Rabu, April 24, 2024

Jakarta’s Game of Throne

Sulfikar Amir
Sulfikar Amir
Peneliti studi kota dan pengajar sosiologi di Nanyang Technological University, Singapore.

ahok-agus-anies
Basuki Tjahaja Purnama, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Anies Baswedan [Foto: tribunnews.com]
Lima tahun yang lalu, ketika Joko Widodo berhasil menaklukkan Fauzi Bowo dalam pemilihan gubernur DKI, ada suasana spesial. Suasana yang membuat warga Jakarta sangat bergairah. Bukan karena pilgub saat itu menjadi ajang perebutan kekuasaan antara tokoh-tokoh politik lama yang tetap beredar dalam peta politik Indonesia. Juga bukan karena untuk pertama kalinya media sosial menjadi ajang kampanye masif bagi para petarung untuk memobilisasi dukungan. Lima tahun yang lalu, Joko Widodo memenangi pertarungan dengan telak atas sang petahana karena dia menjadi simbol harapan warga Jakarta. Harapan akan perubahan.

 

Di bawah kepemimpinan Fauzi Bowo, Jakarta berada dalam “masa kegelapan”. Permasalahan banjir dan macet yang begitu akut menjadi keseharian seluruh warga Jakarta yang sudah capek dan muak dengan segala kesemrawutan akibat ketidakbecusan “Sang Ahli” dalam mengelola Jakarta. Di sisi lain, Jokowi datang sebagai sosok yang bersih, penuh ide, dan dengan komitmen yang tinggi untuk membenahi Jakarta, seperti apa yang dia lakukan di Surakarta.

Kini Jakarta kembali memilih gubernur. Tapi ada yang berbeda kali ini dibandingkan lima tahun yang lalu. Ada sesuatu yang hilang. Semangat akan perubahan tidak lagi mendominasi narasi dan wacana di kalangan pemilih. Peta politik nasional telah berubah sejak Jokowi menjadi Gubernur DKI dan kemudian Presiden RI. Dan ini tentu saja mempengaruhi konstelasi politik Jakarta.

Tiga pasangan kandidat yang maju dalam pilgub kali ini adalah refleksi dari kekuatan-kekuatan politik yang mencoba mengendalikan peta politik nasional. Alih-alih ingin membawa perubahan dalam tata kelola Jakarta, pertarungan politik kali ini tidak lebih dari perebutan batu lompatan menuju 2019.

Oleh karena itu, mari kita bedah ketiga kandidat satu per satu.

Agus Harimurti Yudhoyono adalah kandidat yang paling mengejutkan di antara ketiga kandidat. Bukan karena dia rela mengundurkan diri dari TNI pada saat karirnya sedang menanjak, tapi karena nama Agus tidak pernah terdeteksi dalam radar publik dan survei. Sepertinya Partai Demokrat belajar dari pengalaman karena telah membuang suara dengan sia-sia dalam Pemilihan Presiden 2014 akibat pilihan sikap netral. Kali ini Partai Demokrat ingin kembali menjadi salah satu pemain utama dan Agus, entah karena alasan apa, menjadi kandidat yang disodorkan koalisi Partai Demokrat.

Kelemahan Agus Yudhoyono sebagai calon gubernur DKI sudah sangat jelas. Dia minim rekam jejak. Untuk sebuah posisi yang membutuhkan tidak hanya kemampuan teknokratis tetapi juga pengalaman dalam mengelola sistem birokrasi kota yang begitu kompleks, Agus Yudhoyono tampak meragukan, lepas dari berbagai gelar akademik dan prestasi gemilang dalam karir militer.

Karenanya, banyak pihak yang mempertanyakan kemampuan Agus Yudhoyono dalam memimpin Ibu Kota yang penuh dengan masalah rumit dan benturan dengan berbagai kepentingan. Walaupun ditemani Sylviana Murni yang memiliki pengalaman birokrasi di Jakarta, Agus masih tampak kedodoran. Hal ini jelas dari program yang ditawarkan, yakni janji untuk memberikan dana ke berbagai kelompok masyarakat. Ini adalah bentuk negosiasi paling primitif dan sangat tidak kreatif dalam politik elektoral.

Tapi program dan kebijakan sepertinya bukan hal penting dalam strategi Agus Yudhoyono. Laporan di lapangan mengatakan bahwa tim Agus-Sylvi bergerak agresif di tingkat akar rumput di mana suara itu berada. Mereka bergerilya dari satu lokasi ke lokasi yang lain dengan cekatan untuk menarik simpati dan mendulang dukungan. Artinya, kekuatan Agus ada pada kemampuan mengelola “realpolitik” langsung di lapangan, sesuatu yang mengulang apa yang dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2004.

