Ini kisah tentang khalifah Abbasiyah ketiga. Nama aslinya Muhammad. Bapaknya bernama Abdullah, yang kemudian dikenal sebagai Khalifah al-Manshur. Lantas beredar riwayat bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Al-Mahdi namanya akan menyerupai namaku (Muhammad). Dan nama ayahnya sama pula dengan nama ayahku (Abdullah).”
Dalam riwayat lain disebutkan pula: “Al-Mahdi dari keturunan Abbas, pamanku.” Inilah sebabnya khalifah ketiga ini diberi gelar Al-Mahdi. Tapi, benarkah dia seorang Imam Mahdi? Simak yuk lanjutan mengaji sejarah politik Islam.
Riwayat pertama di atas dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan dianggap sahih oleh Imam Suyuthi. Namun, mengenai riwayat kedua di atas dianggap bermasalah karena salah satu perawinya, Muhammad bin al-Walid, terkenal sebagai tukang pemalsu hadits. Tapi tetap saja kedua riwayat ini ketika dikombisikan berhasil meletakkan legitimasi politik yang kuat untuk Khalifah Muhammad al-Mahdi yang menggantikan ayahnya, Khalifah Abu Ja’far al-Manshur.
Dalam serial tulisan sebelumnya, sudah saya jelaskan rebutan klaim di kalangan keluarga Nabi Muhammad yang telah berhasil menumbangkan Dinasti Umayyah: apakah yang berhak memimpin umat itu keluarga Nabi dari keturunan Siti Fathimah dan Ali bin Abi Thalib, atau dari jalur Sayyidina Abbas, paman Nabi. Yang pertama dipercaya kalangan Syi’ah, sedangkan pendapat yang kedua dipegang oleh Dinasti Abbasiyah.
Klaim pewaris sah dari keluarga Nabi di kelompok pertama juga terpecah lagi: apakah dari jalur keturunan Sayyidina Hasan atau dari jalur keturunan Sayyidina Husain? Maka, muncullah tokoh bernama Muhammad bin Abdullah yang memliki jalur keturunan sekaligus dari Hasan dan Husain. Namanya juga pas sesuai dengan riwayat Abu Dawud di atas, yaitu seperti nama Nabi dan nama ayah Nabi.
Tokoh ini dikenal sebagai Muhammad an-Nafs az-Zakkiyah. Dia kemudian dianggap sebagai salah satu imam dari kelompok Syi’ah Zaidiyah. Imam Ja’far as-Sadiq dari Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyah menolak klaim Muhammad an-Nafs az-Zakkiyah sebagai Imam Mahdi. Syi’ah Imamiyah percaya bahwa Imam Mahdi itu dari jalur keturunan Siti Fathimah dan dari anak keturunan Sayyidina Husain. Imam kedua belas mereka, Muhammad bin Hasan al-Askari, dipercaya sebagai Imam Mahdi.
Lantas, bagaimana dengan kalangan Abbasiyah? Abbasiyah menolak klaim Syi’ah di atas, baik Zaidiyah maupun Imamiyah. Mereka bilang dari riwayat Abu Dawud di atas, nama Imam Mahdi itu Muhammad bin Abdullah, padahal Syi’ah Imamiyah percaya nama Imam Mahdi mereka Muhammad bin Hasan. Tidak matching dengan hadits Abu Dawud. Kelompok Syi’ah Imamiyah tentu punya alasan tersendiri menolak riwayat Abu Dawud—tapi ini bukan bahasan kita dan tidak perlu saya urai lebih jauh.
Penolakan terhadap Muhammad an-Nafs az-Zakkiyah yang mengklaim sebagai Imam Mahdi juga dilakukan oleh Dinasti Abbasiyah dengan tiga cara. Pertama, dengan memviralkan riwayat kedua di atas mengenai Mahdi dari jalur keturunan Abbas, paman Nabi.
Kedua, Khalifah Abu Ja’far al-Manshur memerangi dan membunuh Muhammad an-Nafs az-Zakkiyah di Madinah seperti saya singgung dalam tulisan lalu (Al-Manshur, Khalifah Kedua Abbasiyah).
Ketiga, dan ini fokus bahasan kita kali ini, Khalifah Abu Ja’far al-Manshur yang aslinya bernama Abdullah dan memiliki anak bernama Muhammad, lantas menggelari anaknya dengan sebutan Al-Mahdi. Dengan kata lain, dia hendak meneguhkan kekuasaan Abbasiyah seolah mengatakan: “Kami pun punya Al-Mahdi!”
Itulah penjelasan mengapa khalifah ketiga Abbasiyah dipanggil dengan sebutan Al-Mahdi. Dalam Maqatil at-Thalibiyyin, Abul Faraj Isfahani menceritakan bagaimana Abu Ja’far al-Manshur dengan cerdik mendapat dukungan politik kekuasaan yang solid setelah menggelari anaknya dengan Al-Mahdi. Jangan lupa ada satu riwayat lagi dari Abu Dawud (Hadits nomor 3739) yang mengatakan menjelang datangnya Imam Mahdi akan keluar seorang lelaki bernama Mansur yang memperkokoh keluarga Muhammad, sebagaimana bangsa Quraisy memperkokoh Rasulullah dan karenanya wajib atas setiap mukmin untuk memenuhi seruannya.
