Sabtu, November 2, 2024

Jokowi dan Koalisi Gondrong yang Sehat

Jannus TH Siahaan
Jannus TH Siahaan
Doktor sosiologi dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Tinggal di Bogor.
- Advertisement -

Konstelasi politik di Tanah Air bergeser cepat pasca Pemilihan Presiden 2014. Awalnya, terdapat dua poros besar politik yang mewajahi pentas nasional dan beberapa saat berjuang keras mempertahankan pesonanya, yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang merupakan penyokong utama pemerintah dan Koalisi Merah Putih (KMP).

Kekuatan kedua pun terbilang relatif berimbang ketika itu. Keduanya saling menjadi uji ombak, posisi-posisi strategis di DPR diperebutkan dengan tensi yang selalu panas serta konfliktual. Namun, politik nyatanya tak sekaku itu. Seiring perjalanan waktu, pilihan sikap partai mulai pragmatis. Bandul politik mulai bergeser. Satu demi satu partai menyeberang ke istana.

Keputusan Partai Golkar di bawah kepemimpinan Setya Novanto yang berkomitmen mendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla hingga akhir masa jabatan, telah menjadi kekuatan pengubah utama konstelasi politik di pentas nasional saat itu, sebelum tokoh yang belakangan kerap dibanderol dengan sebutan “papa” tersebut terlilit banyak masalah. Banyak pengamat dan analis ketika itu berpendapat, tambahan dukungan dari Golkar diyakini akan membuat jalan pemerintahan lebih  mulus dan stabil.

Dengan kata lain, potensi gejolak yang datang dari parlemen diperkirakan bisa dieliminasi seminimal mungkin. Program dan kebijakan pemerintah akan mendapat sokongan dari mayoritas kekuatan politik di Senayan. Dengan begitu, implementasi program pemerintah pun diharapkan akan terakselerasi, sesuai arah pembangunan yang dirumuskan dalam Nawacita. 

Pergeseran konstelasi politik tersebut boleh dibilang cukup cepat, terjadi hanya dalam tempo kurang dari dua tahun usia pemerintahan. Pada awalnya, barisan pendukung pemerintah yang memiliki kursi di DPR terdiri dari empat partai politik di bawah payung KIH. Keempat partai itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Di pihak lain, KMP yang cenderung berperan sebagai oposisi memiliki kekuatan yang relatif lebih besar, yakni terdiri dari lima partai: Partai Golkar, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sedangkan Partai Demokrat memilih tidak bergabung dengan salah satu poros politik alias lebih cendrung memainkan peran sebagai kekuatan penyeimbang, walau dalam praktiknya sikap politik Demokrat cenderung sejalan dengan KMP pada satu waktu namun bisa juga sejalan dengan pemerintah di waktu lainya. Setelah itu, satu per satu penghuni KMP berbondong-bondong merapat ke barisan pemerintah, meski tidak ada pernyataan jelas bergabung ke KIH, kecuali Golkar. Ketiga partai tersebut  adalah PAN, PPP, dan Golkar.

Sampai hari ini, kekuatan oposisi di KMP bertahan dua partai, yakni Gerindra dan PKS. Sedangkan Demokrat masih konsisten dengan pilihan awalnya, tergantung arah angin.

Perubahan sikap sejumlah partai KMP  tersebut tentu dilakukan dengan pertimbangan tertentu. Sebagian analis yang pro-istana cendrung menjadikan kinerja pemerintah dan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan  sebagai penyebab dan tolok ukur utama mengapa beberapa kekuatan utama KMP memutuskan merapat ke istana. Data yang digunakan waktu itu adalah hasil survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Maret 2015 yang menunjukkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah meningkat menjadi 59 persen, dari sebelumnya 53 persen pada Desember 2014.

Sebenarnya sampai hari ini alasan tersebut masih amat debatabel  dan sangat layak untuk diuji karena keputusan politik untuk bergabung ke istana sejatinya belum bisa disimpulkan sebagai keputusan yang lahir dari pertimbangan “pull factor” atau daya tarik yang muncul dari kinerja istana. Pertanyaanya, kinerja yang seperti apa dan dari sisi mana? Secara ekonomi dipastikan pemerintah ketika itu belum layak untuk berpesta atas nama keberhasilan. Sangat banyak bolong yang muncul sejak Jokowi-JK naik takhta.

