Kita kini memasuki periode karut-marut dari Dinasti Abbasiyah. Kalau sebelumnya Dinasti Umayyah hanya mampu bertahan sampai sekitar 14 khalifah, sebenarnya Dinasti Abbasiyah lebih lama bisa bertahan paling tidak sudah sampai Khalifah ke-20 ar-Radhi Billah, yang disebut sebagai sosok terakhir yang punya kekuasaan secara nyata. Selepas itu, posisi khalifah hanya sekadar simbol saja.
Telah saya ceritakan sebelumnya bagaimana sejumlah provinsi melepaskan diri dari kekuasaan khalifah di Baghdad. Begitu pula ada dua penguasa lain yang juga mengklaim sebagai khalifah, yaitu Dinasti Fatimiyyah di Mesir dan Dinasti Umayyah di Cordoba. Bahkan pemberontak Qaramithah menguasai jalur menuju tanah suci dan masih belum mau mengembalikan Hajar Aswad yang mereka curi dari Ka’bah.
Pada level masyarakat saat itu pengikut Mazhab Hanbali mulai membuat ulah. Apabila mazhab ini berkuasa, maka tidak segan-segan memaksakan mazhabnya kepada kaum muslimin dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar. Bila mereka temukan minuman keras di jalanan, mereka hancurkan. Bila mereka menemukan wanita menyanyi, mereka pukuli dan mereka hancurkan alat-alatnya.
Bila mereka melihat wanita bergandengan/berduaan dengan laki-laki di jalanan, mereka akan menanyakan, siapa kawannya itu? Apakah telah diikat tali pernikahan ataukah belum? Bila ketahuan bahwa kawannya itu orang lain (bukan suami istri atau ada hubungan mahram), langsung mereka pukuli dan mereka seret ke jalan raya dan mereka katakan bahwa keduanya telah berbuat cabul. Maka, gemparlah Baghdad waktu itu.
Beberapa hal inilah yang menyebabkan orang-orang awam/masyarakat umum pada lari dari Mazhab Hanbali, sehingga hampir di setiap negeri Islam tidak banyak pengikutnya. Mereka menerapkan amar ma’ruf nahi munkar bukan dengan cara-cara yang ma’ruf (baik) tapi melakukannya dengan sewenang-wenang. Mirip yah dengan kelompok Fentung Pembela Islam itu.
Kacau balau, baik internal maupun eksternal!
Pada kondisi seperti ini Khalifah ar-Radhi Billah wafat. Penggantinya adalah al-Muktafi, yang dipilih oleh kaum aristokrat Abbasiyah, tanpa mempedulikan suara rakyat, sebagai Khalifah ke-21. Kita fokus pada karut-marut di internal kekhilafahan Abbasiyah di Baghdad.
Ibn Muqlah yang berperan penting menaikkan ar-Radhi dan diangkat sebagai wazir kemudian dicopot oleh ar-Radhi, dan dipenjara hingga wafat. Penggantinya bernama Ibn Ra’iq. Semula dia bawahan Ibn Muqlah, yang kemudian berhasil menjadi Gubernur Bashrah.
Ibn Ra’iq menolak membayar pajak ke Ibu Kota Baghdad. Seperti gubernur lainnya pun dia mulai menjaga jarak. Namun, ketika Ibn Muqlah tumbang, Khalifah ar-Radhi meminta bantuan Ibn Ra’iq untuk menjadi tangan kanannya.
Ibn Ra’iq kemudian memasuki Ibu Kota Baghdad dan menerima titel Amir al-Umara. Inilah posisi baru yang diciptakan untuk mengatur administrasi negara. Posisi ini sangat kuat, dan lebih tinggi dari posisi wazir. Misalnya, dalam acara ritual maupun kenegaraan nama Khalifah selalu disebut bersama-sama dengan nama Amir al-Umara.
Kekhilafahan diatur sepenuhnya oleh Amir al-Umara. Khalifah hanya sebatas simbol saja. Pada situasi seperti inilah al-Muttaqi berkuasa menggantikan saudaranya, ar-Radhi Billah.
Namanya Abu Ishaq Ibrahim bin al-Muqtadir bin al-Mu’tadhid bin al-Muwaffaq Thalhah bin al-Mutawakkil.
Diberi gelar al-Muttaqi. Dia berusia sekitar 34 tahun saat berkuasa. Kekuasaannya hanya sekitar 4 tahun, dari tahun 940 M sampai dengan 944 M.
Bagaimana dengan karakter dan kepribadiannya? Imam Suyuthi menjelaskan bahwa al-Muttaqi tidak punya kapasitas untuk membuat perubahan apa pun dalam urusan pemerintahan. Meski demikian, sebenarnya dia seorang yang banyak melakukan puasa dan ibadah lainnya.
Berbeda dengan para khalifah lainnya, al-Muttaqi tidak memanfaatkan posisinya untuk bersenang-senang dengan perempuan. Imam Suyuthi mengatakan bahwa al-Muttaqi tidak pernah menggauli budaknya. Tidak pula minum nabidz (minuman memabukkan yang bukan terbuat dari perasan anggur).
