Sabtu, April 20, 2024

Kaleidoskop 2017: Melihat Jakarta dari Bangkok

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Berkunjung ke kota-kota di Asia Tenggara tidak hanya penting untuk membangun perspektif geografis dan sosial-politik masyarakat, melainkan juga semacam refleksi untuk mengetahui sejauhmana ibu kota Indonesia, dalam hal ini Jakarta, dibandingkan dengan kota-kota Asia Tenggara lainnya. Karena itu, saat berkesempatan berkunjung ke negara-negara di Asia Tenggara, khususnya di jantung kehidupan ibu kota, saya biasanya memiliki kebiasaan untuk blusukan di wilayah tersebut di tengah kesibukan dan sempitnya waktu yang saya miliki saat mengikuti satu acara, konferensi, ataupun workshop.

Dalam kajian budaya, hal ini disebut dengan inter-referencing, mengamati sebuah masyarakat ataupun kota untuk dilakukan perbandingan sekaligus sebagai pelajaran sehingga memungkinkan untuk dijadikan referensi terkait dengan titik persamaan dan perbedaan yang dimiliki (Chua Beng Huat, 2014). Bagi saya, wajah sebuah ibu kota negara tidak hanya cerminan sebuah peradaban yang dibangun oleh negara melainkan juga posisi tawar-menawar, persinggungan kepentingan politik, sosial, dan ekonomi atas kelompok orang-orang di dalamnya. Dengan kata lain, ibu kota menjadi cerminan wajah yang merepresentasikan sebuah negara.

Dibandingkan dengan Kuala Lumpur dan Singapura, Jakarta memang jauh tertinggal, baik dari segi infrastruktur, moda transportasi, kemegahan bandara internasional yang dimiliki, maupun kenyamanan dan keamanan. Namun, pengalaman saya tinggal selama 2 tahun di Manila, Jakarta tetap relatif lebih baik. Selain ada transportasi yang bisa dipercaya dan aman seperti pilihan beberapa taksi dan bis Damri, Jakarta juga punya angkutan massal seperti Transjakarta yang bisa menghubungkan ke beberapa area di Jakarta. Ada juga KRL yang bisa menghubungkan antara pusat kota ke wilayah luar kota, meski tidak semuanya terjangkau.

Harus diakui, merujuk hasil survei yang dilakukan www.mercer.com (2017) terkait penataan infrastruktur dan fasilitas transportasi publik  yang mempengaruhi tingkat kenyamanan penduduknya, peringkat kota Jakarta (143) masih kurang dari 10 poin di bawah Manila (135), di mana Singapura (25) menempati urutan teratas, di susul Kuala Lumpur (86), Bandar Seri Begawan (104), Bangkok (131).

Pada 14-17 Desember 2017, saya berkesempatan berkunjung ke Bangkok. Selama waktu tersebut saya gunakan semaksimal mungkin untuk mengamati secara subyektif bagaimana kota ini dianggap lebih baik dibandingkan dengan Jakarta, baik itu secara statisik maupun menurut pandangan mata para pelancong dan backpacker internasional. Di sini, saya setidaknya mendapatkan tiga kesimpulan mengenai Bangkok.

Pertama, transportasi terhubung. Meskipun relatif lebih lambat ketimbang pembangunan kereta semacam MRT di Singapura dan Kuala Lumpur, Bangkok Mass Transit System (BTS/Skytrain) sudah mulai beroperasi sejak tahun 1999.

Sebelumnya sejak tahun 1990-an, rencana itu mengalami pasang surut, baik karena persoalan politik hingga krisis ekonomi. Setelah BTS berdiri, disusul kemudian pembangunan pembangunan the Airport Rail Link, kereta yang menghubungkan Bandara Internasional Shuvarnabumi menuju kota Bangkok dengan terhubung stasiun kereta BTS di Stasiun Phaya Thai.

Selain menghemat waktu, dengan dua kereta tersebut orang bisa menuju jantung kota Bangkok dan berkeliling dengan biaya relatif murah dan bebas kemacetan.

Kedua, kota kanal dan sungai. Terhubung dengan sungai besar, Mekong dan Chao Phraya, masyarakat Thailand menggunakan dua sungai tersebut, khususnya Chao Phraya, sebagai irigasi dan juga penghidupan masyarakat sekitar. Tidak hanya berhenti di sana, sungai tersebut kemudian dijadikan alat transportasi sungai sebagai alternatif transportasi darat.

Sungai tersebut dijadikan area pariwisata, di mana sambil menggunakan kapal besar, orang bisa melihat jantung kota Bangkok sambil menikmati makanan laut. Meskipun di beberapa wilayah terlihat kotor, karena sungai tersebut sebagai tempat penghidupan, aliran sungai yang terhubung membelah kota tersebut selalu dibersihkan dan relatif enak untuk dilihat bagi orang yang melihatnya.

Ketiga, keterbukaan. Mengandalkan secara penuh pemasukan devisa melalui pariwisata, Bangkok relatif menjadi terbuka kepada wisatawan asing yang datang dari pelbagai mancanegara. Meski terbuka terhadap masyarakat asing, di sisi lain, ia tetap kokoh dalam menjaga tradisi keagamaan Budha sebagai mayoritas agama pemeluk di Thailand.

Memang ada banyak faktor pendukung lainnya, setidaknya ketiga hal inilah yang membuat Bangkok diganjar oleh majalah Forbes sebagai kota yang paling populer untuk turis internasional pada tahun 2017 ini. Bahkan, menurut daftar tahunan kota-kota yang dilalui Mastercard, Bangkok diprediksi menjadi tuan rumah hampir 20,2 juta turis internasional pada 2017 (www.forbes.com, 26 September 2017).

