Jumat, Maret 29, 2024

Isu 1965: Antara NU dan Muhammadiyah

Munawir Aziz
Munawir Aziz
Peneliti Islam dan kebangsaan yang kini sedang riset di United Kingdom. Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Penulis buku "Gus Dur dan Jaringan Tionghoa Nusantara" (2017).
[ilustrasi]

September baru separuh, namun isu tentang 1965 dan tragedi-tragedi berdarah di sekitarnya, telah beredar kencang. Yang terbaru, insiden di LBH Jakarta, menarik untuk ditelisik sebagai isu panas menjelang 30 September. Insiden pada Minggu (17/09) lalu menjadi penanda, betapa isu 1965 masih sangat sensitif. Sekitar ratusan massa mengepung kantor LBH Jakarta ketika ada pentas seni “AsikAsikAksi”.

Dalam waktu tidak sampai lima jam, datang lebih 1.000 orang dari lintas ormas. Di antara pemicunya, pesan berantai yang tidak akurat informasinya. Orang-orang bergerak mengepung kantor YLBHI/LBH Jakarta, dengan pendulum informasi hoaks yang disebarkan berantai. Semakin larut malam massa semakin beringas meneror peserta aksi seni yang terjebak di dalam gedung LBH Jakarta.

Kawan karib saya, Geger Riyanto, berkali-kali mengirimkan informasi terbaru dari lokasi pada detik-detik massa yang meluapkan amarahnya. Lemparan batu meneror peserta di gedung LBH, dengan teriakan nyaring “bunuh, halal darahnya”. Saya membayangkan, betapa imajinasi masa lampau diputar ulang dalam isu 1965, untuk memberi teror baru terhadap publik.

Imajinasi Tragedi 1965

Insiden yang terjadi di kantor LBH Jakarta merupakan sebentang kisah betapa isu 1965 menjadi peluru politik untuk mencipta kecemasan. “Politik kecemasan” ini sedang dimainkan untuk mencipta kegaduhan, serta dilema bagi pemerintah. Presiden Joko Widodo menjadi sasaran tembak, antar kelompok yang berdiri di garis kiri dan kanan.

Kampanye #DaruratDemokrasi menjadi media untuk mengkritik betapa pemerintah lamban dalam merawat iklim kebebasan. Sementara #daruratPKI muncul sebagai peluru untuk melabeli pemerintah yang tidak cermat, hingga membiarkan PKI era baru muncul. Gelombang isu ini akan semakin kencang, hingga momentum politik 2019.

Namun, bagi saya, yang menjadi penting dari isu 1965 adalah proses rekonsiliasi. Hal ini sudah dimulai oleh Nahdlatul Ulama dan juga Muhammadiyah. Nahdlatul Ulama sejak era Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah membangun jembatan rekonsilasi. Gus Dur sempat mewacanakan pencabutan TAP MPRS XXV/1966 tentang larangan penyebaran paham komunisme di Indonesia. Namun, niatan itu terkendala pelbagai kritik tajam yang menyerang Gus Dur.

Secara pribadi, Gus Dur juga menyampaikan maaf kepada sahabatnya, Pramoedya Ananta Toer, pada 1999. Gus Dur secara tulus memintakan maaf atas nama pribadi dan Nahdlatul Ulama kepada Pramoedya sebagai sosok yang dirugikan pada tragedi 1965.  Dalam narasi hidupnya, Pram terlunta-lunta karena tragedi 1965 merenggut kebebasannya. Naskah-naskah pentingnya diambil paksa aparat, dan ia diseret ke Pulau Buru.

Generasi Nahdliyyin muda pasca-Gus Dur getol membangun jembatan rekonsilasi kultural. Kiai Imam Aziz, senior kami di jaringan Nahdliyyin dan pesantren, menjadi penggerak rekonsiliasi antar kelompok santri dan keluarga PKI. Di beberapa kota, Imam Aziz membangun simpul komunitas untuk membangun komunikasi kultural. Syarikat Indonesia, merupakan komunitas yang dibentuk, sebagai tulang punggung gerakan rekonsiliasi kultural ini.

Dalam sebuah perbincangan pribadi, Kiai Imam Aziz sering menyampaikan pandangannya terkait tragedi 1965. Menurutnya, rekonsiliasi kultural di kalangan Nahdliyyin sudah berjalan, sudah diinisiasi anak-anak muda di berbagai kota. Bahkan, sebagian anak keluarga PKI mendapat beasiswa untuk belajar di pesantren.