Diriwayatkan ucapan al-Muttaqi: “Saya tidak pernah menjadikan sesuatu sebagai teman selain al-Qur’an.” Ini untuk menggambarkan bahwa Khalifah al-Muttaqi seorang yang gemar membaca al-Qur’an.
Pribadi yang saleh dan budiman seperti ini sayangnya menjadi Khalifah di saat situasi karut-marut dan posisi khalifah hanya simbol semata. Kesalehan tanpa kecakapan memimpin membuat al-Muttaqi gagal mengembalikan Dinasti Abbasiyah ke jalur yang benar.
Ini sebuah pelajaran bahwa kapasitas personal seperti kesalehan, kegantengan, gondrong atau gundul, tidak berarti apa-apa tanpa kinerja yang baik. Kesalehannya hanya untuk keselamatannya di akhirat kelak. Kegantengannya hanya berguna untuk istrinya. Sedangkan kerja dan kinerjanya akan berguna untuk umat.
Ibn Ra’iq sebagai Amir al-Umara berkuasa hanya sekitar 2 tahun di masa ar-Radhi. Dia digantikan oleh Bajkam, seorang jenderal dari Turki. Bajkam sebenarnya direkrut oleh Ibn Raiq, namun kemudian dia mengambil alih kekuasaan dari tangan Ibn Ra’iq.
Kini bukan saja posisi khalifah yang menjadi rebutan, tapi juga posisi Amir al-Umara. Pendek kata, di mana ada gula posisi kuat dan berpengaruh, maka semut-semut kekuasaan akan mengelilinginya.
Ibn Ra’iq tersingkir dan hanya diberi posisi sebagai gubernur di wilayah Diyar Mudar, yang jauh dari Ibu Kota Baghdad dan berbatasan dengan wilayah Syria. Gilanya, dalam upaya mempertahankan kekuasaannya melawan Bajkam, Ibn Ra’iq memutuskan untuk menjebol bendungan Nahrawan sebagai sumber irigasi daerah sekitarnya, termasuk ke Ibu Kota Baghdad.
Taktik gila ini gagal. Baghdad tidak tenggelam. Namun, dampaknya terhadap pertanian di wilayah Irak amat luas sampai berabad kemudian. Butuh kerja kolektif sekian lama membangun infrastruktur, namun hanya butuh satu orang gila kekuasaan untuk merusaknya. Bisakah kita mengambil pelajaran dari sejarah ini?
Saat al-Muttaqi menjadi Khalifah, Bajkam meneruskan peranannya sebagai Amir al-Umara. Al-Muttaqi merasa aman didampingi Bajkam yang terkenal sangat disiplin menjalankan tugasnya. Hanya saja, Bajkam wafat saat sedang berburu binatang (tradisi kaum elite saat itu), karena dibunuh oleh kelompok gang dari Kurdistan.
Wafatnya Bajkam membuat posisi Amir al-Umara dalam kondisi vakum. Terjadilah gonjang-ganjing politik yang gagal ditangani Khalifah al-Muttaqi. Kurtakin kemudian diangkat menggantikan Bajkam.
Kurtakin ternyata memimpin lebih tiran lagi dari Bajkam. Khalifah al-Muttaqi merasa tidak nyaman dan mulai ketakutan. Maka, al-Muttaqi meminta bantuan pada Ibn Ra’iq yang sebelumnya dia copot. Ibn Ra’iq menyerang pasukan Kurtakin dan kali ini dia berhasil kembali menjadi Amir al-Umara.
Namun, Abul Husein Ali bin Muhammad al-Baridi, mantan Wazir di masa ar-Radhi, menyerang Baghdad. Khalifah al-Muttaqi dan Ibn Ra’iq gagal mempertahankan ibu kota. Keduanya kemudian lari ke Mosul. Sedangkan Baghdad dan Istana dikuasai al-Baridi.
Dalam pelariannya, seperti dikisahkan Ibn al-Atsir dalam al-Kamil fit Tarikh, Khalifah al-Muttaqi yang merasa sudah tidak bisa lagi mengandalkan Ibn Ra’iq, memulai aliansi baru dengan kelompok Hamdan. Semula Bani Hamdan ini menyerang ibu kota, namun bisa dipatahkan Bajkam.
Begitulah politik itu. Yang semula lawan bisa menjadi kawan. Yang semula dicopot bisa kembali berkuasa, dan kemudian dicopot lagi. Politik itu memang kejam. Yang gak kuat main politik, cukup jadi dosen di Monash University aja yah.
Ibn Ra’iq dibunuh secara rahasia sebagai bagian dari konsesi politik yang diminta kelompok Hamdan. Kini, al-Muttaqi berkoalisi dengan Hasan bin Hamdan untuk mengembalikan ibu kota dan istana ke al-Muttaqi dari tangan al-Baridi. Ibn Ra’iq dengan tragis disingkirkan oleh al-Muttaqi—khalifah yang taat beribadah itu.
