Selasa, April 23, 2024

Inspirasi dari Pidato Perpisahan Obama

Ihsan Ali-Fauzi
Ihsan Ali-Fauzi
Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta
U.S. President Barack Obama wipes away tears as he delivers his farewell address in Chicago, Illinois, U.S. January 10, 2017. REUTERS/Jonathan Ernst TPX IMAGES OF THE DAY *** Local Caption *** Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengusap airmatanya saat memberikan pidato perpisahan di Chicago, Illinois, Selasa (10/1). ANTARA FOTO/REUTERS/Jonathan Ernst/djo/17
Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengusap airmatanya saat memberikan pidato perpisahan di Chicago, Illinois, Selasa (10/1). ANTARA FOTO/REUTERS/Jonathan Ernst/djo/17

Presiden Barack Obama adalah satu-satunya presiden Amerika Serikat (AS) yang cukup dekat dengan Indonesia—dulu, sekarang, mungkin selamanya. Berayah-tiri warganegara Indonesia, dia pernah tinggal di Jakarta mengikuti ibunya (1967-1971), belajar di sekolah berbahasa Indonesia, dan sempat mencicipi makanan lokal seperti bakso dan nasi goreng. Dalam memoarnya, Dreams from My Father (1995), dia menyatakan suka tinggal di sini.

Tak heran jika pemilihannya sebagai presiden (untuk dua periode pula) disambut baik di Tanah Air. Data Pew menunjukkan, begitu dia terpilih pada 2008, dukungan rakyat Indonesia untuk AS mencapai 70%, meningkat pesat dari sekitar 30% di tahun-tahun pemerintahan George Bush, pendahulu Obama. Dukungan itu bertahan pada kisaran 50% pada tahun-tahun pemerintahannya.

Dalam diri Obama, kita jadi merasa seperti punya wakil—tapi dengan kekuasaan tertinggi—di Gedung Putih. Kita menyambut besar-besaran kunjungan pertamanya ke Tanah Air pada 2010, sesudah beberapa kali ditunda. Dalam rangka itu, patungnya—dalam postur seorang anak berusia sepuluh tahun—didirikan di Menteng, tempat di mana dia dulu tinggal dan sekolah. Tak heran jika ketika musim pemilu tiba, beberapa calon yang bersaing memasang foto Obama di samping fotonya, di baliho-baliho besar untuk mendulang suara.

Untungnya, “wakil” kita itu, Presiden Obama, memang layak dibanggakan. Ketika meninggalkan Gedung Putih 20 Januari 2017 nanti, dia mungkin akan tercatat sebagai salah satu presiden terbaik dalam sejarah AS.

Obama menjadi salah satu bukti hidup bisa dicapainya apa yang sering dibanggakan rakyat AS sebagai “American Dream”. Ungkapan itu merujuk kepada semacam utopia bersama bahwa semua orang, sebiasa apa pun, bisa mencapai mimpi-mimpinya di negara Paman Sam itu. Pada Obama, yang berkulit hitam dan bisa kita sebut lebih rendah dari rerata rakyat AS, capaian itu menjadi luar biasa: dia presiden kulit hitam pertama!

Tak heran jika hidup dan karir Obama menjadi sumber inspirasi—terutama di AS, tapi juga di dunia. Kebetulan, dia seorang pemimpin yang inspiring, khususnya lewat pidato-pidato yang berisi (karena kuat visinya) dan tampak otentik (karena apa yang disampaikannya tampak realistik dan doable, dimulai dari dirinya sendiri).

Begitu juga dengan pidato perpisahannya sebagai presiden di Chicago, 10 Januari 2017, lalu. Saya ingin mengajak Anda mengambil hanya tiga inspirasi dari sana. Saya tak akan banyak mengutip isi pidatonya: selain agar tulisan ini tetap pendek, Anda juga perlu membaca pidatonya secara lengkap sendiri (transkripsinya ada di mana-mana), agar bisa menikmatinya.

