Berbagai mozaik peradaban besar memperkaya wajah kebhinnekaan Indonesia dalam proses berdialog, belajar, dan memberi bentuk kepada pandangan dan budaya peradaban dunia yang hadir di Indonesia.
Karakter kebangsaan terbuka ini pula yang digarisbawahi oleh Ir Sukarno ketika menjawab pertanyaan tentang apa dasar negara Indonesia di hadapan peserta sidang BPUPKI di dalam pidato Pancasila 1 Juni 1945. Bahwa nasionalisme Indonesia harus hidup dalam tamansarinya internasionalisme.
Namun, saat memperingati HUT Kemerdekaan Indonesia yang ke-72, kita berhadapan dengan arus balik menyempit dari sejarah keindonesiaan yang luas dan terbuka. Konstruksi hierarki kolonial yang merawat kebodohan dengan memilah-milah penduduk Nusantara melalui istilah pribumi dan nonpribumi tampil kembali dalam hiruk pikuk politik bagi kepentingan perebutan kuasa dan pertahanan kemakmuran untuk menguasai akses terhadap sumber daya publik.
Baru-baru ini saja kita menyaksikan artikulasi nasionalisme xenophobic muncul ketika sekawanan kelompok masyarakat memprotes terbangunnya Tugu Kongco Kwan Kong di dalam Klenteng di Tuban, Jawa Timur. Alasan mereka: Tionghoa dan segenap khasanah tradisinya adalah tamu bagi warga pribumi di Indonesia. Peristiwa tersebut semakin memperluas daftar peyempitan makna kebangsaan Indonesia.
Anak Semua Bangsa
Riwayat Indonesia modern dalam perjalanan menjadi negara bangsa (nation-state) pada faktanya tidak sesempit persepsi kalangan yang memilah-milah antara pribumi dan non-pribumi. Kaum peranakan Tionghoa, Eropa, dan Arab bukanlah komunitas yang menumpang kos dalam semesta kebangsaan Indonesia. Mereka juga pemilik sah yang turut memberi andil memberikan semen, kayu, dan besi penopang dari Rumah Indonesia. Indonesia dalam riwayatnya adalah anak semua bangsa, seperti dikemukakan Pramoedya Ananta Toer saat dalam pengasingannnya.
Ide tentang nasionalisme radikal, kebangsaan yang meliputi seluruh warga tanpa kecuali, pada awalnya dicetuskan di tanah Nusantara oleh seorang kaum peranakan Indo-Eropa, yakni Ernest Douwes Dekker (Danudirdja Setiabudi) yang bersama-sama dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan Sowardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantoro) mendirikan Indische Partij.
Indische Partij adalah organisasi yang mengabarkan kesetaran dan kebangsaan tanpa diskriminasi. Organisasi yang kemudian membentuk kesadaran politik kebangsaan yang inklusif. Bahkan kita juga tidak dapat mengabaikan bahwa terbukanya wawasan kaum inteligensia penggerak nasionalisme Indonesia berawal dari perjumpaan mereka dengan sekolah pendidikan Barat dan guru-guru dari Eropa yang mengajarkan tentang ideologi sosialisme, kesetaraan, dan kemajuan.
Sumbangan kaum Tionghoa terhadap kemerdekaan Indonesia juga cukup penting menorehkan corak kebangsaan kita. Hong Liu (2011) dalam karyanya, China and The Shaping of Indonesia (1949-1965), mengabarkan fakta bahwa terbitnya media massa diawal abad ke-20 memberikan andil bagi kemunculan nasionalisme Indonesia. Di antara media massa tersebut adalah koran Sin Po, yang diinisiasi oleh jurnalis Liem Koen Hian. Sin Po termasuk koran berbahasa Melayu yang mengawali penggunaan istilah Indonesia dan orang Indonesia.
Tidak hanya itu, bahkan ketika istilah Indonesia sendiri masih subversif di hadapan kuasa kolonial, koran ini pertama kali menerbitkan lirik lagu “Indonesia Raya” yang diperdengarkan pertama kali pada 28 Oktober 1928, yang digubah oleh wartawannya: Wage Rudolf Supratman.
