22 September 717 adalah hari di mana Umar bin Abdul Azis, Khalifah kedelapan Dinasti Umayyah, menerima bai’at. Dia dikenal sepanjang masa dengan nama yang harum. Dialah contoh khalifah terbaik dari Dinasti Umayyah. Namun, sayang, kekuasaannya tidak berlangsung lama, sependek usianya. Dia wafat diracun oleh keluarganya sendiri.
Di masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis ada pemberontakan dari kelompok Haruriyah Khawarij. Umar bin Abdul Azis merespons pemberontakan tersebut mula-mula dengan meminta mereka untuk bersikap berdasarkan Qur’an dan Sunnah.
Pesan Umar ini sangat mengena karena justru selama ini Khawarijlah yang selalu merasa paling islami dengan paling benar pemahamannya terhadap Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad. Pesan Khalifah Umar bin Abdul Azis meminta mereka untuk diam sejenak dan melakukan refleksi benarkah apa yang mereka lalukan sudah sesuai dengan kedua nash suci itu.
Sayang mereka menolak pesan Umar. Perang pun terjadi. Namun demikian, Abdul Hamid, Gubernur Irak, dan pasukannya kalah dari Haruriyah. Maka, Umar mengirimkan Jenderal Maslamah bin Abdul Malik untuk menumpas Haruriyah. Umar tidak segan mengirim pasukan dari Syiria melawan mereka yang memberontak terhadap keutuhan negara.
Meski demikian, Umar menempuh jalan dialog ketika salah satu pemberontak, Bistham, melayani ajakan dialog. Bistham mengirim dua orang utusan untuk berdebat dengan Umar. Umar pun meminta pasukannya dari Kufah menahan diri untuk tidak menyerang Bistham.
Dialog lengkap perdebatan Umar dengan dua utusan pemberontak dicatat oleh Ibn Qutaybah dalam kitab Tarikh-nya, jilid 1 (halaman 99-100). Imam al-Thabari mencuplik dialog tersebut sebagai berikut:
Pemberontak: “Katakan pada kami apa pandanganmu tentang Yazid bin Abdul Malik, yang dalam surat Khalifah Sulaiman ditetapkan akan menggantikanmu sebagai khalifah berikutnya?”
Pertanyaan ini disampaikan karena para pemberontak mengakui kredibilitas Umar tapi tidak mengakui integritas Yazid. Kalau Umar mendukung Yazid, maka sama saja Umar pun mereka akan salahkan dan cukup alasan bagi pemberontak untuk melawan Umar.
Umar menjawab: “Bukan aku yang menetapkan dia sebagai khalifah penggantiku.”
Maksud Umar adalah Umar menjadi khalifah karena surat Sulaiman sebagai khalifah sebelumnya yang menetapkan Umar dan kemudian Yazid sebagai penerus tahta khalifah Dinasti Umayyah.
Kalau Umar menolak Yazid, Umar pun kehilangan legiitmasi sebagai khalifah karena mereka diangkat satu paket oleh orang yang sama. Umar tidak dalam posisi memilih dirinya sendiri atau Yazid. Jadi, kesalahan tidak bisa ditimpakan kepada Umar.
Pemberontak menjawab, “Seandainya Anda diberi amanah mengurusi sebuah properti yang merupakan milik orang lain, dan anda kemudian mempercayakan pengurusan properti itu ke pihak ketiga yang Anda tahu dia tidak punya kapabilitas dan integritas mengurusinya, apakah Anda pikir Anda telah menjalankan amanah dari pemilik properti itu?”
Umar terkejut dengan pertanyaan ini. Umar meminta waktu 3 hari untuk menjawabnya. Dialog ini didengar oleh anggota keluarga Bani Umayyah lainnya, khususnya keturunan Marwan, kakek Umar dan Yazid. Mereka ketakutan kalau Umar kemudian mempreteli properti yang mereka miliki dan mengembalikannya ke umat.
Lazim diketahui bahwa keluarga keturunan Marwan hidup mewah karena kekuasaan khalifah turun temurun di tangan mereka. Umar sendiri yang lain daripada mereka. Maksud pemberontak yang hanya menyasar posisi Yazid dipahami pemberontak sebagai serangan untuk keluarga besar Bani Umayyah.
