Minggu, Desember 8, 2024

Kala Si Gaek Amien Rais Turun Gunung

Rahadian Rundjan
Rahadian Rundjan
Penulis dan peneliti sejarah. Berdomisili di Bogor.
- Advertisement -

Berkuasa memang nikmat. Tidak melulu kuasa politik, namun juga bentuk-bentuk kuasa lain seperti diakuinya kharisma atau rasa dihormati, sesuatu yang membuat orang-orang menyegani.

Sejarah memperlihatkan bahwa para penguasa banyak berperan dalam titik balik kehidupan manusia, entah sebagai pemimpin budiman yang membawa rakyatnya menuju kemakmuran, atau sumber kemarahan yang membuat rakyat berontak untuk mendomplengnya dari kekuasaan. Pola tersebut silih berganti muncul di masa lalu, dan rasanya tak akan banyak berubah di masa depan kelak.

Pada dasarnya, secara personal, memang tidak ada kekuasaan manusia yang kekal abadi. Dan andaikata buah-buah pemikiran kekuasaannya itu diwariskan, tak ada jaminan bahwa penerus-penerusnya akan melanjutkan secara mentah-mentah tanpa perubahan.

Berkuasa terlalu lama adalah cara ampuh untuk mencederai reputasi seseorang. Dan, sekali lagi, bukan hanya soal berkuasa secara politik, namun juga tabiat “enggan turun” seseorang yang pikirannya masih terjebak, dan terjerembab, dalam kejayaan masa lalunya.

Perihal ini, ada sebuah ungkapan yang cukup tepat untuk menggambarkannya: “Kamu mati sebagai pahlawan atau hidup terlampau lama dan perlahan-lahan menjadi penjahat.”

Ekspresi tersebut viral melalui media budaya populer, tepatnya dalam film The Dark Knight (2008), salah satu film pahlawan super yang banyak dipuji karena nilai-nilai dan simbol-simbol kegamangan akan kemanusiaannya yang kental. Mundur lebih jauh ke belakang, filsuf Nietzsche sebenarnya pernah melontarkan ekspresi serupa.

Intinya adalah, reputasi seorang manusia terbatas pada semangat zaman masing-masing. Di satu masa, ia mungkin pembebas yang menggulingkan tatanan jahat dan membentuk tatanan baru. Namun, tatanan barunya ini pastilah akan ditantang oleh tatanan-tatanan yang lebih baru lagi.

Kelalaian untuk menyadari hal tersebut dan kearoganan untuk mempertahankan tatanannya tanpa menghiraukan kebaruanlah yang membuat seseorang jatuh menjadi “penjahat”. Bahkan celakanya, kemungkinan ia tidak mengetahui peran yang tengah ia mainkan adalah “jahat” bagi banyak orang.

Lihat saja Amien Rais sebagai contohnya. Tokoh yang selalu tampak terdepan dalam pusaran reformasi 1998 tersebut sejatinya memiliki catatan sebagai oposisi yang gemilang dalam upaya-upaya melengserkan Suharto dan menutup tirai Orde Baru. Julukannya bermacam-macam dan bersinonim dengan reputasi keberhasilan reformasi, mulai dari “Bapak Reformasi”, “Lokomotif Reformasi”, sampai “King Maker”.

Meskipun ada sebagian tokoh-tokoh reformasi meragukan nilai penting kefigurannya, tak ayal Amien Rais adalah wajah reformasi bagi orang-orang Indonesia pada umumnya.

- Advertisement -

Andai saja selepas momen reformasi tersebut Amien Rais berhenti “mengutak-atik” dan berpolitik membumi, mungkin reputasinya tak akan dipandang tercoreng seperti sekarang ini. Kritik-kritiknya kepada pemerintahan Jokowi yang bernada kasar, umpatan tersirat, dan bahkan cenderung tidak nyambung seperti soal ‘partai setan’ dan ‘partai Allah’ belakangan ini, memperlihatkan bahwa mungkin lokomotif yang dahulu begitu perkasa kini sudah usang dan ketinggalan zaman.

