Program Mata Najwa pada 27 Maret 2017 menghadirkan kebaruan dalam menyajikan debat kandidat gubernur DKI Jakarta. Kedua kandidat tersisa, Pak Basuki Tjahaya Purnama dan Mas Anies Baswedan, diberi kesempatan untuk saling mengkritik dan melemparkan komentar terhadap program kerja masing-masing. Tentu saja setiap kubu melemparkan analisis dan penilaian masing-masing yang akan memperkuat dukungan mereka. Berikut ini di antara alasan mengapa Mas Anies masih menjadi pilihan terbaik.
I
Pernah mendengar Sore Tugu Pancoran yang menjadi album Iwan Fals (1985)? Tentang “Si budi kecil kuyup menggigil// Menahan dingin tanpa jas hujan// Di simpang jalan tugu Pancoran//Tunggu pembeli jajakan koran…”
Tentu saja Budi dalam lagu itu tokoh rekaan. Sekarang, 32 tahun setelah lagu itu diperdengarkan ke khalayak luas, ganti nama Budi itu dengan anak di dunia nyata dan beberapa minggu lalu membuat kita terhenyak: Abil. Abil yang duduk di kelas 4 SD itu terpaksa berjualan tisu dan panganan kecil karena kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Kedua kakaknya pun berhenti sekolah.
Cerita tentangnya tersebar. Khalayak terharu dengan perjuangannya. Semua orang ingin membantunya, termasuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang saat ini sedang memproses Kartu Jakarta Pintar (KJP) untuknya.
Semua yang mengikuti kisah Abil tentu tahu hal ini, lalu apa masalahnya? Justru di situ letak masalahnya. Kisah Abil ini tak perlu ada kalau dia mendapatkan KJP sejak lama. Dia tak mendapatkan KJP karena sistem yang ada sekarang tak memungkinkannya.
Peraturan Gubernur No. 174/2015 tentang Bantuan Biaya Personal Pendidikan Bagi Peserta Didik Dari Keluarga Tidak Mampu Melalui Kartu Jakarta Pintar (selanjutnya disebut Pergub KJP) menyatakan bahwa pendataan dilakukan wakil kelas/guru kelas. Dalam debat di Mata Najwa itu Pak Basuki Tjahaja Purnama menegaskan hal ini. “Karena guru harus mempunyai empati,” katanya. Pernyataan Pak Basuki ini setara dengan keterangan air itu benda cair. Satu hal yang sudah semestinya dan menjadi pengetahuan umum, sehingga tak perlu lagi diutarakan.
Dalam debat tersebut Pak Basuki berkali-kali bilang bahwa dia ingin birokrasinya bekerja secara profesional. Guru mendapat tugas melakukan pendataan layak-tidaknya murid mendapatkan KJP itu sungguh tak profesional. Tugas mereka sudah banyak. Jika guru mesti berempati, semestinya Gubernur memiliki empati lebih untuk tak membebani guru kelas dengan tugas berat tersebut.
Dengan sistem KJP sekarang dan setelah mendengar pernyataan Pak Basuki dalam debat di Mata Najwa, besar kemungkinan cerita tentang Abil-Abil lain akan terus hadir jika Pak Basuki menjabat kembali menjadi Gubernur. Karena itu, Mas Anies menjawab bahwa dia akan mengubah Pergub KJP ini agar menjadi sistem yang lebih baik ketika ditanya perubahan apa yang akan Anies lakukan kalau menjadi gubernur. Mas Anies menyebut perubahan sistem itu dengan KJP Plus. Ada dua hal mendasar kenapa sistem KJP sekarang perlu diperbaik: pendataan dan anak di luar sekolah.
Dalam hal pendataan, Mas Anies akan menggandeng lembaga atau pihak yang memang tugasnya melakukan pendataan. Ini juga sesuai dengan imbauan Presiden Jokowi agar menggunakan satu data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam hal penyediaan data bantuan sosial, BPS bekerja sama dengan Tim Nasional Percepatan dan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengelola Basis Data Terpadu (BDT). BDT adalah sistem data elektronik yang memuat informasi sosial, ekonomi, dan demografi dari sekitar 24,5 juta rumah tangga atau 96 juta individu dengan status sosial terendah di Indonesia. Kategorinya miskin dan rentan miskin.
BDT ini berguna untuk membantu mengurangi kesalahan dalam penetapan sasaran program perlindungan sosial. Jika bantuan tepat sasaran, kecil kemungkinan para penerima menyelewengkannya. Buat apa, toh mereka memang membutuhkan bantuan tersebut? Masalah utamanya bukan ada di penyelewengan atau tidak, melainkan di sistemnya sudah benar atau belum. Dengan adanya Abil yang berjualan sepulang sekolah, berarti sistemnya belum benar.
Kedua, Pergub tentang KJP itu melakukan diskriminasi terhadap anak usia sekolah yang tak bersekolah. Padahal, di tingkat SMA jumlah mereka banyak. Angka Partisipasi Murni (APM) SMA DKI Jakarta 2016 hanya 67,9%. Artinya, ada sekitar 32,1% anak usia sekolah SMA yang tak bersekolah. Sementara alokasi biaya per anak per tahun sebesar Rp 7.881.500.
