Baik dan buruk, kesalehan dan kesalahan, serta kenikmatan dan tragedi berjalan berdampingan bersama Khalifah kesepuluh Dinasti Abbasiyah, Ja’far al-Mutawakkil ‘ala Allah. Sesuai gelar dalam namanya, pada akhirnya Ja’far hanya bisa bertawakal kepada Allah. Mari kita simak kisahnya.
Ketika Khalifah al-Watsiq wafat tanpa sempat menunjuk penggantinya, maka Ja’far al-Mutawakkil yang berusia 26 tahun diangkat menjadi khalifah oleh para pejabat pemerintahan. Saya ceritakan sebelumnya pemerintahan al-Watsiq dipengaruhi oleh pejabat sekitarnya seperti Perdana Menteri Ibn az-Zayyat, Ketua Mahkamah Agung Ahmad bin Abi Du’ad, dan Jenderal Itakh dari pasukan Turki [Baca: Surat untuk Khalifah Al-Watsiq: Pembunuh Ulama dan Pencinta Budak Pria].
Semula mereka hendak mengangkat Muhammad bin al-Watsiq, namun anak al-Watsiq ini masih kecil. Lantas mereka teringat dengan Ja’far, saudara Khalifah, yang sedang menunggu di luar kamar. Maka dipanggilah Ja’far masuk ke kamar dan diberi ba’iat sebagai Khalifah kesepuluh pada tahun 847 Masehi.
Para pejabat itu tentu berharap mereka akan terus mengendalikan jalannya pemerintahan, sebagaimana yang berhasil mereka lakukan kepada al-Watsiq layaknya boneka mereka. Tetapi mereka keliru. Ja’far tidak bisa mereka atur semaunya saja.
Khalifah al-Mutawakkil bergerak cepat dengan mencopot Perdana Menteri Ibn Zayyat, yang telah mengangkat dia sebelumnya. Apa pasal? Tarikh Thabari menceritakan bahwa Ibn Zayyat pernah mempermalukan al-Mutawakkil dulu sewaktu dia belum punya kekuasaan.
Sang Perdana Menteri dengan pongahnya membiarkan al-Mutawakkil menunggu berjam-jam dan kemudian mencemoohnya di depan publik, bahkan melaporkannya kepada Khalifah al-Watsiq yang ikut-ikutan mempermalukan adiknya ini dengan memotong rambutnya dan memukul wajahnya. Ini semua akibat pengaruh dari Ibn Zayyat. Itulah sebabnya, begitu al-Mutawakkil berkuasa, tanpa ragu Ibn Zayyat langsung dicopot.
Al-Mutawakkil meminta Jenderal Itakh menangkap Ibn Zayyat, merampas semua harta bendanya, lantas memasukkan Ibn Zayyat ke penjara pada 22 September 847. Dia mengalami penyiksaan luar biasa–yang diceritakan dengan detail oleh Imam Thabari, akhirnya Ibn Zayyat wafat dan dikubur layaknya seorang kriminal pada 2 November 847. Tidak ada upacara kenegaraan bagi mantan perdana menteri yang telah memimpin sejak masa dua khalifah sebelumnya.
Jenderal Itakh boleh saja menduga bahwa perintah menangkap Ibn Zayyat sebagai ujian loyalitasnya kepada khalifah baru, dan setelah sukses menjalankan tugasnya ini dia akan menjadi teman kepercayaan khalifah. Sang Jenderal pun keliru. Al-Mutawakkil dengan cerdik mengizinkan Itakh untuk naik haji. Dengan demikian, Itakh akan terpisah dari pasukannya.
Di perjalanan menuju tanah suci, Itakh ditangkap dan kemudian dimasukkan ke dalam penjara. Kedua anaknya, Mansur dan Muzaffar, pun ikut dimasukkan ke dalam penjara. Tanpa diberi minum, akhirnya sang jenderal pun tumbang dan meninggal dunia.
Begitulah model pemerintahan khilâfah itu. Tanpa adanya the rule of law, semuanya tergantung keinginan sang khalifah. Kalau khalifah senang dengan Anda, maka Anda akan mendapat jabatan dan harta. Tapi kalau khalifah tidak senang lagi, maka kelar hidup loe!
