Ibarat rumput di ladang, korupsi di negeri ini terus saja tumbuh subur meski telah berkali-kali dibabat. Korupsi seolah menemukan habitat persemaiannya di negara yang, oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), disebut sebagai “penggalan surga” ini.
Bayangkan saja, baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 38 anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019 sebagai tersangka. Padahal, sebelumnya, kita baru saja mendapat kabar tidak sedap lantaran sebanyak 18 anggota DPRD Kota Malang menjadi tersangka dugaan suap terkait pembahasan APBD-P Kota Malang Tahun 2015.
Korupsi massal yang terjadi sungguh memilukan. Beragam aksi dramatis operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK tampaknya hanya menguap di langit-langit harapan. Justru makin ke sini, praktik korupsi kian menggurita dan mengoyak akal sehat kita sebagai sebuah bangsa.
Secara litterlijk, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi diartikan sebagai “penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain”. Korupsi adalah kejahatan serius yang dapat melemahkan pembangunan dan tatanan sosial masyarakat. Theobald (1990) menyebut korupsi dapat menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism.
Dalam konteks global, korupsi merupakan musuh bersama. Catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2017 menyebutkan, setiap tahun diperkirakan terdapat US$2,6 triliun uang yang dicuri melalui praktik korupsi. Jumlah ini cukup fantastis lantaran setara dengan 5 persen produk domestik bruto (PDB) global.
Salah satu jenis korupsi paling berbahaya adalah korupsi massal—disebut juga korupsi berjamaah atau korupsi politik. Menurut Robert Hodes, korupsi politik merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan elite politik untuk mengejar keuntungan pribadi dengan tujuan melanggengkan kekuasaan.
Korupsi politik terjadi dalam berbagai bentuk kegiatan kriminal dan praktik-praktik kotor yang dilakukan, baik sebelum, pada saat, dan setelah menjabat sebagai pejabat publik.
Ironisnya, korupsi politik inilah yang justru berlangsung secara masif di Indonesia. Bila ditelusuri, mengutip pendapat Blechinger (2002), partai politik disebut-sebut menjadi bagian dari akar masalah korupsi politik.
Ekstraksi Politik
Dalam praktiknya, korupsi politik dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, melalui ekstraksi politik, yakni pejabat pemerintah menggunakan dan menyalahgunakan kekuasaan yang ada di tangannya untuk mendapatkan keuntungan dari sektor privat, dari pajak pemerintah, dan dari sumber ekonomi secara besar-besaran.
Kedua, melalui patronase politik, yakni mengambil keuntungan dari sumber-sumber seperti dana publik untuk menyelamatkan dan memperkuat kekuasaan. Hal ini biasanya dilakukan dengan memberikan dukungan politik kepada kelompok tertentu. Termasuk di dalamnya adalah distribusi keuangan dan material yang memberikan manfaat, keuntungan, dan memanjakan pihak tertentu (Purbolaksono, 2017).
Korupsi politik sangat mengerikan karena, selain dapat memunculkan kepemimpinan yang korup dalam setiap sektor dan lini, sistem politik akan dikuasai oleh pemilik modal. Sebagai dampaknya, kesenjangan ekonomi akan makin tajam serta pemerintahan cenderung oleng.
Sekolah Partai
Di tengah situasi seperti itulah, penting kiranya setiap partai menyelenggarakan apa yang disebut “sekolah partai”. Pertama, sekolah partai dapat menjadi wadah untuk memupuk integritas sang kandidat. Tentu di tengah mirisnya praktik korupsi yang dilakukan elite politik saat ini, integritas kandidat menjadi syarat mutlak. Melalui penguatan integritas inilah diharapkan praktik korupsi politik di negeri ini dapat dicegah secara dini.
Kedua, sekolah partai menjadi wahana untuk memperkuat skill dan kapasitas sang kandidat. Di tengah tuntutan percepatan pembangunan dan pemerataan ekonomi, Indonesia membutuhkan para pemimpin dan pejabat publik yang handal, kaya gagasan dan terobosan, bukan pemimpin dengan kemampuan standar. Dengan kata lain, melalui sekolah partai diharapkan akan lahir para pemimpin ataupun pejabat publik dengan torehan-torehan prestasi yang membanggakan.
Ketiga, sekolah partai dapat menjadi tempat untuk melakukan uji kelayakan para kandidat. Uji kelayakan penting karena jangan sampai dengan hanya bermodalkan popularitas dan “isitas” seseorang melenggang dengan mudah di jabatan publik. Padahal, secara kompetensi, yang bersangkutan tidak mumpuni. Ini tentu tidak boleh terjadi.
Keempat, sekolah partai juga dapat menarik simpati dan partisipasi para pemilih muda ataupun generasi milenial. Di tengah gejala “emoh partai” yang belakangan menyembul keras di kelompok muda dan milenial, melalui sekolah partai kita berharap gelombang apatisme politik tersebut dapat dihalau.
Memang harus diakui, kesadaran akan pentingnya sekolah partai sudah mulai pelan-pelan hadir dari elite politik. Beberapa partai—sebut saja PDI Perjuangan, Partai NasDem, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI)—sudah menyelenggarakan. Akan tetapi, kesadaran ini tidak boleh hanya muncul dari (hanya) sejumlah partai. Kita berharap kesadaran pentingnya sekolah partai muncul dari semua partai politik.
Akhir kata, di tengah kondisi ketika telah terjadi “surplus politikus defisit negarawan” seperti sekarang, melalui sekolah partai kita berharap mampu meningkatkan “surplus negarawan” di negeri ini. Semoga.
Kolom terkait:
Perilaku Korupsi dan Politik Kebajikan
Membangun Partai Politik yang Adil dan Beradab