Bandingkan dengan DIY Yogyakarta yang alokasi dana per anak per tahun sebesar Rp 633.900 dan APM SMA-nya 72,2%. Artinya, dalam hal APM SMA Yogyakarta meninggalkan Jakarta, walaupun dana yang dimiliki Jakarta lebih besar. Ini masih bicara prosedural, belum kualitas siswa dan guru.
Coba kita lihat APM SMA di Jakarta Utara, daerah tempat tinggal Pak Basuki: 57,4%. Artinya, ada 42,6% anak usia sekolah SMA yang tak bersekolah di sana. Mereka inilah yang akan disasar dalam KJP Plus, selain siswa pesantren yang tak diperhatikan dalam KJP.
Angka di atas semestinya menjadi keprihatinan sendiri bagi sang gubernur, tapi nyatanya tidak. Terhadap gagasan ini, Pak Basuki berkomentar bahwa KJP Plus ini merusak mental anak sekolah. “Kami tak mau anak-anak berpikir: tanpa sekolah pun saya dapat uang,” katanya.
Pernyataan ini dengan jelas-jelas menyerang Program Indonesia Pintar (PIP) yang menjadi program Presiden Jokowi. Pasalnya, PIP ini mencakup anak usia sekolah tapi tak bersekolah.
Cara pandang Pak Basuki ini juga membuat anak-anak usia sekolah tapi tak bersekolah tak pernah terjangkau. Dan, ini cara pandang negatif seorang pemimpin yang mencurigai warganya. Di sini salah satu letak masalah kepemimpinan Pak Basuki. Curiga terhadap kaum papa, dan percaya betul terhadap para pengusaha.
Kita bisa lihat dalam dua kasus. Terhadap dana KJP yang sudah menjadi hak warga Jakarta, dia curiga disalahgunakan; terhadap dana kompensasi dari kontribusi tambahan reklamasi, yang jumlah keseluruhannya tak kita ketahui secara pasti, tampaknya dia tak terlalu risau benar pengelolaannya sehingga tak perlu mampir dalam APBD.
Pada 2016 Pak Basuki tak mengizinkan PIP masuk Jakarta. Alasannya, Jakarta sudah memiliki KJP dan PIP bisa diberikan ke daerah yang lebih membutuhkan. Keputusan ini tentu saja merenggut hak siswa di Jakarta yang semestinya mendapatkan PIP. Seakan hanya Jakarta yang memiliki program bantuan pendidikan. Yogyakarta juga memiliki program serupa bernama Jaminan Pendidikan Daerah dengan Kartu Menuju Sejahtera (KMS). Tapi, Yogya menerima PIP.
Karena itu, Pergub KJP ini harus diubah menjadi KJP Plus agar anak-anak Jakarta bisa menikmati pendidikan berkualitas dan tuntas. Dan mereka mendapatkan pemimpin yang mempercayai mereka; pemimpin yang akan memberi kesempatan kepada anak di sekolah dan mereka yang di luar sekolah.
II
Kedua, penggusuran. Jika Pak Basuki masih ingin menggusur warga, maka Mas Anies ingin menata. Kampung sebagai entitas Jakarta mesti dilestarikan. Penghuni Jakarta ini bukan hanya mereka yang berkecukupan, tapi juga mereka yang rudin. Dalam debat, Mas Anies beberapa kali menyebutkan bahwa pemerintahan yang kelak dia bangun adalah pemerintahan yang memihak kepada yang rentan. Baik dari sisi ekonomi, kebudayaan, gender, sampai strata sosial.
Jika kekumuhan dan kepadatan kampung yang menjadi masalah, maka hilangkan kekumuhannya dan tata kepadatannya. Kita masih ingat alasan Pak Basuki ketika menggusur Kampung Ikan Penjaringan, Jakarta Utara. Bahwa di sana ada tuberculosis (TBC). Faktanya, menurut catatan Puskesmas setempat, hanya ada 6 orang yang mengidap TBC. Dari sekian ratus orang yang tinggal di sana. Soal tanah, masih terbuka kemungkinan dialog. Satu hal yang tak dijajaki Pak Basuki.
Setelah digusur, sebagian besar warga ditempatkan di rumah susun Rawa Bebek. Butuh waktu 3 jam dari Rawa Bebek ke Pasar Ikan. Warga yang pindah ke Rawa Bebek dan masih menjalani keseharian sebagai nelayan di Pasar Ikan akan menghabiskan waktu 6 jam untuk bolak-balik dari tempatnya mencari nafkah ke rumahnya. Apakah ini manusiawi? Ini bentuk lain dari pemiskinan.
Pada 2016 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meneliti tentang warga yang digusur dan dipindah paksa ke rusun. Penelitian bertajuk “Mereka yang Terasing” ini menemukan fakta bahwa kualitas hidup warga yang dipindahkan ke rusun justru menurun. Sebaliknya, biaya hidup meningkat: sewa tempat tinggal, tagihan listrik, tagihan air, transportasi, dan lain-lain.