⦁ Demokrasi dan Partisipasi

Bagi saya ini tema pokok pidatonya, mungkin sebagai reaksi atas kegagalan Partai Demokrat memenangkan pemilu AS kemarin, yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kemunduran demokrasi. Meski menyebut beberapa unsur yang menyebabkan kemerosotan itu, Obama menggarisbawahi satu hal pokok: “Our democracy is threatened whenever we take it for granted.” Karena itu, dia mengajak warganegara untuk lebih terlibat dan berpartisipasi dalam kehidupan politik: “All of us should be throwing ourselves into the task of rebuilding our democratic institutions.”

Untuk tujuan akhir ini, Obama mendorong semua warganegara, khususnya anak-anak muda, untuk terlibat dalam organisasi-organisasi sukarelawan, menjadi voluntir: “To organize. To run for office in their own right. To swap social media fights for in-person conversations.” Kalau kalian tidak puas dengan percakapan di media sosial, mengapa tidak bertemu tatap-muka dan memulai sesuatu bersama, ujarnya.

Obama juga mendudukkan Konstitusi AS dalam kerangka ini: “Our constitution is a remarkable, beautiful gift. But it’s really just a piece of parchment. It has no power on its own. We, the people, give it power.” Pesan ini beredar kuat, karena itulah yang persis dilakukannya dulu, di Chicago, ketika memulai karirnya sebagai politisi.

Mendengar Obama mengucapkan kata-kata di atas, di depan 18.000 orang, sebagian besarnya anak-anak muda, saya teringat peran relawan dalam Pemilihan Presiden 2014 lalu. Tapi peran itu sebenarnya harus dijalankan sebagai bagian dari kebiasaan sehari-hari, karena politik jelas lebih luas dari hanya Pilpres atau Pilkada, yang berlangsung hanya pada saat-saat tertentu.

Dan hal itu bisa dimulai dari diri sendiri, misalnya dengan meluangkan waktu sekitar 5-10 menit memanfaatkan medsos, mengingatkan pemerintah bahwa jalan raya atau saluran air di dekat rumah Anda rusak atau mampet. “The personal is political,” kata satu ungkapan Inggris lain yang relevan.

Pesan Obama tentang konstitusi juga mengingatkan kita pada jauhnya jarak antara apa yang diharapkan para pendiri republik ini untuk kita jalankan, dalam kostitusi kita dan Pancasila misalnya, dan apa yang kenyataannya sudah atau sedang kita jalankan. Kebetulan, di hari yang sama, sambil memperingati HUT partai ke-44, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri juga bicara kuat tentang konstitusi kita.

Dalam pidato bertema “Rumah Kebangsaan untuk Indonesia Raya”, dia antara lain menyatakan, “Saya tegaskan kembali … instruksi saya kepada kalian adalah mensejahterakan rakyat, bukan sebaliknya! Kebhinekaan harus disertai dengan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat!” Tapi kita tahu, alih-alih diperkuat dengan keadilan dan kesejahteraan, nilai kebhinnekaan sendiri makin digerogoti hari-hari ini, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, seorang kader PDI-P.

⦁ Keragaman dan solidaritas

Dalam pidatonya, Obama juga mengaitkan demokrasi AS dengan keragaman asal-usul warganegaranya. Seraya menegaskan kembali motto E Pluribus unum (“Dari Banyak, satu”) yang menjadi lambang negara AS, dia menegaskan bahwa keragaman justru menjadi salah satu sumber kekuatan AS, bukan kelemahannya: “Understand, democracy does not require uniformity. Our founders argued. They quarreled. Eventually they compromised. They expected us to do the same.”

Tapi dia juga menambahkan, “But [they knew that] democracy does require a basic sense of solidarity.” Dia memaknai solidaritas sebagai gagasan bahwa “terlepas dari penampilan luar kita yang berbeda, kita semua bersatu di dalam [kesatuan kebangsaan] ini; kita bangkit dan jatuh sebagai satu kesatuan yang sama.”

