Setelah Setya Novanto ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di internal Partai Golkar kini muncul aura H2C alias harap-harap cemas. Aura tersebut seakan berharap Setnov terus memimpin Golkar, tetapi cemas elektabilitas partai menurun. Kedigdayaan partai berlambang beringin itu pun semakin cenat-cenut dan membutuhkan ketenteraman mengingat 2018 sudah memasuki tahun politik, yakni adanya pilkada serentak. Artinya, Golkar harus segera berbenah jika tidak ingin ditinggal konstituennya.
Ada desakan dari beberapa pihak di internal partai untuk Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub), sebab Setnov sudah menjadi pesakitan KPK. Beberapa nama pun mulai dimunculkan untuk kandidat calon ketua umum. Idrus Marham, sang Plt Ketua Umum, mulai masuk radar. Airlangga Hartarto, kader Partai Golkar yang sekarang menjabat sebagai Menteri Perindustrian, juga disebut-sebut namanya.
Yang menarik dicermati bukan semata munaslub, tapi gerak manuver Golkar yang lihai bak lincahnya ksatria silat. Apa yang dilakukan Golkar? Tak lain adalah berlindung di balik satu nama: Joko Widodo. Lihat saja Idrus Marham yang terang-terangan mengatakan bahwa Jokowi memiliki tanggung jawab untuk menjaga suara Golkar di Pemilu 2019, sebab Golkar sudah bulat mendukung Jokowi maju pada Pilpres 2019 (Kompas, 1/12/17). Ia juga mengklaim mendapat restu Jokowi untuk menjadi ketua umum jika perhelatan Munaslub digelar.
Airlangga Hartarto pun tidak mau kalah. Ia mengaku telah mengantongi izin dari Jokowi untuk maju dalam Munaslub (Kompas, 28/11/17). Meski hal wajar jika Airlangga meminta izin sebab posisinya masih menjadi menteri, tetapi ada penggiringan opini bahwa Airlangga direstui Jokowi menjadi Ketua Umum Golkar.
Demikian juga dengan Yorrys Raweyai. Politikus Partai Golkar ini menyebut bahwa pergantian sosok ketua umum partai beringin itu hanya perlu melihat isyarat dari bahasa tubuh (gestur) Presiden Joko Widodo (CNN Indonesia, 17/11/17). Ia, tanpa tedeng aling-aling, menyebut bahwa Golkar adalah partainya pemerintah, sehingga menunggu Jokowi yang memberi keputusan.
Ihwal Golkar berlindung di balik nama Jokowi sejatinya juga bukan kali ini saja. Ketika Ketua Umumnya, yakni Setya Novanto tertangkap KPK, Setnov juga meminta perlindungan hukum dari Jokowi. Meski akhirnya Jokowi tak merespons dan membiarkan proses hukum berjalan, permintaan Setya saat itu sudah menggegerkan publik.
Pertanyaannya kemudian, mengapa semua mengarah kepada Jokowi yang notabene bukan internal Partai Golkar? Ya, itulah hebatnya partai beringin. Karena merasa sebagai partai pemerintah, meski sebenarnya bukan Golkar saja yang berkoalisi dengan pemerintah, Golkar melempar bola panas kepada Jokowi. Tujuannya jelas, agar partai terselamatkan. Dengan berlindung di balik Jokowi, artinya berlindung di balik pemerintah. Maka, nama pemerintah yang akhirnya dipertaruhkan, bukan Golkar-nya.
Saat ini kinerja Jokowi dan pemerintahannya masih terbilang cukup memuaskan publik. Di situlah sepertinya Golkar berharap bisa kecipratan tuahnya sehingga berharap selamat dari kemerosotan. Tak heran kalau jauh-jauh hari para pimpinan DPD Golkar sowan kepada Presiden Jokowi, Kamis (30/11/2017). Tujuannya, bisa ditebak, meminta restu agar kadernya, Airlangga, bisa maju dalam munaslub. Tapi aura yang keluar ke publik justru seolah Jokowi yang menjadi pemilik Partai Golkar sehingga layak dimintai restu.
Jebakan untuk Jokowi
Yang patut waspada saat ini tentu saja nasib Jokowi, sebab bola panas Golkar telah dilempar kepadanya. Apalagi, terkait dengan hal tersebut, sudah ada yang nyinyir. Siapa lagi kalau bukan salah satu dari duo F, yakni Fadli Zon. Jangankan persoalan partai koalisi yang terbilang urusan besar, urusan pribadi terkait pernikahan putri Jokowi baik di Solo maupun di Medan, pun dia nyinyir. Dan sekali dia nyinyir di Twitter, yang me-retweet banyak nian. Belum lagi akun-akun yang turut mengomentari, juga tak kalah banyak.
Apa nyinyiran si Fadli Zon kali ini? Ia dengan mulutnya yang cas-cis-cus menyarankan agar Jokowi saja yang menjadi Ketua Umum Golkar. Tentu ini sindiran mengingat Jokowi adalah kader PDI Perjuangan. Atau bisa jadi Fadli sengaja memancing agar partai berlogo banteng bermoncong putih tersebut turut gusar. Fadli sepertinya hendak memperkeruh koalisi Jokowi.
Maka, di sinilah Jokowi benar-benar diuji ketajamannya dalam bersikap. Jika ia bikin blunder sedikit saja terkait Golkar, bukan hanya nyinyiran yang datang, tapi bisa jadi elektabilitasnya juga menjadi korban. Belum lagi partainya, yakni PDIP, pasti akan gusar jika elektabilitas Jokowi tak menjanjikan.
Dalam konteks ini tak ada salahnya jika Jokowi meniru spirit David De Gea dalam menjaga gawangnya saat bertanding melawan Arsenal pekan lalu. Tanpa banyak ba-bi-bu, De Gea mampu menyelamatkan gawangnya dari gempuran pemain Arsenal sehingga hanya kemasukan sebiji gol saja. Tercatat ada 14 penyelamatan dilakukan sehingga Manchester United kokoh dengan kemenangan 3 : 1 melawan Arsenal.
Jadi, Jokowi dituntut terus waspada dan tak perlu banyak bicara terkait internal Golkar. Dia hanya perlu menggalang pertahanan diri yang baik, layaknya De Gea yang fantastis. Dengan respons dan pertahanan diri yang efisien, De Gea mampu menyelamatkan klub yang dibelanya. Begitu juga Jokowi, dengan langkah yang tepat, ia akan mampu menyelamatkan elektabilitasnya. Meski terus dihimpit oleh serangan Golkar yang mencoba nebeng pada namanya, ia harus mampu bersikap bijak sehingga semua merasa aman.
Tentu ini bukan perkara mudah. Tapi biarlah ini menjadi ujian bagi Jokowi dalam menghadapi tahun-tahun politik. Adapun sebagai rakyat, kita sangat berharap agar dinamika Partai Golkar dengan Jokowi tidak mengganggu stabilitas nasional dan kerja kenegaraan. Sebab, Jokowi adalah presiden, maka setiap gerak langkah kinerjanya ditunggu oleh masyarakat.
Kolom terkait:
Gak Kerja Gak Mantu, Duo F Tetap Nyinyiri Jokowi