Kekhawatiran mereka terbukti. Umar dengan nekat mengembalikan properti dan kekayaan yang dikuasai keluarganya sendiri ke umat. Imam Suyuthi mengabarkan bagaimana uang belanja istri Umar hanya dua dirham setiap harinya. Umar meminta istrinya untuk menyerahkan semua perhiasan dan permata yang dimilikinya kepada umat. Umar pun memerintahkan keluarga besar Bani Umayyah melakukan hal serupa.
Sementara rakyat mengelu-elukan kebijakan Umar yang populis dan sikapnya yang sederhana, keluarga besar Bani Umayyah murka. Mereka tidak bisa menerima Khalifah Umar malah membuat keluarganya sendiri jatuh miskin, bukannya mengutamakan keluarganya sebagaimana para khalifah Dinasti Umayyah lainnya.
Karena kemuliaan dan kesederhanaan Umar yang amat sangat langka, sejarah Islam mengenalnya sebagai khalifah yang baik. Disebut-sebut namanya sebagai khalifah kelima dalam barisan empat al-Khulafa al-Rasyidun sebelumnya, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib.
Bahkan sebagian puji-pujian terhadap Umar cukup berlebihan–sebagai indikasi rakyat benar-benar merindukan pemimpin yang sederhana seperti beliau. Saya bilang cukup berlebihan karena beberapa puji-pujian yang dicatat Imam Suyuthi tidak masuk akal atau sulit diverifikasi.
Misalnya, Wahab bin Munabbih menganggap Umar bin Abdul Azis itu sebagai Imam Mahdi. Musa bin A’yun mengatakan begitu adilnya Umar bahkan sampai serigala pun tidak mau memakan domba. Ketika kemudian serigala kembali memakan domba penduduk, maka itulah pada hari Umar bin Abdul Azis telah berpulang ke rahmatullah dan digantikan oleh Yazid bin Abdul Malik.
Rayyah bin Ubaidah bercerita bahwa dia melihat Umar bin Abdul Azis melangkah ke masjid hendak salat. Lantas dia melihat ada orang tua yang bersandar pada tangannya Umar. Setelah itu, Rayyah bertanya siapa orang tua itu. Umar kaget dengan pertanyaan itu: “apakah engkau melihatnya juga?”
Rayyah menjawab, “iya.”
Umar menjawab: “Itulah Nabi Khidr yang mendatangiku dan berpesan agar aku aku kelak memerintah dengan adil.”
Maymun bin Mahran meriwayatkan ada lelaki yang bermimpi melihat Rasulullah dan kedua sahabatnya, yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Orang ini melihat Umar bin Abdul Azis ada di depan Rasulullah. Rasulullah kemudian berkata kepada Umar bin Abdul Azis dalam mimpinya tersebut agar kelak saat menjadi khalifah dapat berperilaku seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Sewaktu mimpi itu diceritakan kepada Umar bin Abdul Azis, dia meminta orang tersebut bersumpah bahwa benar dia memang bermimpi seperti itu dan Rasulullah memberi amanah demikian. Orang itu bersumpah, maka meledaklah tangis Umar bin Abdul Azis.
Bukan cuma isyarat dari Nabi Khidr dan Nabi Muhammad saja. Kisah terus berlanjut bahwa Umar bin Khattab, sebagaimana tercatat dalam kitab Imam Suyuthi yang mengutip dari Imam Tirmidzi, juga berpesan bahwa “akan ada anak keturunanku yang di wajahnya ada bekas luka, dia akan memenuhi bumi ini dengan keadilan”.
Umar bin Abdul Azis dilaporkan bukan saja kepalanya botak, tetapi juga ada cacat bekas luka di wajahnya akibat tendangan binatang sewaktu masih kanak-kanak. Umar bin Abdul Azis memang merupakan keturunan Umar Bin Khattab dari jalur ibunya.
Kenapa begitu penting membawa kisah jalur keturunan Umar bin Khattab, peristiwa dengan Nabi Khidir, dan juga mimpi orang lain dengan Nabi Muhammad? Saya pernah ceritakan bahwa ada satu riwayat yang mengatakan Siti Aisyah radhiyallah ‘anha mengaku pernah mendengar Rasul melaknat ayah Marwan sebagai pohon yang terkutuk dalam QS al-Isra ayat 60 (baca: Khalifah Marwan bin Hakam dan Pohon Terkutuk dalam Qur’an.
