Selasa, Oktober 8, 2024

Isu PKI dan Keributan yang Memuakkan

Petrus Richard Sianturi
Petrus Richard Sianturi
Lulusan Seminari Wacana Bhakti, Jakarta, dan Fakultas Hukum Unika Parahyangan, Bandung.
Presiden Joko Widodo didampingi Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (kiri) dan sejumlah jajaran perwira dan prajurit TNI dan Polri beserta masyarakat menonton film “Pengkhianatan G 30 S/PKI di lapangan tenis indoor Markas Korem 061 Suryakencana Bogor, Jawa Barat, Jumat (29/9) malam. ANTARA FOTO/Setpres/Laily Rachev/wsj

Hari-hari ini, dan memang selalu begitu sejak saya mulai sadar, menjelang tanggal 30 September, Indonesia jadi ribut lagi soal isu Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahwa semangat komunis dan pendukungnya bangkit lagi, ada penyusup PKI di sana-sini, bahkan setidaknya tiga tahun ke belakang, Presiden Jokowi pun dengan serampangan dituduh sebagai keturunan keluarga komunis.

Lagi-lagi harus ada demo menyikapi isu seperti itu. Lagi-lagi harus ada warga yang merasa khawatir atas apa yang akan terjadi. Dan lagi-lagi, harus dipertontonkan dalam banyak kesempatan dan media, perdebatan yang materinya berputar-putar terus di lingkaran yang sama: siapa lebih benar-siapa lebih salah, perlukah minta maaf, tapi siapa harus duluan?

Yang pasti, kondisi saling tuduh, saling curiga, bebal, dan tidak produktif sama sekali seperti ini tidak lagi menarik. Humor yang tidak membuat tertawa. Bahwa selalu ada kelompok yang membuat isu PKI seakan-akan bangkit dari kubur, meski cuma di bulan September saja, tidak menunjukkan apa-apa. Meski belasan ribu orang harus membuang energi di depan kantor DPR, adalah sama sekali tidak bisa menunjukkan bahwa komunisme (c.q. PKI) memang betul hidup lagi, apalagi mengancam bangsa ini!

Keributan yang selalu muncul ini sama sekali tidak perlu dan kelak pada waktunya hanya akan memuakkan saja, sebab yang diributkan (oleh orang/kelompok tertentu dengan kepentingan tertentu) hanya soal penolakan PKI dengan basis kebencian total, kedangkalan nalar dan ketertutupan pada fakta sejarah yang lain yang perlu dipertimbangkan. Ya, pokoknya PKI jahat, salah! Lawan!

Sudah 50 tahun lebih kita ribut di situ-situ saja, mau sampai kapan? Mau sampai kapan kecurigaan, saling tuduh, berbohong pada sejarah kita simpan-simpan dalam hati?

Tiga Tahap

Sejarah memang mencatat kalau enam jenderal dan Kapten Piere Tendean dibunuh oleh Gerakan 30 September pada 1 Oktober 1965. Di samping itu, dalam kurun waktu tidak jauh, juga pembunuhan atas para ulama sekaligus orang yang dianggap oleh gerakan itu sebagai ancaman. Di sini, PKI menjadi tertuduh utama. Kondisinya kemudian mendudukkan PKI sebagai pelaku kejahatan, meski masih banyak pertanyaan–misalnya apakah DN Aidit dan pemimpin komunis lainnya ikut terlibat.

Yang tidak diragukan, memang PKI punya keterlibatan dalam pembunuhan itu. Bahwa paham komunis yang mereka pertahankan bukan cuma berbahaya tetapi juga tidak sesuai bagi Indonesia. Banyak alasan mengapa komunis, hingga hancurnya Uni Soviet, harus ditolak karena ajarannya yang bahaya (tidak dibahas disini, memang bukan itu tujuannya).

Yang membuat tidak selesainya diskusi adalah karena pembalasan terhadap PKI, yang dipercaya sebagai pelaku, pasca pembunuhan itu. Untuk ini, mengikuti Profesor Magnis-Suseno, bahwa perlu dibedakan tiga tahap (Franz Magnis-Suseno, 2015: 52-54, 221). Tahap pertama, pembalasan langsung pada PKI pada malam yang sama saat para jenderal di bunuh. Di Jakarta, gerakan itu lalu dipatahkan, markas mereka di Solo dan Yogya sudah menyerah.

Tahap kedua, pertengahan Oktober 1965 sampai Februari 1966, terjadi pembersihan besar-besaran bagi mereka yang dianggap PKI di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali sampai Flores. Jumlahnya mengerikan, sampai kira-kira 500.000 orang (bahkan Sarwo Edhie pernah menyebut sampai tiga juta orang), yang oleh Magnis dikatakan termasuk dalam lima genosida terbesar di dunia.

Tahap ketiga, ketika penangkapan jutaan orang yang dianggap “terlibat”, meski sama sekali tidak terlibat sedikitpun dalam konteks Gerakan 30 September itu. Mereka, tulis Magnis, dikeluarkan dari komunitas solidaritas bangsa, dihancurkan nama baiknya, dirusak keluarga dan perekonomiannya, disiksa, diperkosa, difitnah dan dirampas kebebasannya. Something has gone terribly wrong.