Tinggal tersisa satu pejabat lagi: Ibn Abi Du’ad, Ketua Mahkamah Agung yang di masa dua khalifah sebelumnya (al-Mu’tashim dan al-Watsiq) berada di belakang peristiwa mihnah (ujian keagamaan yang berujung pada persekusi) yang membuat banyak ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menderita dan bahkan dihukum mati. Ibn Abi Du’ad tidak perlu dibunuh oleh Khalifah al-Mutawakkil karena beberapa saat setelah pergantian kekuasaan dia sudah duluan terkena stroke yang mengakibatkan tubuhnya lumpuh.
Imam Suyuthi mengomentari bahwa tubuh Ibn Abi Du’ad bagaikan seonggok batu yang tidak berguna. Posisinya diambil sementara oleh Muhammad, yang merupakan anaknya sendiri. Namun pada tahun 851 Khalifah al-Mutawakkil memutuskan mencopot secara resmi Ibn Abi Du’ad dan anaknya, serta sejumlah hakim lainnya yang bermazhab Mu’tazilah.
Harta mereka diambil negara dan tiga tahun kemudian Ibn Abi Du’ad meninggal dunia. Apakah ini azab Allah? Tentu tidak bisa semudah itu kita membuat asumsi, meski Ibn Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah menceritakan sejumlah orang melihat dalam mimpi mereka Ibn Abi Du’ad mendapat murka Allah. Wa Allahu a’lam.
Berakhirnya kekuasaan Ibn Abi Du’ad, maka berakhir pula mihnah. Khalifah al-Mutawakkil secara resmi menghentikan mihnah yang telah berlangsung sejak tahun 833 itu. Imam Ahmad bin Hanbal dibebaskan dari penjara. Bahkan al-Mutawakkil memerintahkan tubuh Ahmad ibn Nashr al-Khuza’i yang telah terpisah dari kepalanya dan digantung selama 6 tahun di gerbang kota oleh Khalifah al-Watsiq, untuk diturunkan, disalatkan dan kemudian dikuburkan.
Maka, kembalilah para ulama tradisional menguasai mimbar dan majelis. Yang bertahun-tahun mereka sembunyi dari kejaran khalifah, kini mereka diundang ke istana dan diperbolehkan kembali mengajar. Namun kembalinya kelompok tradisionalis ini juga “kebablasan”. Al-Mutawakkil menjadi sangat rigid terhadap kelompok non-Ahlus Sunnah. Menurut Imam Suyuthi, al-Muatwakkil menjadi fanatik.
Misalnya, dia memerintahkan agar kuburan Sayidina Husein diratakan dengan tanah. Dia juga memberi instruksi agar orang Nasrani memakai gelang warna kuning sebagai penanda bahwa mereka bukan golongan Muslim. Sejumlah gereja diambil alih dan dijadikan masjid. Dan gambar setan ditaruh di pintu rumah mereka sebagai penanda ini bukan rumah orang Islam.
Orang Nasrani juga dilarang belajar di sekolah Islam. Kuburan mereka pun tidak boleh sejajar tingginya dengan kuburan Muslim. Begitu penuturan Imam Thabari dalam kitab Tarikh.
Siapa pun yang berbeda dengan pemahaman tradisional Khalifah al-Mutawakkil, maka dia akan disiksa seperti yang dialami Abu Bakar bin al-Laits, hakim di Mesir yang dituduh bagian dari kelompok Jahmiyah. Nasib lebih tragis menimpa Ibn Sikkit, ahli sastra Arab yang menjadi guru kedua putra Khalifah al-Mutawakkil, yaitu al-Mu’tazz dan al-Mu’ayyad.
Khalifah bertanya kepada Ibn Sikkit, “Siapa yang lebih engkau senangi: dua anak saya atau Hasan-Husein dua anak Ali bin Abi Thalib?” Ibn Sikkit menjawab, “Bahkan Qanbar, budak Ali bin Abi Thalib, bagiku lebih aku senangi dibanding kedua anakmu.”
Tentu jawaban Ibn Sikkit yang apa adanya itu bisa kita pahami. Bagaimana mungkin al-Mutawakkil membandingkan dirinya dengan Sayidina Ali bin Abi Thalib? Bagaimana mungkin pula Ibn Sikkit disuruh memilih antara kedua anak Khalifah atau Sayidina Hasan dan Sayidina Husein, yang bukan saja putra Sayidina Ali tapi merupakan cucu kesayangan Rasulullah.