Anda boleh saja bertanya membaca riwayat semacam ini: apakah sama nama Mansur di riwayat ini dengan Khalifah al-Manshur? Ataukah ini hanya riwayat yang dibuat-buat saja oleh pendukung Kekhilafahan Abbasiyah untuk melegitimasi kekuasaan mereka? Al-Hafizh al-Mundziri, ahli hadits terkemuka, mengatakan riwayat “Mansur” di atas ini lemah. Takbiirrr!
Khalifah Al-Mahdi berkuasa sekitar sepuluh tahun. Dia menggalakkan program penulisan kitab ilmu pengetahuan, meneruskan kebijakan ayahnya. Namun dia sangat keras terhadap orang zindiq, yaitu aliran yang pada masa itu mencampuradukkan ajaran Islam dengan Zoroaster. Kaum Zindiq ini dikejar dan dibunuh.
Misalnya muncul tokoh Hasyim bin Hakim yang dikenal dengan Al-Muqanna’ yang menutupi wajahnya akibat cacat. Dia menganggap dirinya sebagai Nabi dari Khurasan. Dia dikepung oleh pasukan Al-Mahdi sehingga, konon, dia melakukan bunuh diri massal bersama pengikutnya dengan cara membakar diri.
Kebijakan Al-Mahdi yang pro ilmu pengetahuan juga didukung oleh penemuan kertas dari China. Sebelumnya yang digunakan itu papirus dari Mesir. Sejak penemuan kertas, kota Baghdad menjadi ramai dengan pabrik kertas yang digunakan sebagai bahan untuk menulis kitab. Ternyata ada juga kontribusi peradaban China terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam. Ayo, takbiirr lagiiii!
Al-Mahdi juga membangun jaringan pos antara Irak dan Hijaz. Ini membuat komunikasi antarkota menjadi lebih terjalin, tidak lagi mengandalkan utusan atau melempar burung dengan pesan diikat di kaki burung. Sayang, pada masa itu belum ada Whatsapp dan pesan pendek.
Al-Mahdi juga pecinta seni. Banyak sekali berbagai syair yang tumbuh pesat pada masanya, dan sebagian diulas oleh Imam Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa. Al-Mahdi bisa sangat royal memberikan berbagai hadiah jikalau ada pihak yang membacakan sya’ir indah memuji-muji dirinya dan kekuasaannya.
Namun ada saja ulama yang berusaha mengambil hati Al-Mahdi. Ghiyats bin Ibrahim membacakan hadits Nabi: “Tidak ada perlombaan kecuali dalam panahan dan balap kuda.” Namun Ghiyats menambahkan sendiri, “dan juga perlombaan merpati.”
Al-Mahdi terkenal senang dengan burung merpati. Al-Mahdi bangkit dari kursinya dan mengatakan, “Anda bohong,” namun tetap saja Ghiyats diberi hadiah sepuluh ribu dirham. Ah, mudahnya mendapat hadiah, meski harus memalsukan hadits. Kali ini, gak usah teriak takbir, ya. Miris! Boleh dibilang masa Al-Mahdi ini sebagai pengantar akan kejayaan atau masa emas dari Dinasti Abbasiyah, seperti akan dibahas dalam kisah-kisah berikutnya.
Di masa Al-Mahdi ini perlahan titel khalifah bergeser, dari semula sebagai khalifah penerus Rasul, kini menjadi Khalifatullah fil Ardh. Khalifah Allah di muka bumi, seolah menjadi bayang-bayang kekuasaan Allah di bumi. Maka, perlahan Khalifah Al-Mahdi duduk di balik tirai dan sejumlah urusan penting diserahkan kepada wazirnya.
Posisi khalifah menjadi agung dan berjarak dengan rakyat serta kukuh secara spiritual. Posisi wazir menjadi sangat menguat. Namun, bukan berarti Al-Mahdi lepas tangan begitu saja. Dia sempat memecat wazirnya, yang bernama Ya’qub bin Dawud, karena tidak menaati perintahnya.
Dari jalur suksesi, Al-Mahdi menunjuk kedua anaknya, Musa dan Harun, sebagai penerusnya. Kekuasaan menjadi milik keluarga semata. Al-Mahdi wafat karena diracun oleh budak perempuannya. Ini juga salah satu karakter Al-Mahdi yang sangat mudah terpikat dengan kecantikan perempuan.
Ada versi lain yang disebutkan Imam Thabari bahwa Al-Mahdi wafat karena diseruduk kuda saat sedang berburu. Entah versi mana yang benar.
Mari kita ikuti kisah lanjutan kekhilafahan Abbasiyah berikutnya, insya Allah!
Kolom terkait:
Khalifah Marwan II: Sang Keledai Penguasa Terakhir Umayyah
Khalifah Yazid Bin al-Walid: Fitnah Ketiga dalam Sejarah Islam
Khalifah Al-Walid bin Yazid: Fir’aunnya Umat Islam
Khalifah Yazid bin Abdul Malik: Instabilitas dan Pertumpahan Darah