Jumat, Maret 29, 2024

Keluarga Kita dan Rumah yang Retak

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Para pelajar mengamati lukisan kumpulan mantan Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo karya seniman Pekalongan di Gor Jetayu, Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (25/7). Pameran yang menampilkan 49 lukisan dan 200 foto bertemakan “Kebersamaan” tersebut bagian dari Pekalongan Art Festival yang berlangsung 25-29 Juli 2017. ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra

DARI berbagai perbedaan yang kita alami, satu hal yang sama dan tak terbantahkan adalah kita merupakan keluarga. Ya, satu keluarga besar bernama Indonesia. Tentu, kita seyogianya bersepakat menjaga dan  mempertahankan keluarga dari keretakan, apalagi kehancuran. Sungguh, tidak ada keluarga yang menginginkan cerai-berai. Oleh karena itu, kita selayaknya tak perlu ragu untuk menempuh segala cara demi mengamankan rumah kita dari gangguan pihak-pihak tertentu, termasuk siapa pun yang mau merongrong dari dalam.

Kita menyadari bahwa Keluarga Indonesia adalah keluarga besar dengan kekayaan sumber daya manusia. Rumah Indonesia itu rumah besar dengan khazanah sumber daya alam. Setelah kesamaan asal, yaitu sama-sama anggota keluarga dari rumah yang sama, maka kesamaan berikutnya adalah prinsip hidup keluarga. Mengutip twit Presiden @jokowi pada 23 Juli 2017 bahwa, “Masyarakat kita yang beragam, terdiri dari 714 suku, bisa hidup rukun dan damai karena kita punya Pancasila,” maka kita selayaknya menjaga prinsip hidup ini.

Rongrongan dari dalam, yang tentu saja naif jika kita menafikan pengaruh luar, yang kini paling kasat mata ialah upaya menghapus prinsip hidup keluarga yang bersumber dari semboyan luhur bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa itu, dan menggantinya dengan prinsip hidup keluarga yang tidak mengakar dengan kesejarahan keluarga dan rumah kita. Ini terjadi, antara lain, karena kita memilih sistem keluarga dan rumah yang terbuka bagi siapa pun. Kita baru melawan dan mengusir pendatang atau pengaruh luar ketika sudah telanjur masuk dan besar.

Berada di antara Benua Asia dan Benua Australia dan dikelilingi oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, Indonesia adalah rumah besar yang sudah sangat berpengalaman menerima banyak tamu dari beraneka latar belakang dan riwayat. Bahkan, yang semula tamu, di kemudian hari pun bisa menjadi anggota keluarga dalam peristiwa kawin-mawin. Itu sudah terjadi sejak dulu di negeri bahari yang didatangi para saudagar dari berbagai penjuru dunia ini. Negeri belasan ribu pulau ini adalah ladang raksasa bagi pedagang.

Politik ialah barang yang diperjualbelikan pula di tanah ini. Sebab, di dalamnya ada hajat hidup orang banyak. Barangsiapa bisa menguasai politik, ia menguasai pula orang banyak beserta hajat hidup mereka. Dan, kita sama tahu bahwa walaupun ada adagium “jangan menilai sesuatu hanya dari sampulnya”, kita toh tetap terkecoh dengan sampulnya itu.

Hal ini, tentu saja, teramat dipahami oleh setiap pedagang. Menghadapi konsumen yang menyukai dalil dan dalih agama, tak mengherankan jika hal-hal surgawi dikemas jadi sampul. hal-hal surgawi dikemas jadi sampul.

Mereka menggoyahkan persatuan kita tidak saja dengan mengusik batas-batas terluar wilayah rumah, namun bahkan langsung ke intinya: mengoyak prinsip hidup keluarga. Dengan dalih dan dalil yang dibungkus pesan-pesan langitan, khilafah dibenturkan dengan Pancasila yang dianggap sebagai rekayasa bumi; bikinan manusia yang dituduh tidak ada rujukannya dari kitab suci dan teladan Nabi. Banyak dari anggota keluarga kita yang sudah terpengaruh, dan bahkan memutuskan keluar dari rumah.

