pemimpin tidak mudah ditutup-tutupi dengan kebohongan-kebohongan yang diciptakan oleh lawan-lawan politik. Setiap pemimpin memiliki rekam jejak yang sulit dilupakan karena rekam jejak itu tidak hanya tersimpan dalam memori kolektif masyarakat, tapi juga tersimpan dalam memori digital yang tersimpan di ruang maya.

Tidak bisa dimungkiri, umumnya paslon memiliki buzzer yang membantu kampanyenya. Buzzer adalah akun sosial media (twitter, facebook, instagram, dan lain-lain) yang memiliki jumlah follower sangat banyak. Para buzzer biasanya dimanfaatkan politikus untuk membangun citra, mengampanyekan dirinya.

Selain buzzer bayaran yang dimanfaatkan paslon, sejatinya ada juga buzzer yang secara formal tidak berafiliasi dengan paslon. Mereka hanya mau bekerja atas kemauan dirinya untuk ikut berpartisipasi dalam mengampanyekan calon pemimpin yang baik. Mereka tidak mau diarah-arahkan, apalagi dibayar, agar sesuai dengan keinginan paslon.

Buzzer yang independen, begitulah kira-kira sebutan yang tepat untuk mereka. Cara kerjanya berdasarkan etika, berpegang teguh pada undang-undang tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) serta ketentuan tentang ujaran kebencian (hate speech).

Kalau kita cermati, para buzzer independen ini memiliki ciri khas. Mereka pada umumnya mengampanyekan paslon dengan data-data keberhasilan yang terukur, dari sumber-sumber yang layak dipercaya.

Menjual keberhasilan dengan menampilkan data-data yang bersumber, misalnya dari Badan Pusat Statistik (BPS), merupakan kampanye paling elegan yang ditempuh para paslon. Banyak data berseliweran, data BPS kita anggap paling elegan karena dikerjakan secara profesional dan tidak berdasarkan pesan-pesan paslon mana pun.

Selain dengan melihat data-data keberhasilan, cara lain (kedua) dalam mencermati kampanye para paslon adalah dengan melihat pengakuan-pengakuan yang sudah tercatat jauh sebelum kampanye, bukan pengakuan yang sengaja dibuat pada saat kampanye berlangsung.

Pengakuan, atau testimoni tokoh-tokoh yang kredibel dan dihormati masyarakat, termasuk metode kampanye yang banyak ditempuh paslon. Yang harus kita perhatikan, kapan testimoni itu dibuat? Apakah sudah lama dan diungkapkan secara objektif, ataukah baru dan sengaja dibuat untuk kepentingan kampanye.

Untuk testimoni tokoh, biasanya, ada juga yang kemudian membantah. Tidak apa-apa, yang penting bukan membantah substansi pernyataannya, tapi membantah bahwa “pujian” yang diberikan bukan untuk kepentingan kampanye. Kita hormati bantahan seperti ini untuk menghormati independensi sang tokoh. Tapi jelas jenis kampanye testimonial seperti ini layak kita jadikan salah satu pertimbangan dalam menentukan pilihan paslon mana yang layak kita dukung.

Selain testimoni tokoh, pengakuan yang sulit dibantah adalah penghargaan dari lembaga-lembaga yang memiliki kredibilitas untuk memberikan penghargaan. Cara melihatnya gampang, sama seperti pada saat kita mencermati testimoni tokoh. Kapan penghargaan itu diberikan dan dalam kapasitas apa. Penghargaan yang diberikan untuk kepentingan kampanye bisa kita abaikan.

Setiap calon pemimpin pasti memiliki rekam jejak. Dalam rekam jejak itu tentu ada “cerita” keberhasilan yang bisa diurai dan dibagi pada khalayak. Paslon pilkada yang banyak menyimpan rekam jejak yang baik tidak perlu bersusah payah berkampanye secara verbal. Rekam jejak yang baik akan “berbicara” sendiri dan lebih dipercaya ketimbang citra yang semata-mata dibangun untuk kepentingan kampanye.

Oleh karena itu, kepada para paslon, fokuslah mengkampanyekan keberhasilanmu. Cara kampanye seperti ini jauh lebih baik daripada sibuk mencari-cari kesalahan dan kekurangan lawan.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.