Hasan bin Hamdan berhasil merebut Baghdad dari al-Baridi. Maka, dia diangkat sebagai Amir al-Umara oleh Khalifah al-Muttaqi dengan gelar Nasir ad-Dawlah (penolong negeri). Hasan kemudian mengangkat adiknya sendiri, Ali, dengan gelar Saif ad-Dawlah (pedang negeri). Memang, lucu juga ini Dinasti Abbasiyah: senang sekali bikin label dan gelar aneh. Pokoknya macem-macem deh.
Al-Baridi lalu kembali mengumpulkan pasukannya untuk menyerang ibukota. Saif ad-Dawlah ditugaskan menghadapinya. Al-Baridi dihajar habis oleh “sang pedang negeri”.
Namun, rakyat tidak senang dengan gaya kepemimpinan Nashir dan Saif ad-Dawlah ini. Seorang Jenderal Turki bernama Tuzun mulai memberontak, dan mengakibatkan kedua bersaudara Hamdan ini kabur. Khalifah al-Muttaqi tidak punya pilihan selain mengangkat Tuzun (bekas anak buah Bajkam) sebagai Amir al-Umara.
Belakangan Tuzun dan al-Muttaqi mulai konflik. Alhirnya Khalifah al-Muttaqi bersama keluarga mengungsi ke Tikrit. Dan kembali minta bantuan Hamdan. Kali ini mereka sekali lagi berjuang membebaskan ibu kota, namun Tuzun terlalu kuat. Al-Muttaqi dan Hamdan lari ke Mosul. Mereka kemudian menyerang Tuzun, namun kalah lagi untuk kedua kalinya.
Capek gak sih lihat Khalifah perang saudara merebut dan mempertahankan kekuasannya? Sesama Muslim, lho! Saya yang menuliskannya aja capek rasanya. Entah bagaimana dengan Anda para pembaca? Kok, khilafah kayak gini sih?
Singkat cerita, Khalifah al-Muttaqi menawarkan gencatan senjata dan perdamaian dengan Tuzun. Tuzun menyetujuinya. Apakah beres urusan?
Kita persilakan Buya Hamka untuk menjelaskannya:
“Setelah sampai di Sundiyah di dekat sungai Isa, bertemulah al-Muttaqi dengan Tuzun yang menyambut kedatangannya. Sebelum baginda datang, Tuzun memberi isyarat kepada pengawal-pengawal apabila kelak diperintahkan, supaya segera menangkap khalifah.”
Buya Hamka meneruskan keterangannya:
“Setelah Khalifah datang, tampillah Tuzun ke muka menyembah sampai bersinggung keningnya dengan tanah. Al-Muttaqi berbesar hati, akan tetapi di saat baginda tengah lalai itu, datanglah serdadu-serdadu Tuzun mengepungnya.”
Lalu, bagaimana nasib Khalifah al-Muttaqi yang ditipu dan ditangkap Tuzun? Tuzun menipunya dengan berlagak menghormati sampai sujud di tanah. Mari sekali lagi kita ikuti keterangan Buya Hamka dalam bukunya, Sejarah Umat Islam:
“Baginda ditangkap dan dibawa ke dalam kemah yang telah tersedia. Di dalam kemah itu dalam beberapa saat saja terjadilah hal yang amat ngeri: mata khalifah itu dicungkil pula dan dia diturunkan dari jabatannya dan diganti dengan al-Mustakfi.”
Apa yang disampaikan Buya Hamka di atas cocok dengan keterangan Ibn Katsir dalam kitabnya, al-Bidayah wan Nihayah. Jadi, jangan bilang ini kisah rekaan dari Orientalis yah! Ini ditulis oleh 2 ulama besar.
Imam Suyuthi menambahkan cerita lanjutan nasib al-Muttaqi. Setelah dibutakan matanya, persis seperti yang terjadi dengan Khalifah ke-19 al-Qahir, maka al-Muttaqi dibuang ke area dekat India dan dimasukkan penjara selama 25 tahun hingga dia wafat. Tragis!
Kenapa matanya dicongkel dan dibutakan? Bagaimana dengan Khalifah al-Mustakfi, penggantinya? Tragis jugakah nasibnya? Maaf, kita akan lanjutkan pada kesempatan berikutnya. Mohon bersabar. Orang sabar disayang Allah dan mertua (jika sudah punya mertua!).
Kolom terkait:
Khalifah Ar-Radhi Billah: Awal Kehancuran Dinasti Abbasiyah
Al-Qahir: Khalifah yang Menjadi Pengemis dan Dicongkel Kedua Matanya
Al-Muqtadir: Remaja 13 Tahun yang Menjadi Khalifah dan Hilangnya Hajar Aswad
Al-Muktafi: Dicintai Rakyat, tapi Terkena Pengaruh Jahat Sengkuni