Dedi Mulyadi sebagai bakal calon kandidat Gubernur Jawa Barat periode 2018 – 2023 memang sebuah fenomena. Anak kampung dari Pantura, Subang, Jawa Barat, ini berhasil menarik perhatian beberapa kalangan, baik mereka yang pro maupun mereka yang misuh-misuh kontra dengan berbagai macam sajian isu.
Padahal, elektabilitas Bupati Purwakarta itu tidak seberapa, cuma 14% saja atau tepatnya di peringkat ketiga, itu pun menurut salah satu lembaga survei yang sering membela tetangganya. Selain elektabilitas seadanya, Dedi Mulyadi pun tidak memiliki relasi pengusaha bonafide yang bisa dia gunakan menjadi “bohir” dalam Pilgub Jawa Barat 2018 tahun depan.
Di atas itu semua, orang ini jauh dari level ganteng maksimal, apalagi untuk sekadar acting di depan kamera. He is suck!
Tetapi, di antara dua nama lain yang mengungguli hasil survei, yakni Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar, Dedi Mulyadi menjadi nama yang paling banyak mendapatkan resistensi. Konstelasi internal partainya (Golkar) banyak diganggu oleh kandidat lain yang mengemis secara halus dengan lontaran kenikmatan surgawi. Secara eksternal, isu SARA telah nyata-nyata menghantam dirinya dengan aneka bumbu yang dikemas, mulai dari kasus lama sampai foto editan.
Elektabilitas masih di angka 14% plus “tidak punya modal”, mengapa kemudian orang ini diincar banyak pihak untuk dijatuhkan sampai grasak-grusuk menyuruh “ulama” sowan ke kantor DPP Partai Golkar dan meminta partai berlambang pohon beringin itu untuk membatalkan rekomendasi bagi Dedi Mulyadi agar dia tidak dicalonkan sebagai Gubernur Jawa Barat.
Gila!!! Sampai menyuruh “ulama” untuk masuk secara frontal ke dalam urusan rumah tangga sebuah partai politik hanya agar Dedi Mulyadi tidak ikut Pilgub Jawa Barat. Kita simpan soal etika ulama, biarlah Majelis Ulama Indonesia yang membahas soal ranah etika ini.
Apa sebenarnya variabel tanda-tanda kemenangan yang dimiliki oleh Dedi Mulyadi sehingga mengakibatkan beberapa pihak tidak menginginkan namanya ada dalam kertas suara Pilgub Jawa Barat? Berikut saya sampaikan dua hal terkait persoalan ini.
Dedi Mulyadi “Urang Lembur” (Orang Kampung)
Dedi Mulyadi adalah seorang yang lahir di Kampung Sukasari yang terletak di Kabupaten Subang, besar dalam tradisi Nahdhatul Ulama sehari-hari, dia diyakini faham betul atas situasi dan kondisi lengkap dengan segala persoalan yang mendera orang kampung. Maka, orang ini tidak perlu lagi “belanja masalah” sebagaimana yang dilakukan oleh tetangganya.
Pengalaman dirinya selama dua periode memimpin kabupaten yang berkarakter kampung (Purwakarta) pun saya yakini menjadi modal besar sekaligus menimbulkan ketakutan bagi siapa pun lawan politik yang akan dia hadapi di Pilgub Jawa Barat nanti.
Dedi Mulyadi tidak perlu acting pura-pura menjadi orang kampung atau mendadak mengakui dirinya sebagai keturunan kiai kampung untuk meraih simpati calon pemilih.
Soal kampung ini, menjadi pekerjaan rumah yang selama ini tidak bisa terbaca oleh surveyor lembaga-lembaga survei. Kebiasaan orang kampung saat mendapatkan kuesioner, paling hanya menimpali “Ah, abdi mah nu mana wae ge sae, nu penting nyaah ka rakyat leutik” (Ah, saya mah yang mana juga bagus, yang penting sayang pada rakyat kecil).
Selain itu, lembaga survei mana sih yang sanggup repot-repot mendatangi pedalaman Cidaun di Cianjur, misalnya, atau pesisir pantai Santolo di Garut sana, atau daerah Ujung Genteng dan simpul-simpul mereka yang masih memegang teguh tradisi daerahnya untuk sekadar bertanya “Eh, Pilgub Jawa Barat nanti mau pilih siapa?”.
Andai pun nekat, siapkan saja biaya operasional yang tidak biasa untuk melakukan survei di daerah-daerah itu karena jauh, perlu bekal ekstra, bisa tekor bandar, Pak! Andai pun juga sajian data statistik hasil survei itu benar secara faktual, Bima Arya tentu saja tidak akan menolak pinangan Ridwan Kamil. Semua mengetahui bahwa Wali Kota Bogor itu adalah mantan pentolan salah satu lembaga survei.