Mereka mendapat ruang kasih sayang dan akses pendidikan. “Sekarang, saya sering menghadiri undangan dari keluarga mantan anggota PKI. Untuk apa? Menghadiri pemakaman dan tahlilan, untuk menghormati jenazah. Sudah banyak yang meninggal,” terang Kiai Imam Aziz.

Di kalangan generasi muda NU, isu 1965 menjadi perhatian untuk membangun rekonsilasi kebudayaan. Bahwa, 52 tahun silam, kiai pesantren, Banser, dan warga Nahdliyyin juga menjadi korban di tengah tragedi kemanusiaan setelah peristiwa 30 September 1965.

Lalu, bagaimana dengan Muhammadiyah? Sejauh ini Muhammadiyah juga aktif untuk menjernihkan isu 1965 agar tidak menjadi bola liar politik.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengungkapkan pentingnya proses dialog kembali seperti yang terselenggara dalam Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 pada April 2016 lalu (Tempo, 15 Mei 2016). Pimpinan Pusat Muhammadiyah berharap sejumlah kalangan berbicara tentang masa lampau yang menjadi tragedi, khususnya isu 1965. Tentara Nasional Indonesia, Polri, pemerintah, kalangan legislatif, organisasi masyarakat, dan masyarakat sipil perlu berdialog menjernihkan “kabut gelap” dari isu ini.

Dalam pandangan jauhnya, Haedar Nashir berharap ada konsensus nasional antar elemen bangsa yang ikut memperjuangkan reformasi. Konsensus ini penting agar tidak terjadi anomali dalam perjuangan demokrasi dengan prasyarat kebebasan berekspresi. Konsolidasi antar elemen untuk memperjuangkan prinsip demokrasi, menghormati hak asasi manusia, dan penyesuaian atas nilai-nilai Pancasila menjadi penting.

Sementara itu, sesepuh Muhammadiyah, Buya Ahmad Syafi’i Maarif menganggap isu kebangkitan komunis merupakan sesuatu yang mengada-ada. “Kebangkitan ideologi komunis sekarang ini seperti mimpi di siang bolong,” ungkap Buya Syafii.

Lebih lanjut, Buya menyampaikan fakta beberapa negara yang pernah menjadi tulang punggung komunisme saat ini sudah berubah. China sudah menjadi kapitalis, sedangkan Vietnam juga menuju arah kapitalis. Hanya di Korea Utara komunisme masih menjadi tulang punggung politik militer untuk melanggengkan kediktatoran penguasa.

Dalam renungannya, Buya menganggap bahwa isu 1965 sengaja dilontarkan oleh pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan dalam permainan politik. Beliau melihat insiden di LBH Jakarta sarat dengan nuansa politis. “Bisa jadi, insiden itu dimotori oleh orang-orang yang tidak ingin kasus 1965 terungkap fakta sesungguhnya,” katanya sebagaimana dilansir Sindo (18/09/2017). Pandangan-pandangan jernih Buya Syafi’i Maarif menjadi referensi warga Muhammadiyah dan bangsa ini.

Di tengah gelombang isu yang memecah belah bangsa, NU dan Muhammadiyah harus tetap konsisten menjadi penjaga NKRI. Sebagai tulang punggung bangsa, NU dan Muhammadiyah harus tetap jernih melihat kondisi mutakhir. Isu 1965 haruslah tetap dianalisa secara komprehensif.

Nahdlatul Ulama telah mengawali inisiasi membangun rekonsiliasi kultural. Muhammadiyah juga berperan aktif menjadikan isu 1965 sebagai perekat persatuan bangsa. Jangan sampai kesatuan dan kedamaian warga negeri ini dikoyak peluru informasi palsu dan kepentingan politik oleh sekelompok politisi maupun elite yang rakus kekuasaan.

Kolom terkait:

Bukan Jokowi Yang Harus Minta Maaf

Mengapa Saya Ikut Simposium Tragedi 1965

Palu Arit Pamekasan: Mengenang Mimpi Buruk 65 di Madura

1965 dan Demokrasi Kita

Munawir Aziz
Munawir Aziz
Peneliti Islam dan kebangsaan yang kini sedang riset di United Kingdom. Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Penulis buku "Gus Dur dan Jaringan Tionghoa Nusantara" (2017).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.