- Advertisement -

Saya lebih cendrung melihat alasan-alasan “praksis politik”  yang tidak berkaitan dengan kinerja dan tingkat kepuasan publik sebagai pemicu lahirnya keputusan bergabung ke istana. Baik itu karena campur tangan beberapa pihak di istana ke dalam beberapa internal partai maupun lantaran kebutuhan beberapa partai untuk terus berdekatan dengan kekuasaan dengan tujuan dan motivasi pragmatis, mendapat jatah menteri, mencari aman, dan lain-lain.

Namun, terlepas dari itu semua, penambahan lokomotif penarik roda pemerintahan tentu menjadi titik kebaikan tersendiri karena akan memberi dampak positif pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang memang bermanfaat bagi keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional dan perbaikan kondisi kesejahteraan masyarakat. Selain program pembangunan yang telah digariskan dapat diimplementasikan lebih cepat, keberlanjutan kekuasaaan istana pun bisa dipertahankan, setidaknya sampai kontestasi selanjutnya tahun 2019 nanti.

Bagi masyarakat, bergabungnya lokomotif baru ke dalam barisan pendukung istana bisa semakin mempercepat pemerintah untuk membuktikan hasil kerja yang bermanfaat untuk publik .

Namun, sebagai sebuah negara yang berkomitmen penuh terhadap demokratisasi dan kedaulatan rakyat, publik tetap harus mengingatkan parpol-parpol pendukung pemerintah untuk tetap kritis dan menagih parpol-parpol yang beroposisi untuk menjadi lawan tanding yang mendidik. Jangan sampai dukungan yang diberikan  malah menggerus fungsi pengawasan yang kritis dan objektif terhadap istana.

Sungguh tak produktif  jika aglomerasi parpol yang cukup tambun tersebut kemudian hanya menjadi “tukang stempel” kebijakan pemerintah, sebagaimana yang terjadi selama 32 tahun masa Orde Baru berkuasa.

Pragmatisme partai politik yang cendrung beramai-ramai memilih mendukung pemerintah juga tak selamanya baik, bahkan memiliki tantangan tersendiri. Terlalu banyak pemain yang berleha-leha dengan kekuasaan dikhawatirkan hanya akan melenakan kelompok mayoritas lantaran terlalu sibuk mengejar kepentingan pragmatis, seperti kursi menteri di kabinet dan berbagai pos politis lainya atau sekadar mencari aman agar tak mendapat banyak gangguan.

Karenanya, selain tetap memberikan apresiasi dan ruang kepada partai oposisi untuk terus beraksi dan berkreasi, kekuatan ekstraparlementer, seperti lembaga swadaya masyarakat dan kekuatan masyarakat sipil lainya, juga perlu secara terus-menerus dipupuk  untuk turut serta mengawasi partai-partai yang kini membentuk koalisi gemuk (jumbo) di pemerintahan. Tujuannya untuk memastikan agar mekanisme check and balances  tetap berjalan. Pasalnya, pemerintah yang berada di zona “nyaman politik” cenderung tidak responsif terhadap kepentingan publik.

Hilangnya kekhawatiran terhadap  kekuatan tandingan yang akan mengontrol dari luar bisa menyesatkan penguasa itu sendiri, terutama tersesat di dalam pemaknaan demokrasi yang salah.

Demokrasi memang membutuhkan stabilitas, keberlanjutan (sustainability), konsistensi, dan aturan main yang jelas, tapi semua bisa berubah seketika jika pihak mayoritas ingin membelokkannya, secepat perubahan konstelasi politik pasca Pilpres 2014. Kebenaran pun akhirnya bisa terkerangkeng ke dalam tafsir-tafsir politis pragmatis yang hanya butuh stempel mayoritas, bukan stempel moralitas dan aturan dasar konstitusional yang jelas.

Di sinilah kegondrongan dan obesitas koalisi yang mem-back up  istana perlu dikawal. Indonesia membutuhkan koalisi gondrong yang tetap stylish dan sesuai dengan kaidah tata rambut yang biasa diterima publik. Demokrasi membutuhkan koalisi gemuk yang tetap sehat  dengan modalitas kerja yang lurus dan kerja keras untuk kepentingan rakyat pemilih dan kepentingan Indonesia.

Bacaan terkait:

2017 dan Ujian Koalisi Jokowi

Jokowi Bukan Ahok

Menjaga Optimisme dalam Berpolitik

Demokrasi yang Terbajak [Catatan Politik 2016]

Di Balik Pertemuan Politik Jokowi dan SBY

Jannus TH Siahaan
Jannus TH Siahaan
Doktor sosiologi dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Tinggal di Bogor.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.