Marwan dianggap pecahan laknat Allah karena ayahnya pernah dilaknat saat dia masih berada dalam tulang sulbi ayahnya. Umar bin Abdul Azis ini cucu Marwan. Jadi, sebenarnya mengikuti “politisasi ayat dan hadis” dalam sejarah politik Islam, maka Umar bin Abdul Azis seharusnya ikut kena laknat. Namun, kenyataannya dia dianggap seorang pemimpin yang baik.
Maka, muncullah cerita untuk mengimbangi “kutukan turun temurun” dengan mengatakan Umar bin Abdul Azis adalah keturunan Khalifah Umar bin Khattab yang telah diprediksi kemunculannya oleh khalifah kedua, bahkan telah didukung oleh Nabi Khidr dan Nabi Muhammad, dan juga dianggap seperti Imam Mahdi.
Tidak hanya sampai di situ pembersihan jalur “kutukan” keturnan Marwan. Dikabarkan pula bahwa Khalid ar-Rabi’ berkata: “sungguh kami dapati dalam kitab suci Taurat bahwa langit dan bumi menangis selama 40 hari akibat wafatnya Umar bin Abdul Azis”. Dahsyat, bukan?! Wafatnya Umar Bin Abdul Azis sudah ada dalam kitab Taurat. Unbelievable!
Tidak cukup sampai di sini keanehan para politisi berargumen. Yusuf bin Mahik berkata, “saat kami meratakan kuburan Umar bin Abdul Azis melayang dari langit kitab tipis yang isinya tertulis ‘Bismillahirrahmanirrahim, keselamatan dari Allah untuk Umar bin Abdul Azis dari api neraka'”.
Saya memang membaca beberapa kisah ajaib di atas. Selain sebagai cara membersihkan “kutukan keturunan” yang telanjur terlontar beberapa puluh tahun sebelumnya, ini juga sebagai ungkapan kerinduan umat akan sosok sederhana dan agung seperti Khalifah Umar bin Abdul Azis.
Beliau pula yang mencegah para khatib Jum’at mengakhiri khutbahnya dengan mencaci-maki Imam Ali dan keturunannya. Kita tahu Dinasti Umayyah ditegakkan lewat kemenangan keji dan tragis atas Imam Ali bin Abi Thalib dan keturunnanya. Ini seolah menjadi musuh abadi mereka yang harus selalu dikutuk dan dicaci-maki di mimbar Jum’at.
Khalifah Umar bin Abdul Azis melarangnya meneruskan tradisi buruk ini dan mengganti ucapan terakhir khutbah Jum’at dengan ayat dari QS an-Nahl ayat 90, yang sampai sekarang berlanjut dibaca oleh para khatib.
Umar bin Abdul Azis dikabarkan wafat karena diracun oleh keluarganya sendiri sebelum lepas tiga hari memberi jawaban dalam dialog dengan para pemberontak di atas. Kekhawatiran bahwa Umar akan terpengaruh oleh pertanyaan pemberontak dan akan menyita properti Bani Umayyah dan memgembalikan semuanya ke umat membuat mereka kalap dan meracuni sang khalifah.
Dilaporkan Umar bin Abdul Azis wafat pada 10 Februari 720. Dan hanya berkuasa selama dua tahun lebih 5 bulan. Saat itu dia berusia 39 tahun.
Pelayannya mengatakan bahwa Umar bin Abdul Azis menjelang wafat meminta pelayannya keluar karena dia telah melihat ada yang datang berkunjung yang “bukan manusia dan bukan pula jin”. Maksud Umar tentu kehadiran malaikat. Lantas pelayannya mendengar Umar membaca QS 28 ayat 83:
“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”
Ketika pelayannya kembali memasuki kamarnya, dia mendapati Umar bin Abdul Azis sudah wafat dengan wajah menghadap kiblat. Maka, dunia Islam kehilangan seorang khalifah, yang sedikit sekali dari sejarah para khalifah yang dikenang sepanjang masa dengan tinta emas.
Baca juga:
Proyek Gagal Khilafah dan Tumbangnya Moral Islam