Dalam konteks inilah dia menolak xenophobia, perasaan anti-asing, yang belakangan gencar dikembangkan dalam kampanye Donald Trump. Karena, dalam faktanya, kata Obama: “America wasn’t weakened by the presence of these newcomers; these newcomers embraced this nation’s creed, and this nation was strengthened.” Untuk alasan yang sama, dia menyatakan pembelaannya terhadap hak hidup kaum Muslim AS: “That’s why I reject discrimination against Muslim Americans, who are just as patriotic as we are.”

yoko-obamaPesan ini sangat relevan dengan situasi politik kita di Tanah Air, yang juga sedang dicirikan oleh meningkatnya intoleransi dan merosotnya solidaritas kepada kalangan minoritas. Apalagi jika diingat bahwa keragaman AS juga sangat serupa dengan keragaman Indonesia.

Pidato Obama mengingatkan saya pada seruan Bung Hatta yang terkenal, bahwa yang kita perlukan sebagai satu bangsa adalah persatuan, bukan persatean. Pada yang pertama, identitas individu atau kelompok diizinkan berkembang sehat, dengan tujuan untuk memperkaya kebersamaan. Pada yang kedua, identitas individu dan kelompok tertentu, terutama minoritas, ingin dibungkam dan diberangus.

Pembelaan Obama terhadap kaum Muslim AS juga harus jadi cermin bagi kaum Muslim di Indonesia, yang merupakan kelompok mayoritas agama. Jika kalian ingin agar saudara seagama kalian memperoleh penghormatan dan penghargaan di tempat-tempat lain, di AS atau Eropa, mengapa kalian tidak menghargai kelompok minoritas agama di sini, di negeri di mana kalian kelompok mayoritas?

⦁ Tidak hitam-putih

Pidato Obama juga mengajarkan saya untuk melihat capaian atau kegagalan, atau apa saja, tidak secara hitam atau putih, berhasil atau gagal, dan dalam jangka pendek saja. Cara pandang seperti ini umum diajarkan di kelas-kelas ilmu sosial yang saya ikuti, tapi betapa sering saya mengabaikan atau melupakannya! Karena cara pandang yang mutlak-mutlakan dan berjangka pendek, saya sering merasa frustrasi, karena apa yang saya kerjakan seperti tak membuahkan hasil apa-apa.

Obama menawarkan cara pandang yang lebih masuk akal, realistis, dan lebih terukur. Katanya, sekadar menyebut satu contoh, meskipun hubungan antar-ras di AS belum mencapai tujuan yang dicita-citakan, tapi hal itu jelas lebih baik kini dibanding sebelumnya: “Now, I’ve lived long enough to know that race relations are better than they were 10, or 20, or 30 years ago, no matter what some folks say. … But we’re not where we need to be. And all of us have more work to do.”

Dalam cara yang membangkitkan kembali optimisme, Obama melihat demokrasi sebagai proses yang panjang dan tak mudah: “The work of democracy has always been hard. It’s always been contentious. Sometimes it’s been bloody. For every two steps forward, it often feels we take one step back.” Dalam perjuangan itu, kadang kita kalah dan kadang kita menang, tapi yang pasti, “We all have to try harder.”

Di ujung pidatonya, Obama terus mengobarkan optimisme, di tengah dugaan gelapnya masa depan politik AS di bawah Donald Trump, yang akan menggantikannya. Dia berjanji akan mulai dari dirinya sendiri, sebagai warganegara biasa (lagi). “Yes we can,” katanya, mengulangi tema kampanye pilpresnya dulu, karena kini dia sudah pernah mencobanya dengan cukup berhasil.

Saya mulanya tak terlalu yakin dengan optimisme di atas. Tapi saya ditegur seorang kawan dekat saya: “Memang pilihan lainnya apa?” katanya, mungkin sambil jengkel.

Obama betul—seperti juga kawan saya itu. Kita lakukan apa yang bisa kita lakukan: sebisanya, sebaik-baiknya. Kita mulai dari diri sendiri, dan kita letakkan semuanya dalam kerangka upaya bersama mencapai yang lebih baik dan berjangka panjang.

Ihsan Ali-Fauzi
Ihsan Ali-Fauzi
Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.