Khalifah Al-Mahdi memiliki istri yang bernama Khayzuran. Sebenarnya istrinya ini seorang mantan budak. Sewaktu masih remaja dia diculik orang badui dan dijual di pasar budak. Al-Mahdi tertarik membeli budak cantik ini. Setelah Al-Mahdi menjadi khalifah, Khayzuran berhasil merayu Al-Mahdi untuk memerdekakannya, menikahinya, dan menjadikannya permaisuri, menggeser kedudukan permaisuri sebelumnya.
Dari rahim Khayzuran lahir khalifah keempat dan kelima Abbasiyah: Musa dan Harun. Kita bahas Khalifah Musa terlebih dahulu dalam lanjutan mengaji sejarah politik Islam ini.
Musa (lahir tahun 764 Masehi) adalah anak tertua Al-Mahdi. Sesuai wasiat ayahnya, dia berada dalam satu paket bersama adiknya, Harun, meneruskan kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Kalau ayahnya digelari al-Mahdi, Musa diberi gelar Al-Hadi. Menjadi kebiasaan para khalifah untuk memberi gelar pada nama mereka.
Selain memiliki gelar kehormatan Al-Hadi, Khalifah Musa juga punya julukan lain. Kebetulan bibir Musa itu sumbing, maka setiap dia membuka mulutnya seorang pelayan setianya selalu mengingatkan, “Athbiq” (tutuplah). Maka, dia pun, menurut penuturan Imam Suyuthi, dijuluki juga sebagai Musa Athbiq.
Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa Khalifah Musa ini senang mabuk-mabukkan, bermain, dan menunggangi keledai dengan baik, namun dia bukanlah seorang khalifah yang menjalankan tugasnya dengan baik.
Imam Suyuthi juga menuturkan bahwa ada yang berpendapat Khalifah Musa ini merupakan pemimpin yang zalim. Selalu ada pengawal di sampingnya yang menghunus pedang. Apa yang disampaikan ini bisa kita pahami konteksnya bahwa di masa pemerintahan Musa al-Hadi, dia disibukkan dengan peperangan.
Pertama, dia melanjutkan amanat ayahnya, Khalifah Al-Mahdi, untuk mengejar dan memerangi kaum Zindiq. Termasuk yang dibunuh adalah Yazdan bin Badzan, ‘Ali bin Yaqthin, dan Ya’qub bin al-Fadhl—sebagaimana dicatat oleh Imam Thabari. Kedua, terjadi pertempuran antara Abbasiyah dengan Romawi. Ketiga, terdapat pemberontakan Khawarij yang memaksa Musa mengirim pasukannya.
Terakhir, ada pula pemberontakan dari Al-Husain bin Ali bin al-Hasan bin al-Hasan bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ini keturunan Sayyidina Hasan, cucu Nabi. Al-Husain ini mengklaim diri sebagai khalifah di Madinah dan ditumpas oleh pasukan Khalifah Musa al-Hadi. Jenazah para pendukung Al-Husain dibiarkan selama tiga hari, sementara Al-Husain dipenggal kepalanya. Sejarawan mencatat ini sebagai pertempuran Fakh (Juni tahun 786 Masehi).
Pengikut Al-Husain yang bernama Idris bin Abdullah berhasil melarikan diri ke Maroko dan kemudian mendirikan Dinasti Idrisiyah, yang disebut-sebut merupakan cikal bakal kerajaan Maroko saat ini.
Khalifah Musa al-Hadi hanya berkuasa selama kurang lebih satu tahun (785-786). Sejarah menandai kepemimpinannya selain disibukkan dengan peperangan, juga dengan perselisihan antara Musa dan Ibunya. Khayzuran, sepeninggal suaminya, Al-Mahdi, bergeser dari seorang permaisuri menjelma menjadi ibu suri khalifah yang sangat berkuasa. Banyak para pejabat yang melaporkan dan berkonsultasi dengan Khayzuran.