Saya sendiri menduga, hasil survei yang selama ini menjadi konsumsi media dan rata-rata menjadi cemilan kelas menengah itu hanya berkutat di permukaan saja, tidak mendalam dan tidak menentukan peta dukungan dan potensi suara yang bisa didulang oleh para calon kandidat. Jika seperti ini, maka “Orang Lembur” pastilah unggul.
Dedi Mulyadi Seorang Kader Partai
Posisi sebagai kader partai merupakan modal besar bagi siapa pun yang ingin maju dalam kontestasi politik. Dedi Mulyadi adalah seorang kader partai, ia besar secara politik di Partai Golkar, menapaki karir mulai dari kader biasa hingga pengurus dan saat ini menjadi Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat.
Lobi politiknya sangat berselera Golkar, lugas, santai, dan tidak banyak basa-basi. Meski begitu, isi kepala Dedi Mulyadi sebenarnya dipenuhi oleh Soekarno-isme, faktor inilah yang menjadikan PDI Perjuangan juga menyatakan ketertarikan kepada dirinya. Untuk diketahui bahwa dalam rangka pengamalan ideologi, tidak bisa hanya sekadar copy paste penampilan atau dengan cara memberikan nama sebuah jalan dengan nama tokoh ideolog.
Seorang “anak ideologis” sejatinya harus memahami falsafah yang digunakan oleh “orang tua ideologis” untuk mengidentifikasi masalah dan menemukan solusi persoalan. Tanpa itu, kita harus siap-siap dengan tuduhan “anak haram”.
Posisi sentral Dedi Mulyadi sebagai kader partai inilah yang tidak dimiliki oleh calon kandidat yang lain. Ridwan Kamil kita ketahui menolak menjadi kader partai. Konon, faktor ini yang menjadikan dirinya berpaling dari Gerindra dan PKS menuju pelukan Partai Nasdem.
Sementara Deddy Mizwar diisukan rela menjadi “muallaf” di Partai Gerindra demi mendapatkan restu dari Ketua Umum Prabowo Subianto. Isu ini masih belum menemukan fakta yang sesungguhnya, karena selama ini Sang Naga Bonar justru dikenal sebagai orang yang sangat dekat dengan PKS. Gerindra tentu saja tidak mau kecolongan dengan memunculkan Deddy Mizwar dan Ahmad Syaikhu sekaligus, masa komposisinya harus PKS-PKS?
Di sisi lain, PKS seolah menagih hasil dari kerelaan mereka secara institusi saat Gerindra menawarkan Anies Baswedan untuk berpasangan dengan Sandiaga Uno pada Pilgub DKI Jakarta awal tahun ini. Kita ketahui bahwa pada awalnya PKS mengajukan nama Mardani Ali Sera sebelum akhirnya nama Anies Baswedan yang muncul. Komposisi Anies – Sandi sebenarnya adalah Gerindra – Gerindra.
Kondisi ini sekaligus mengkonfirmasi dinamika yang begitu rigid dalam internal koalisi Gerindra – PKS tersebut, ternyata tidak sesolid yang digembar-gemborkan, di dalamnya masih saja terdapat tarik menarik kepentingan yang sangat kentara.
Sementara Ridwan Kamil, sebagai pribadi yang juga sangat membutuhkan partai politik, masih saja mencitrakan dirinya sebagai seorang yang independen dan tidak ingin menjadi kader parpol kecuali kelak jika terpilih menjadi Gubernur Jawa Barat. Konon, sesuai dengan amanat ibunya, pria berkacamata itu baru boleh menjadi kader salah satu partai jika menjadi pemimpin Jawa Barat.
Hemat saya, pernyataan tersebut hanya sekadar manuver demi menggenjot Partai Nasdem dan partai lain agar mau bersatu dalam satu jalinan koalisi seraya berharap Ridwan Kamil masuk menjadi kader salah satu partai tersebut. Meski tentu saja partai politik ini sangat rentan sekali di-PHP-in, sebagaimana terjadi pada Gerindra dan PKS.
Dalam konteks partai politik, saya kira hanya Dedi Mulyadi saja yang tidak rentan terhadap konflik internal kepentingan partai koalisi. Orang ini sangat terlatih dalam persoalan itu.
Cukup karena dua hal ini saja sudah membuat calon kompetitor Dedi Mulyadi ketar-ketir. Modusnya masih sama dengan dua pilkada terakhir yang ada di Purwakarta, yaitu isu SARA dengan meminjam mulut “ulama” sebagai corongnya.
‘Alaa kulli haal, memang benar, Jangan sampai Dedi Mulyadi maju di Pilgub Jawa Barat tahun depan, karena dia akan menang. Wallaahu Muwwafiq.