Karena itu, tidak heran jika Agus tidak terlalu tertarik untuk tampil dalam berbagai acara debat, selain yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Jika Agus Yudhoyono adalah kandidat yang paling mengejutkan, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok adalah kandidat yang paling menjengkelkan. Sebagai petahana, Ahok memiliki banyak keuntungan dalam hal sumber daya dan waktu. Ketika dia mendeklarasikan diri untuk maju sebagai calon independen setahun lalu, praktis Ahok sudah mulai berkampanye jauh sebelum kandidat yang lain muncul. Anehnya, ketika dia mengklaim berhasil mengumpulkan satu juta kartu tanda penduduk (KTP), dia justru banting setir mencari dukungan dari partai politik yang sebelumnya dikritik habis-habisan.

Yang lebih menjengkelkan adalah cara Ahok berkomunikasi kepada publik dan bagaimana dia menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan di Jakarta secara “one man show”.

Harus diakui bagaimanapun bahwa Jakarta mengalami perubahan selama Ahok mengambil alih kepemimpinan dari Jokowi. Banyak pekerjaan Ahok yang hasilnya dirasakan oleh warga Jakarta. Dan prestasi ini dapat menjadi modal untuk mendapatkan suara di pemilihan kali ini.

Tapi musuh terbesar Ahok adalah dirinya sendiri. Kecenderungan megalomania membuat Ahok melihat dirinya sebagai satu-satunya yang paling benar sehingga sangat sulit untuk mendengar pendapat dan kritik dari luar. Tidak heran jika suara dukungan kepada Ahok anjlok menjelang pemilihan.

Ini diperburuk oleh tekanan dari kalangan Islam konservatif yang melihat Ahok sebagai kekuatan anti-Islam. Fatalnya, tim Ahok cuma bisa mendaur ulang bahan kampanye peninggalan Jokowi tanpa nilai kebaruan yang signifikan. Pendukung yang tertinggal buat Ahok adalah para selebriti dan buzzer media sosial kelas menengah yang sibuk mengangkat citra Ahok sebagai gubernur yang kompeten dan toleran.

Tentu saja peluang Ahok untuk kembali menjadi Gubernur DKI tidak seperti ember kosong. Sumber daya birokrasi dan dukungan politik, khususnya dari Istana Negara, memungkinkan Ahok bersama Djarot Hidayat untuk mendongkrak angka dukungan hingga hari H. Dan ini tergantung kemampuan Ahok melawan dirinya sendiri.

Pasangan ketiga menarik untuk disimak dari perspektif yang berbeda. Berlatar belakang akademisi, Anies Baswedan dengan rela banting setir untuk menangkap peluang menjadi gubernur DKI setelah terhempas dari kursi menteri. Tidak ada yang salah dengan itu.

Bagaimanapun Anies adalah seorang politisi yang rasional. Dia akan menangkap setiap peluang di depan mata untuk mewujudkan gagasan-gagasan dia. Pemilihan gubernur DKI adalah pertarungan Anies yang pertama dan yang paling nyata. Dan kali ini dia semestinya lebih cermat untuk bisa menjadi pemenang dengan memanfaatkan secara maksimal modal kultural dia sebagai seorang intelektual.

Tapi justru di sinilah masalahnya. Anies justru menjadi kandidat yang paling mengecewakan. Alih-alih menawarkan gagasan-gagasan yang cerdas, Anies justru terjebak dalam retorika moralitas yang nyaris tidak relevan dengan konteks kompetisi elektoral. Program pendidikan yang menjadi gagasan utama dalam kampanye Anies justru terlihat “out of context” dan hanya menunjukkan bahwa Anies tidak bisa keluar dari “comfort zone” dia sebagai mantan Menteri Pendidikan.

Memang ada beberapa gagasan yang cukup menarik seperti penolakan reklamasi, konsep urban renewal, dan sebagainya. Sayangnya gagasan-gagasan ini tidak terelaborasi dengan baik dan tidak terangkum dalam satu kerangka besar tata kelola Jakarta.

Latar belakang Sandi Uno sebagai pengusaha sebenarnya dapat mengisi kekurangan Anies dalam aspek penguasaan lapangan dan bagaimana mengendalikan kekuatan pasar dan kapital untuk kepentingan publik Jakarta. Sayangnya sinergi ini belum terlihat solid. Akhirnya sulit untuk mengukur sejauhmana Anies dapat menjadi gubernur DKI yang benar-benar dibutuhkan Jakarta sebagai metropolitan global yang kosmopolitan.

Lalu kesimpulannya apa?

Siapa pun yang menjadi gubernur DKI periode berikutnya, besar kemungkinan Jakarta tidak akan berubah banyak. Sampai beberapa tahun ke depan, gridlock di Jakarta akan semakin parah. Saat yang bersamaan, tingkat kriminalitas tidak akan berkurang. Sementara itu, beberapa wilayah di Jakarta akan tetap rawan banjir dan ketimpangan sosial dan ekonomi akan terus menjadi wajah sehari-sehari Ibu Kota.

Dan terakhir, tentu saja kaum kelas menengah akan terus mengeluh di media sosial tanpa berbuat banyak.

Baca juga:

Kota, Publik, dan Mobilitas

Sulfikar Amir
Sulfikar Amir
Peneliti studi kota dan pengajar sosiologi di Nanyang Technological University, Singapore.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.