Apa pentingnya peringatan Hari Santri Nasional (HSN)? Kan, ada yang nyinyir kalau HSN itu eksklusif, hanya harinya para santri saja. Lalu, yang ndak santri bagaimana? Melongo, gitu?
Eits, tunggu dulu! Prasangka bahwa hari santri itu eksklusif adalah dugaan sepihak. Lihat saja, ada hari guru, hari buruh, hari tani, hari pramuka, hari ibu, dan lainnya, apakah itu eksklusif juga? Tentu tidak, kan?
Maka, hari-hari nasional tersebut hadir sebagai bentuk apresiasi publik. Keberadaannya justru menguatkan keragaman yang ada dalam tubuh NKRI. Hari-hari tersebut juga mengingatkan bahwa ada aspek penting di dalamnya yang perlu digali dan dikaji.
Seperti Hari Santri Nasional yang diperingati tiap 22 Oktober, di dalamnya banyak aspek yang perlu kita korek. Dalam lini generasi tanah air, santri itu sudah mendiami NKRI sejak lama. Kontribusi terhadap kehidupan demokrasi pun cukup mewarnai. Kita tentu ingat nama-nama peserta BPUPKI yang jumlahnya ada sembilan itu. Salah satunya KH Wahid Hasyim. Beliau ini adalah santri Tebuireng, Jombang, yang ikut terlibat aktif dalam upaya memerdekaan bangsanya dari kaum penjajah.
Tidak cukup sampai di situ, ayah beliau, KH Hasyim Asy’ari, juga turut menjaga kehidupan demokrasi dari rongrongan kaum penjajah yang ingin merebut kembali NKRI. Fatwa resolusi jihad, yang beliau cetuskan pada 22 Oktober 1945 atas permintaan Soekarno, adalah upaya nyata kaum santri menjaga kemerdekaan. Ujung dari menggeloranya fatwa tersebut lahir pertempuran besar pada 10 November 1945 di Surabaya yang kita kenal hari ini sebagai Hari Pahlawan.
Selain itu, cucu dari KH Hasyim Asy’ari, yakni KH Abdurrahman Wahid, pernah menjabat sebagai presiden RI ke-4. Gus Dur sapaan akrabnya menjadi presiden di saat disintergrasi bangsa massif terjadi. Di situlah ia memainkan peran sebagai kepala negara untuk menjaga kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Hebat, bukan? Itu baru satu keluarga lho…, padahal santri itu jumlahnya banyak.
Dulu, kita juga mengenal KH Wahab Hasbullah atau Mbah Wahab. Beliau ini boleh dikatakan seorang motor penggerak (muharrik) para santri. Beliau ini terlibat politik praktis dalam Partai NU. Ceritanya, NU pernah bersitegang dengan Masyumi yang puncaknya terjadi di tahun 1952. Posisi Masyumi saat itu adalah poros kekuatan umat Islam lintas golongan dalam menopang demokrasi di NKRI. Tetapi, bagi NU, Masyumi tidak lagi mengapresiasi aspirasi politiknya. Maka, keputusan keluar dari Masyumi mau tidak mau harus diambil.
Mbah Wahab yang saat itu menjadi Rais ‘Aam memberi penegasan soal keputusan keluar ini. Beliau ahli ushul fiqih, maka keputusannya bisa dibaca dalam kerangka ini. Dalam ushul fiqih ada kaidah idza doqo al-amru ittasa’a, sesuatu yang menyempit itu bisa meluas. Ketika ada upaya menyempitkan ruang gerak NU di Masyumi, maka NU harus meluaskan diri, yakni dengan keluar dari Masyumi.
Dan keputusan ini terbukti. Pada Pemilu 1955, NU menjadi kekuatan ketiga dengan 45 jumlah kursi, di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi. Sementara posisi keempat dan kelima adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Inilah babak ketika NU turut terjun dalam politik praktik, yakni kepartaian.
Jadi, NU tidak semata sebagai gerakan keagamaan dan kemasyarakatan, tapi pernah juga menjadi gerakan politik. Semua dilakukan NU, dan kaum santri tentunya, dalam rangka mengawal demokrasi di tubuh NKRI. Epik kisah ini bisa kita baca dalam bukunya Greg Fealy yang berjudul Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967.
Diaspora Santri Masa Kini
Lain dulu, lain pula sekarang. Romantisme masa lalu kaum santri harus terus menemukan daya juangnya hari ini. Bolehlah kita menikmati gegap gempita Hari Santri. Tetapi jangan lupa bahwa kaum santri hari ini sangat ditunggu peranannya. Santri harus turut menjadi aktor perubahan yang mengawal kehidupan demokrasi ke arah yang lebih baik. Apa semacam superhero di film-film Hollywood? Meski bukan superhero, tapi melangkah untuk kebaikan tidak ada salahnya, kan?
Hari ini kita melihat diaspora santri di mana-mana. Di partai politik sekalipun, kaum santri sedang merangkak untuk mewarnai. Bukan hanya di partai Islam seperti PPP dan PKB saja, bahkan di Golkar, PDIP, Demokrat, PSI, dan partai lain, para santri sudah mulai memainkan peran. Ini tentu bagus untuk perkembangan demokrasi bangsa ke depan. Sebab, mereka ini generasi yang tidak perlu lagi dipertanyakan nasionalismenya. Keterbukaan menerima keragaman bangsa pun sudah teruji.
Di sisi lain, diaspora santri dalam gelanggang akademik hari ini cukup menggembirakan. Hasil obrolan ringan saya dan beberapa kawan pada Rabu malam (18/10/17) dengan Prof. Yudian W Asmin, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sekarang, cukup memberikan penguat. Beliau sendiri yang pernah mencicipi gelora ilmu di Harvard University, Amerika, dulunya adalah seorang santri Tremas.
Santri-santri seperti beliau yang menimba ilmu di berbagai belahan dunia saat ini cukup banyak. Di Timur Tengah, mereka tersebar di Mesir, Arab Saudi, Maroko, Sudan, Yaman, dan negara lainnya. Di Barat, mereka juga mampu menembus Amerika, Jerman, Rusia, Belanda, Inggris, Kanada, dan masih banyak yang lain. Termasuk Prof. Nadirsyah Hosen yang kolom-kolomnya sering nongol di portal GeoTimes. Ini salah satunya, Al-Manshur. Beliau sekarang menyumbangkan ilmunya di Australia.
Ragam diaspora santri di berbagai ranah, baik itu politik, ilmu pengetahuan, dan lainnya, sebenarnya adalah kekuatan besar yang jika mampu dimaksimalkan tentu akan menjadi peluang bagi kehidupan demokrasi berbangsa. Di sinilah makna penting dari Hari Santri Nasional. Atau dalam bahasa akademik disebut kontekstualisasi. Ibarat sepakbola, mereka, para santri ini, adalah bola yang harus dimainkan oleh negara sehingga bisa menghasilkan gol. Gol adalah representasi dari kemajuan bangsa.
Jangan sampai negara terjebak dalam narasi melankolis generasi zaman now: “semacam tak memiliki, tapi takut kehilangan”. Negara seakan tak mau memiliki para santri, tapi di satu sisi takut kehilangan potensinya. Jadi, saat inilah waktunya negara melirik potensi para santri, sebelum potensi itu hilang bagai kembang yang layu.
Tulisan terkait:
Syekh Hasyim Asy’ari dan Spirit Hari Santri
Merayakan Hari Santri dengan Puisi