Lalu siapa benar, siapa salah? Pertanyaan ini bisa muncul karena tiga tahap itu, yang saya setuju untuk generasi saya mengerti apa yang sebenarnya terjadi, dicampuraduk sejak pemerintahan Orde Baru, termasuk oleh banyak orang pasca reformasi, sekarang ini. Akhirnya cuma klaim-klaim merasa benar sendiri atau menuduh yang lain sebagai mutlak salah adalah pilihan yang dianggap tepat.

Di titik ini, kita perlu rekonsiliasi. Tidak ada jalan lain, kecuali kita (juga pemerintah berkuasa) mau ribut melulu. Harus diakui bahwa kegagalan bangsa ini untuk mencapai rekonsiliasi bersama (bahasa Hannah Arendt: political reconciliation) akhirnya membuat isu soal PKI ini selalu dan akan selalu mudah dipermainkan oleh kepentingan tertentu.

Dengan segala kompleksitasnya, harus diakui dengan jujur bahwa langkah tepat berdamai dengan kekelaman masa lalu tahun 1965/1966 dan belasan bahkan puluhan tahun setelah itu, tidak bisa hanya normatif: bahwa sudah diterbitkannya TAP MPRS XXV tahun 1966 untuk membubarkan PKI, lalu selesai. Kata ‘gebuk PKI’ juga tidak cukup jika belakangnya hanya bersandar pada basis normatif TAP MPRS. Harus juga ada penyelesaian sosio-kultular, sosio-politik dan kemauan mengakui dengan jujur.

Masih banyak tanda tanya yang belum menemukan jawaban. Dalam usaha mencari jawaban itulah, selalu ada celah munculnya keributan yang tidak perlu. Dan menyedihkan betul, misalnya pembubaran kegiatan di kantor YLBHI harus terjadi. Padahal, seperti para peserta diskusi itu sendiri katakan, ada perspektif lain dari tragedi 1965/66 yang perlu dibicarakan. Mereka juga yang mengakui, PKI tidak mungkin bangkit atau dibangkitkan.

Lagi, instruksi Panglima TNI untuk nonton bareng film G30S/PKI warisan Orde Baru menjadi tidak berarti apa-apa disaat, nonton bareng film Jagal dan Senyap, misalnya, selalu dibubarkan dan dikecam. Yang pasti, semua tindakan itu adalah contoh konkret kita tidak mau mencari jawaban sesungguhnya dari sejarah kelam itu.

Rekonsiliasi

Rekonsiliasi menjadi mutlak dibutuhkan. Rekonsiliasi yang tidak pura-pura, yang tidak satu arah (melulu apa maunya pemerintah berkuasa), yang tidak intimidatif, yang jujur dan mau mengakui, yang punya komitmen bersama untuk melihat ke depan. Kita melihat usaha Jerman melalui Enquete Commission soal penyelidikan pelanggaran HAM pemerintah komunis Jerman Timur (1950-1959).

Juga, upaya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan (KKR Afsel) untuk menyelidiki kekejaman selama sistem apartheid diterapkan. Yang perlu dicatat, keberhasilan KKR Afsel ini didasari tiga keyakinan: 1. luka kolektif bisa sembuh hanya jika masa lalu itu diketahui dan diakui (known and acknowledged); 2. pengadilan dan penghukuman atas rezim pelaku kejahatan masa lalu akan sulit dan kontraproduktif pada proses demokrasi; dan 3. bahwa menyatakan kebenaran akan mencapai perdamaian dan rekonsiliasi (Mark R. Amstuz, 2005: 188).

Masih ada lagi, setidaknya yang dicatat Amstuz, seperti Argentina, Chile, El Salvador, Guatemala, Haiti, Honduras dan Peru. Usaha mereka untuk rekonsiliasi memang tidak mudah, tetapi selalu dimulai dengan langkah pertama, ke depan. Indonesia? Juga selalu memulai langkah pertama, kedua, ketiga, tetapi ke belakang terus.

Kesiapan untuk rekonsiliasi adalah bukti kemajuan sebuah bangsa yang punya beban berat dan sejarah berdarah di masa lalu. Rekonsiliasi, seperti dipercaya oleh Hannah Arendt (1994), akan menutup “jurang” pemisah dua kelompok-mereka yang sama-sama merasa bukan pelaku dan mereka yang jugsa sama-sama merasa sebagai korban, sebagaimana kita rasakan sekarang. Rekonsiliasi, karenanya menuntut, kemauan untuk duduk bersama, saling mendengarkan.

Yang mau ditekankan juga, keributan soal isu PKI sama sekali tidak produktif untuk zaman dimana generasi saya (millenial, gen Y dan Z) sudah hidup dengan kecanggihan yang melulu memaksa pola pikir dan tindakan untuk maju ke depan. Yang dipikirkan soal bagaimana daya saing bisa lebih dari orang muda negara lain. Apa karya yang bisa dibuat.

Persoalannya, kalau yang disajikan di televisi, media arus utama, media sosial, koran, justru keributan yang tidak perlu, saya terganggu sekaligus muak juga. Meski, sebagian, kebanyakan mahasiswa, ikut-ikutan juga mundur ke belakang. Kasihan!

Konten terkait:

Ingatan Kolektif 1965

Misteri 1965, Cornell Paper, dan Generasi Strawberry

Perlukah Meluruskan Sejarah Tragedi 1965?

Dilarang Berdiskusi Soal 1965

Menjadi Indonesia Pasca-1965

Petrus Richard Sianturi
Petrus Richard Sianturi
Lulusan Seminari Wacana Bhakti, Jakarta, dan Fakultas Hukum Unika Parahyangan, Bandung.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.