Contoh penataan kampung ini sudah banyak. Yogyakarta, Surabaya, Malang, Surakarta. Di Jakarta, yang sudah yang terbukti adalah Kampung Tongkol, Ancol, Jakarta Utara. Bersama sejumlah lembaga dan arsitek, warga bahu-membahu membangun kampung mereka dengan kreatif. Dari yang semula kumuh dan kotor, sekarang kampung mereka tertata, bersih, asri. Sejumlah media asing memberitakan Kampung Tongkol dengan nada positif.
Tapi, warga Kampung Tongkol sedang dalam masa penantian panjang, apakah akan digusur atau tidak. Bagaimanapun tanah mereka statusnya ilegal. Mereka bisa tetap hidup di sana dengan keberpihakan pemerintah. Selain itu, pemerintah bisa meniru dan mempraktikkan prakarsa ini ke sejumlah kampung lain di Jakarta. Pada gilirannya memang sudah saatnya memfasilitasi warganya untuk berdaya. Hal ini akan dimungkinkan bila Mas Anies yang menjadi Gubernur Jakarta.
Penataan model demikian ini lebih masuk akal dan bisa diterima masyarakat ketimbang penataan yang dimaksud Pak Basuki: menggusur lalu diberikan rusun. Terkait rusun, tahun ini Pemprov DKI Jakarta membayar tagihan sebesar Rp 1,37 miliar untuk tunggakan warga rusun. Kenapa mereka tak bisa membayar? Sebagian besar mereka jauh dari tempat bekerja, sehingga kehilangan pekerjaan dan tak bisa membayar sewa. Ini bukti betapa masalah tak selesai dengan penggusuran dan warga dipindahkan ke rusun.
III
Ketiga reklamasi. Dalam prosesnya, reklamasi ini banyak sekali masalah. Dan, masalah reklamasi ini dengan telak membantah klaim transparan dan profesional Pak Basuki. Pak Basuki mengeluarkan sejumlah aturan tentang reklamasi yang justru lemah secara hukum. Misalnya, dua hari menjelang cuti Pak Basuki menandatangani Pergub No. 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, Pulau D, dan Pulau E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Pergub ini dikeluarkan tanpa menyertakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Peraturan Daerah Zonasi belum disahkan.
Yang terbaru, pada 17 Maret 2017 Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan nelayan atas pulau I, K, dan F. Kemenangan ini membatalkan tiga Keputusan Gubernur Jakarta No. 2485 Tahun 2015 (Pulau K), No. 2268 Tahun 2015 (Pulau F), dan No. 2269 Tahun 2016 (Pulau I). Ketiganya ditandatangani Pak Basuki. Dan, ketiganya dibatalkan oleh PTUN.
Selain soal prosedur yang tak benar, pada kenyataannya reklamasi ini mendatangkan banyak kerugian bagi nelayan. Menurut perhitungan Komunitas Nelayan Tradisional, reklamasi ini akan menyebabkan 16 ribu nelayan kehilangan pekerjaan.
Jika Pak Basuki tetap menjadi Gubernur DKI Jakarta, reklamasi akan terus jalan dan nelayan akan kehilangan nafkah dan pekerjaan utama mereka. Toh, Pak Basuki mengatakan di Teluk Jakarta sudah tak lagi ada ikan. Bahkan pakar lingkungan yang menjadi salah satu juru bicara Pak Basuki, Emmy Hafild, mengatakan bahwa ekosistem Teluk Jakarta sudah rusak. Sehingga, reklamasi menjadi wajar adanya.
Selain para nelayan dan pakar dari Kementerian Perikanan dan Kelautan yang membantah pernyataan mereka, beberapa hari lalu muncul hiu paus atau hiu tutul di Teluk Jakarta. Hiu tutul muncul karena memang sedang mencari mangsa. Dan, makanan mereka adalah ikan-ikan yang lebih kecil.
Kehadiran hiu paus ini sebenarnya cukup untuk Pak Basuki memikirkan ulang reklamasi ini. Tapi, tampaknya dia bergeming. Dia akan meneruskan reklamasi jika dia menjadi Gubernur Jakarta lagi.
Jika ini dibiarkan, maka nyanyian Iwan Fals berjudul Tak Biru Lagi Lautku akan menjadi kenyataan:
Itu dahulu
Berapa tahun yang lalu
Cerita orang tuaku
Sangat berbeda
Dengan apa yang ada
Tak biru lagi lautku
Tak riuh lagi camarku
Tak rapat lagi jalamu
Tak kokoh lagi karangku
Tak buas lagi ombakmu
Tak elok lagi daun kelapaku
Tak senyum lagi nelayanku
Agar kisah Abil tak lagi ada dan agar nelayan tetap tersenyum, maka memilih Anies Baswedan-Sandiaga Uno adalah pilihan terbaik yang masuk akal.