Pertanyaanya sudah salah. Dan jawaban Ibn Sikkit lebih nyelekit lagi. Maka, Khalifah al-Mutawakkil segera memerintahkan pengawalnya untuk menginjak perut Ibn Sikkit hingga wafat. Imam Suyuthi mencatat bahwa ada riwayat lain yang mengatakan al-Mutawakkil memerintahkan pengawalnya mencabut lidah Ibn Sikkit hingga wafat. Ibn Sikkit pun dihujat sebagai Syiah ekstrem.
Gempa bumi, angin puyuh, petir menyambar, dan hujan batu es serta longsor adalah berbagai bencana alam yang dialami umat pada masa Khalifah al-Mutawakkil seperti dicatat oleh Imam Suyuthi dan Imam Thabari dengan detail. Puluhan ribu orang wafat karenanya dan berhari-hari tidak bisa keluar rumah. Sekali lagi, apakah ini azab Allah? Tentu tidak semudah itu kita membuat klaim seperti yang sering digunakan kids jaman now. Alam boleh jadi memberi pertanda akan berbagai kerusakan yang dilakukan manusia terhadap lingkungannya.
Kenikmatan duniawi juga tidak dilewatkan oleh Khalifah al-Mutawakkil. Beliau menyenangi minum-minuman. Bahkan dikabarkan memiliki 4 ribu budak perempuan. Dalam kitab Tarikh Khulafa Imam Suyuthi, dikatakan bahwa semua budaknya itu pernah digauli oleh al-Mutawakkil. Alamak!
Sekitar tahun 850 Masehi, Khalifah al-Mutawakkil mengatur dengan sangat detail pembagian kekuasaan di antara ketiga putranya, yaitu al-Muntashir, al-Mu’tazz, dan al-Mu’ayyad. Imam Thabari mencamtunkan teks lengkap surat penunjukkan ini dalam kitab Tarikh Thabari.
Penunjukkan satu paket ini berarti selepas al-Mutawakil berkuasa, maka yang akan menggantikannya secara berurutan adalah ketiga anaknya itu. Sebuah rencana yang matang dan detail untuk melanggengkan kekuasan Dinasti Abbasiyah.
Namun, sepuluh tahun kemudian angin politik berubah. Al-Mutawakkil terpengaruh oleh sekretarisnya, al-Fath ibn Khaqqan, yang lebih menyukai al-Mu’tazz. Khalifah berubah pikiran dan hendak mencopot al-Muntashir dari jalur suksesi. Al-Muntashir tentu tidak menerimanya.
Pada saat yang sama, Jenderal Washif juga jengkel dengan Khalifah dan sekretarisnya. Ini akibat Khalifah memerintahkan harta benda Washif disita dan diberikan kepada sekretaris negara al-Fath ibn Khaqqan.
Maka, disusunlah konspirasi dari pasukan Washif untuk membunuh Khalifah al-Mutawakkil dengan persetujuan al-Muntashir yang khawatir tidak akan berada di jalur suksesi selama ayahnya masih hidup. Imam Thabari menceritakan bahwa rencana itu berhasil dan al-Mutawakkil, saat dalam kondisi mabuk, dibunuh dengan mudah. Al-Muntashir kemudian menuduh al-Fath yang membunuh khalifah, dan karenanya al-Fath pun ikut dibunuh. Sebuah konspirasi politik yang luar biasa.
Berakhirlah kekuasaan Khalifah al-Mutawakkil pada 11 Desember 861. Beliau wafat pada usia 40 tahun setelah 14 tahun berkuasa. Al-Muntashir yang berusia 25 tahun naik menggantikan ayahnya lewat konspirasi politik berdarah. Lantas bagaimana dengan nasib kedua adiknya, yaitu al-Mu’tazz dan al-Mu’ayyad? Ikuti kisah berikutnya pada kolom Jum’at pekan depan. Insya Allah.
Kolom terkait:
Surat untuk Khalifah Al-Watsiq: Pembunuh Ulama dan Pencinta Budak Pria
Khalifah Musa: Perselisihan Tragis Anak dan Ibu
Khalifah al-Amin bin Harun ar-Rasyid: Penyuka Sesama Jenis dan Pemicu Perang Saudara