Bahkan seperti diakui Bung Karno dalam naskah Lahirnya Pancasila, bahwa semenjak tahun 1918, nasionalisme tertanam dalam dirinya melalui pengaruh ajaran Bapak Tiongkok Modern Sun Yat Sen dengan ajarannya, San Min Chu I (Tiga Asas Rakyat): demokrasi, nasionalisme, dan sosialisme. Ajaran San Min Chu I yang merupakan prinsip bernegara dari nasionalisme Tiongkok inilah yang merupakan inspirasi utama dari Pancasila
Selain kaum Indo-Eropa dan Tionghoa, peranakan Arab juga terlibat dalam pembentukan kebangsaan Indonesia. Seperti diutarakan Hamid Algadri (1994) dalam Dutch Policy against Islam and Indonesians of Arab Descent in Indonesia, peranakan Arab melalui organisasi Jamiatul Khair membangun relasi ekonomi dan politik dengan organisasi Boedi oetomo dan Sarekat Islam. Bahkan pers awal yang menggerakkan kesadaran berbangsa adalah Medan Prijaji, yang dipimpin Tirtoadisoerjo, dapat berdiri melalui sumbangan para saudagar Arab di Jawa dan Sumatera.
Komitmen kaum Arab terhadap kebangsaan Indonesia semakin diteguhkan dengan pendirian Partai Arab Indonesia (PAI), yang dipelopori oleh AR Baswedan pada tahun 1934. Seperti diakui Ki Hadjar Dewantoro, bahwa pendirian PAI merupakan momen penting bagi pembentukan kebangsaan Indonesia. Dewantoro menegaskan bahwa PAI merupakan organisasi yang memiliki sentimen kebangsaan yang sangat dekat dengan Indische Partij, yang menyuarakan nasionalisme inklusif. Indonesia untuk semua!
Warisan Gelap Feodalisme
Namun demikian, seperti diutarakan oleh sejarahwan Adrian Vickers (2005) dalam A History of Modern Indonesia, berbagai ragam pengaruh dunia dalam pembentukan Indonesia modern tidak berlangsung tenang. Proses pembentukan Indonesia modern juga sarat dengan kontradiksi dan pertarungan antara kekuatan-kekuatan sosial di dalamnya.
Bagi kaum intelegensia modern berpendidikan Barat–seperti terekam dalam novel sejarah Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia–warisan keragaman Indonesia mereka reproduksi untuk menampilkan gagasan-gagasan modern tentang kemajuan dan kesetaraan untuk menarik rakyatnya keluar dari kegelapan warisan feodalisme dan keterbelakangan.
Benturan dan kontradiksi yang terus berlangsung antara pengusung cita-cita Indonesia modern yang setara, maju, dan demokratik melawan warisan gelap feodalisme yang hendak merawat hierarki sosial, keterbelakangan kelas bawah, dan penguasaan sumber daya publik oleh segelintir orang terus berlangsung dalam epos perjalanan Indonesia modern. Dalam sejarahnya, cita-cita demokratik Indonesia harus terpasung seiring kudeta merangkak dari Suharto terhadap pemerintahan rezim Sukarno pada tahun 1965.
Sejak itu, cita-cita Indonesia demokratik yang maju dan setara kehilangan kaki-kaki penopang basis sosialnya. Sementara warisan paham-paham kegelapan berkembang menemukan bentuk aktualnya dalam bentuk hegemoni foedalisme berbalut ideologi resmi Pancasila; militerisme ruang publik, diskriminasi SARA termasuk sentimen pri dan non-pri sebagai pengelolaan sosial, korupsi sebagai mekanisme penguasaan kemakmuran negeri serta instrumentalisasi agama sebagai parit-parit penjaga kekuasaan.
Awan gelap ini agaknya masih membelenggu gerak maju republik melanjutkan proses pembentukan kebangsaan modern. Dalam persimpangan jalan arah republik, kita sendiri yang akan menentukan, apakah kita siap mewarisi cita-cita kebangsaan Indonesia sebagai persilangan anak semua bangsa?
Ataukah menjadi takdir muram negeri ini untuk mewarisi sisi gelap perjalanan sejarahnya menjadi kaum yang terbelakang, membanggakan hierarki sosial dan menjadi katak dalam tempurung dengan kebanggaan memakai atribut kolonial sebagai pribumi dengan diikuti sikap memusuhi yang berbeda dengan stigma non-pribumi!
Baca juga:
Di Indonesia, Tak Ada yang Pribumi!