Alih-alih menarik simpati, orang-orang yang berpikir jernih pasti kecewa dan terheran-heran.

Saya melihat jumpalitannya Amien Rais dalam kancah politik Indonesia di masa Orde Baru dan awal reformasi adalah bukti kecerdikannya berpolitik yang pasti akan diapresiasi oleh politisi mana pun di dunia ini. Sesuatu yang sah-sah saja. Seperti kancil, ia pandai melompat-lompat dari satu pijakan ke pijakan lain, namun rasanya kini ia terperosok ke dalam lubang yang berbahaya.

Bagaimana ia menawarkan atribut-atribut keagamaan dengan frontal untuk memuluskan niatan politiknya sungguhlah tidak etis, dan mungkin pelanggaran etika politiknya yang paling blak-blakan sejauh ini.

Tentu saja kini Amien Rais masih memiliki pendukung di mana-mana. Namun, pasti sejarawan-sejarawan Indonesia di masa depan akan menyayangkan sepak terjangnya di masa kontemporer ini; terlebih lagi jika niatan politiknya tidak kesampaian pada Pemilihan Presiden 2019 nanti.

Mungkin idealnya untuk saat ini adalah, mereka yang tampil sebagai wajah-wajah elite dalam kecamuk politik 1998 turun panggung dan mempersembahkan tempat utama bagi generasi-generasi baru. Megawati dan Wiranto telah melakukannya sejak 2014 lalu.

Kans Prabowo untuk 2019 ini digadang-gadang terlampau kecil untuk menantang Jokowi, dan mungkin memang sudah saatnya ia turun panggung dan fokus menjadi “King Maker”, sebagaimana keberhasilannya dalam peran tersebut di dua sesi terakhir Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta.

Sejarah memang membuktikan bahwa polemik pembesar-pembesar yang “enggan turun” ini cukup dalam mewarnai perjalanan politik Indonesia. Sukarno masih tampil sebagai pentolan elite politik Indonesia sampai pertengahan 1960-an di kala kolega-koleganya sesama angkatan ’45 seperti Hatta dan Syahrir telah menghilang dari panggung politik. Sama halnya dengan Suharto yang 32 tahun berkuasa dan mungkin akan lebih lama lagi jika gerakan reformasi tidak terlaksana.

Keduanya pun bernasib serupa. Naik ke takhta kekuasaan sebagai pahlawan, lantas menjadi otoriter dan menolak gagasan-gagasan pembaruan, sampai akhirnya digulingkan secara paksa layaknya penjahat oleh rakyat yang dulu mengelu-elukan mereka.

Sejarah antara Sukarno dan Suharto memang tidak bersahabat, namun para penggemar fanatik Sukarno yang biasanya membenci ketokohan Suharto, dan sebaliknya, rasanya harus saling bersepakat bahwa kesalahan terbesar kedua tokoh tersebut adalah faktor terlalu lamanya mereka berkuasa sebagai orang nomor satu di Indonesia.

Memang, semakin lama seseorang berada di zona nyaman, maka perlahan-lahan ia akan menutup mata dan telinga terhadap angin perubahan yang berhembus di sekelilingnya; semakin tua seseorang, semakin besar pula kerusakan-kerusakan yang ia buat. Karena itulah, saya mengira gairah kemudaan seharusnya menjadi wajah dan atmosfer dinamika politik Indonesia setidaknya pada Pemilihan Presiden 2019 nanti.

Jadi, golongan tua dan gaek patut sadar diri, dan golongan muda haruslah mempersiapkan diri.

Kolom terkait:

Pidato Penting Presiden Kita

Saya Percaya Amien Rais, tapi…

Jokowi, Amien Rais, dan Tuduhan Komunis Itu

Membaca Peta Politik Amien Rais

Amien Rais dan Partai Setan, Ngeri!

Rahadian Rundjan
Rahadian Rundjan
Penulis dan peneliti sejarah. Berdomisili di Bogor.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.