Kenyataan ini membuat Musa murka. Dia tidak suka ibunya mencampuri urusan kerajaan. Musa bahkan memindahkan ibu kota dari Baghdad ke kota Haditsah. Namun, pengaruh ibunya, yang terkenal pintar dan kharismatik, tidak juga surut.
Imam Suyuthi merekam kemurkaan Khalifah Musa al-Hadi kepada ibunya, dan bagaimana kisah anak dan ibu ini berakhir tragis:
وقال: لئن وقف ببابك أمير لأضربن عنقه! أما
لك مغزل يشغلك، أو مصحف يذكرك، أو سبحة؟ فقامت ما تعقل من الغضب، فقيل: إنه بعث إليها بطعام مسموم، فأطعمت منه كلبًا فانتثر فعملت على قتله لما وعك بأن غموا وجهه ببساط جلسوا على جوانبه؛ وخلّف سبعة بنين
“Musa berkata kepada ibunya: ‘Jika ada seorang Amir yang datang ke pintumu, akan aku pukul tengkuknya (maksudnya mau dipenggal kepalanya). Tidakkah ibu punya alat tenun untuk menyibukkan dirimu, atau membaca mushaf al-Qur’an yang bisa mengingatkanmu, atau bertasbih saja?’ Ibunya bangkit berdiri menahan amarahnya. Maka, dikatakan setelah peristiwa itu, Khalifah Musa mengirimkan makanan beracun kepada ibunya. Sang Ibu yang sudah curiga malah memberikan makanan itu ke anjing, yang ternyata mati seketika akibat racun itu. Ibunya kemudian mengatur cara agar dia bisa membunuh anaknya. Lantas dia membekap anaknya, Khalifah Musa, dengan selendang sehingga tidak mampu bernafas. Khalifah Musa saat wafat meninggalkan 7 anak lelaki.”
Imam Thabari menjelaskan lebih rinci konteks perselisihan keduanya. Menurut catatan beliau, dalam empat bulan pertama kekhalifahan Musa sebenarnya sang khalifah selalu memenuhi permintaan ibunya. Memberinya berbagai hadiah dan apa saja yang diinginkannya.
Para pejabat menjadi tahu bahwa kalau hendak meminta sesuatu kepada khalifah, mereka harus mendekati ibu suri. Maka, berjejerlah para pejabat mendatangi ibu suri, dan sang ibu meneruskan berbagai permintaan pejabat itu kepada khalifah. Inilah konteks kemarahan Musa karena sang ibu tanpa sadar telah dimanfaatkan para pejabat bawahan khalifah.
Imam Thabari juga memaparkan riwayat lain bahwa wafatnya Khalifah Musa itu karena sakit ususnya sampai bernanah. Imam Suyuthi juga memaparkan adanya versi wafat karena sakit ini. Namun, dalam versi Imam Thabari mengenai selendang yang dipakai membekap Musa itu dilakukan bukan oleh tangan ibunya sendiri, melainkan melalui Khalisah, budak perempuan sang ibu atas perintah Khayzuran sendiri.
Hal itu dilakukan setelah sang ibu mendengar kabar bahwa Musa berusaha menyingkirkan adiknya, Harun, dari jalur suksesi dan menggantikannya dengan Ja’far, anak Musa.
Entah versi mana yang benar. Namun, jika benar perselisihan keduanya sampai membuat Khayruzan membunuh anaknya sendiri, maka jelaslah kekuasaan ternyata membuat anak dan ibu sama-sama gelap mata.
Berikutnya insya Allah kita lanjutkan kisah khalifah kelima Abbasiyah yang sangat masyhur namanya, yaitu Khalifah Harun ar-Rasyid.
Kolom terkait:
Khalifah Ketiga Abbasiyah: Klaim sebagai Mahdi
Al-Manshur, Khalifah Kedua Abbasiyah: Pecinta Ilmu yang Memenjarakan Ulama