Ketika mereka kemudian berdalih tertipu oleh pengaruh luar itu dan ingin kembali ke rumah, wajar saja jika ada yang sinis: tidak usah lagi diizinkan pulang. Bahkan, terhadap mereka yang terkait dengan organisasi yang berkeras mengusung khilafah dengan menghapus Pancasila, sejumlah pihak berpendapat: sudahlah, cabut saja kewarganegaraannya. Apalagi, tak seperti lazimnya pemberontak yang bergerilya dan bersembunyi di hutan dan gunung, mereka bahkan telah berani mengangkat dagu di depan mata kita.

Adalah Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat yang mengusulkan agar Pegawai Negeri Sipil yang terkait Hizbut Tahrir Indonesia dicabut kewarganegaraannya. Lalu, diminta angkat kaki dari rumah Indonesia ke negara yang sesuai dengan ideologi mereka. Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi pun telah mengambil sikap untuk membekukan anggaran Pramuka karena Ketua Kwartir Nasional Pramuka Adhyaksa Dault ditengarai mendukung khilafah dan HTI. Sikap kedua pejabat ini menyusul Perppu Ormas. 

Terlepas dari pro-kontra kegentingan yang memaksa dan legalitas perppu ini, ancaman yang semakin kuat mengakar terhadap kedaulatan negara selayaknya tidak dianggap sepele. Alangkah naif jika selama ini kita sudah merasa terganggu oleh keberadaan kelompok-kelompok kontra-demokrasi ini, namun kemudian kita menyudutkan negara ketika telah mengambil langkah penyelamatan bagi keluarga dan rumah Indonesia. Apakah kita harus menunggu mereka semakin mengakar, menjalar, dan membesar?

Perppu ini pun sebenarnya belum benar-benar akan menyelesaikan persoalan. Sebaran gerakan, terutama di televisi, telah didominasi pandangan-pandangan yang keras dan kaku. Pelan namun pasti, program-program televisi, mulai sinetron hingga ceramah– dengan penonton yang dikelola oleh para profesional–akan semakin merasuki kepala dan dada anak-anak kita. Ditambah lagi sebaran melalui siber, dengan aneka tayangan bebas unduh, rongrongan benar-benar telah sampai ke jantung rumah kita.

Kita memang tidak bisa serta-merta membiarkan negara over-protecting dengan sesuka hati main blokir. Namun, kita pun tidak bijak bila sesuka hati asal berbeda pendapat dari negara. Ada persoalan yang mendasar di dalam rumah dan keluarga kita, yakni trust, kepercayaan. Kita bahkan semakin saling mencurigai masing-masing memiliki agenda yang tersembunyi. Sesama anggota keluarga sudah saling hujat dan fitnah. Padahal, itu juga bagian dari kerja senyap pedagang politik yang merongrong dari dalam.

Sekali lagi, perlu kita sadari, dari berbagai perbedaan yang kita miliki, ada hal-hal yang sama dan kesamaannya itu tidak terbantahkan, yaitu kita adalah keluarga. Ya, Keluarga Indonesia. Kita berasal dan tinggal di rumah yang sama, yaitu Rumah Indonesia. Sebagai sesama anggota keluarga di rumah yang sama pula, kita hidup dengan prinsip yang sama, yaitu Pancasila. Akankah keretakan, bahkan kehancuran, kita biarkan terjadi di rumah dan keluarga kita, karena politik pecah belah bebas diperdagangkan di sini?

Baca juga:

Islam, Pancasila, dan Fitrah Keindonesiaan Kita

Merawat Kemajemukan, Menjaga NKRI

Pancasila, Kawah Candradimuka, dan Anti Absolutisme

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.