Bangkok dan begitu juga Thailand secara keseluruhan bisa jadi ramah bagi warga negara asing yang berkunjung, namun secara sosial politik, negara Thailand tidaklah seramah bagi warga negaranya sendiri. Sebagaimana dicatat oleh David Stout (www.time.com, 12 Februari 2014), selain memunculkan sikap protes antipemerintah yang dilakukan melalui demonstrasi berkali-kali yang kemudian disikapi oleh pemerintah Thailand dengan penembakan dan pemenjaraan, munculnya juta militer melalui kudeta telah menginterupsi demokrasi di Thailand.

Refleksi calon penumpang kereta bandara menempelkan tiket masuk di Stasiun Soekarno- Hatta, Cengkareng, Banten, Selasa (26/12). PT Railink resmi mengoperasikan Kereta Bandara dari Stasiun Soekarno-Hatta ke Stasiun Sudirman Baru dengan tarif promo Rp30 ribu hingga 1 Januari 2018. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/aww/17.

Dengan demikian, bagaimana melihat Jakarta melalui Bangkok? Di bawah Presiden Joko Widodo dengan kegemaraanya terhadap pembangunan infrastruktur sebagai upaya mengejar ketertinggalan dengan negara lain serta kerjasama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah pimpinan Ahok, kota Jakarta akan terhubung melalui MRT yang menghubungkan beberapa area di Jakarta juga kereta bandara yang sebelumnya sudah direncanakan sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Dengan kata lain, keterhubungan bandara internasional dengan pusat kota serta area di sekitar wilayah Jakarta yang secara terintegrasi tidak lagi menjadi pepesan kosong, melainkan realisasi yang semakin bisa terlihat dan bisa dinikmati. Meski persoalan harga masih menjadi satu hal yang memberatkan masyarakat, setidaknya ada perasaan bangga bahwa Jakarta mulai terhubung melalui kereta di tengah kemacetan akut yang membelah setiap jalan-jalan Jakarta.

Perasaan bangga inilah yang selalu saya katakan kepada beberapa teman internasional terkait dengan perkembangan terbaru Jakarta, “Mainlah ke Jakarta pada tahun 2019, kamu bisa langsung ke jantung ibu kota dan berkeliling melalui kereta tanpa kemacetan”.

Di sisi lain, adanya upaya normalisasi sungai melalui pengerukan dan perluasan yang berakibat pada penggusuran sejumlah anggota masyarakat di bantaran sungai sejak era Ahok memang berdampak dua hal: satu sisi hal tersebut bisa mengurangi banjir dan, di sisi lain, anggota masyarakat tercerabut dari akar sosial budayanya.

Namun demikian, penggusuran tampaknya menjadi jalan satu-satunya untuk mengurangi banjir, meski atas dalih ungkapan yang berbeda dengan menyebutnya sebagai naturalisasi. Naturalisasi ini yang akan dilakukan Gubernur Anies Baswedan dengan cara menggusur rumah-rumah yang di bantaran sungai dengan istilah halus yang digunakan, menggeser (www.cnnindonesia.com, 13 Desember 2017). Meski dengan dalih tidak mau menggusur sebagai bagian dari kampanye Pilkada DKI Jakarta dan antitesis Ahok, ia tidak memiliki ungkapan yang pas dalam penyelesaian banjir tersebut.

Bagaimana dengan sebuah kota yang terbuka ketika warga negara asing juga turut nyaman berada di Jakarta? Sejak ada demonstrasi yang berjilid-jilid dan menguatnya sentimen kepada aseng dan asing serta menjadikan Monas sebagai simbol agamis, saya sangat pesimistis Jakarta setidaknya, dalam beberapa hal, bisa senyaman dan terbuka seperti kota Bangkok. Apalagi, paramiliter semacam FPI menjadi penyokong kesuksesan kemenangan Anies-Sandi di ibu kota Jakarta.

Memang, Anies-Sandi baru tiga bulan memimpin DKI Jakarta. Masih tersisa 4 tahun 9 bulan untuk membuktikan bahwa mereka berdua layak menggantikan Ahok-Djarot dan membawa Jakarta untuk bisa bersaing dengan kota-kota lainnya di Asia Tenggara, Asia, dan Dunia.

Namun, tanda-tanda adanya involusi kebijakan pembangunan dan perkembangan Jakarta mulai tampak terlihat. Selain menguatkan sentimen keagamaan dan identitas “keaslian” melalui penyebutan “pribumi”,  adanya upaya menghilangkan transparansi liputan di Balai Kota, dan mengembalikan birokratisasi administrasi yang menyulitkan masyarakat sendiri dengan menghapuskan qlue dan mengubah aduan langsung kepada gubernur di Balai Kota terkait dengan aduan menuju wilayah area masing-masing.

Selain itu, ketidakcakapan dalam menyelesaikan banjir dan kebingungan sosok Sandiaga sebagai Wakil Gubernur yang lebih menonjolkan sosok persona seorang metroseksual ketimbang pelayan masyarakat dengan visi membenahi Jakarta dengan retorika publik yang mengambang dan bikin pening kepala menambah daftar involusi kebijakan tersebut.

Kolom terkait:

Mau ke Mana Kebijakan Transportasi Anies-Sandi?

Anies-Sandi versus PKL Tanah Abang

Gubernur Anies dan Polemik Staf Khusus

Ketika Haters Melambungkan Anies-Sandi

Tanggung Jawab Politik “Sang Pribumi” Anies Baswedan

Wahyudi Akmaliah
Wahyudi Akmaliah
Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.