Kamis, April 18, 2024

How To Get Rid of Ahok

Sulfikar Amir
Sulfikar Amir
Peneliti studi kota dan pengajar sosiologi di Nanyang Technological University, Singapore.
ulil
Ulil Abshar Abdalla

Semuanya dimulai dari cuitan Ulil Abshar Abdalla. Dalam cuitan di akun twitter dia yang memiliki lebih dari 500 ribu pengikut, @Ulil mengatakan dengan sangat keras bahwa Ahok, iya Ahok sang petahana Gubernur DKI yang mulutnya selalu melontarkan komentar-komentar kontroversial yang tidak perlu itu, harus dihilangkan. Ulil menggunakan kata “get rid of him” yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bisa berarti “mengenyahkan” atau “membunuh”. Secara lengkap cuitan Ulil berbunyi:

“Ahok is a BIG liability for our social fabric as a (still) fragile nation. We should get rid of him. Too dangerous.”

Anda yang membaca tulisan ini pasti tahu siapa Ulil Abshar Abdalla. Dia adalah dedengkot Jaringan Islam Liberal (JIL), organisasi yang menyodorkan pemikiran liberalisme untuk melawan arus konservatisme di kalangan Muslim Indonesia. Dengan latar belakang sebagai seorang liberal, jika Ulil benar-benar seorang liberal sejati, maka cuitan dia bersifat kontradiktif terhadap seluruh ideologi liberalisme yang dia percaya dapat membuat masyarakat Indonesia maju dan makmur seperti negara-negara Barat yang sangat dia kagumi.

Bagaimana mungkin seorang liberal yang menghargai hak-hak individu, baik dalam bertindak maupun bersuara, mengancam akan “menghilangkan” orang lain hanya karena dia beranggapan bahwa Ahok “too dangerous” buat bangsa Indonesia yang menurut Ulil masih ringkih.

Ulil akhirnya mengeluarkan serangkaian cuitan untuk mengklarifikasi maksud cuitan dia tentang Ahok. Dan tidak ketinggalan kawan karib Ulil, Akhmad Sahal alias @SahaL_AS pun, memberi penjelasan tambahan untuk membela teman sesama pendiri Jaringan Islam Liberal ini.

Tapi apakah Ulil benar bahwa kita sebaiknya mengenyahkan Ahok karena dia adalah ancaman bagi kerukunan bangsa?

Anda tidak perlu menjadi seorang liberal sejati yang membaca karya-karya John Locke, Adam Smith, atau Friedrich Hayek untuk mengatakan bahwa apa yang dikatakan Ulil itu bisa jadi mengandung unsur kekerasan. Anda juga tidak perlu paham apa yang dikatakan Karl Popper, filsuf yang dikutip @SahaL_AS dalam cuitan dia tentang Ulil, untuk setuju bahwa cuitan Ulil justru menunjukkan sikap yang anti-liberal dan cenderung fasis.

Bagi para anggota fans club Ahok, alias Ahokers, cuitan Ulil adalah bukti sah kemunafikan. Di satu sisi dia mengaku liberal, di sisi lain dia menghalangi kebebasan orang untuk berpendapat dan berpolitik. Bagi para pembenci Ahok, yang kebetulan tidak mempunya fans club, Ulil bisa jadi benar. Mengapa? Ya namanya juga haters, apa pun selalu salah, iya kan.

twit-ulilLalu, bagaimana sikap kita sebaiknya terhadap cuitan Ulil? Sebenarnya itu tidak penting. Ulil pun tahu diri bahwa ketika dia meluncurkan cuitan untuk mengenyahkan Ahok itu, tidak serta merta 500 ribu pengikut dia di twitter akan segera berhamburan ke jalan dan mengejar Ahok untuk menghilangkan nyawanya.

Tapi lepas dari itu, Ulil sebenarnya sudah melakukan apa yang oleh sosiolog disebut sebagai “symbolic violence”, sebuah tindak kekerasan simbolik (Kalau tidak paham istilah ini, silakan tanya @hotradero dan saya yakin dia akan senang memberi kultwit tentang istilah ini… tentunya setelah mengecek di wikipedia).

Tapi Anda jangan salah kaprah. Ahok adalah salah satu pejabat yang juga senantiasa melalukan kekerasan simbolik di publik. Tidak hanya satu dua kali. Tapi berkali-kali. Dan itu dilakukan tanpa tedeng aling-aling, tanpa rasa bersalah, dan tanpa rasa sungkan.

Ada yang mencoba memahami perilaku itu sebagai “inner beauty” dari Ahok. “Lha wong emang begitu dari sononya, mau diapain lagi?” begitu kata mereka yang membela Ahok mati-matian sambil menghujat calon gubernur yang lain. Buat mereka, khususnya para buzzer Ahok yang banyak berkeliaran seantero media sosial, masyarakat harus memahami mulut Ahok. Karena bagaimanapun, Ahok itu bekerja untuk warga Jakarta, bukan mulutnya.

Lihatlah itu Kali Jodo disulap menjadi skate park yang indah (walaupun menyalahi aturan peruntukan ruang). Lagian, Ahok itu, kata mereka lagi, pada dasarnya orang baik. Tiap akhir pekan dia menghadiri pernikahan pegawai pemda lapisan bawah. Coba bayangkan kalau Jokowi yang melakukan itu sebagai presiden dari Sabang sampai Merauke. Bisa-bisa dia tidak kerja karena sibuk mencari baju batik saban Minggu.

Sayangnya, banyak pendukung Ahok yang, kata teman saya, delusional. Dalam arti, mereka tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang palsu. Sama seperti rezim pasca kebenaran Trump yang berkuasa di Amerika Serikat saat ini. Hampir setiap hari para loyalis Trump sibuk mengeluarkan “alternative facts” (fakta kok alternatif?) untuk membela perilaku Trump yang sangat tidak Amerika itu.

Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (kanan) didampingi calon Wakil Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat (kiri) dan tim pemenangannya memberikan keterangan terkait penetapan Ahok sebagai tersangka di Rumah Lembang, Jakarta, Rabu (16/11). Ahok ditetapkan tersangka oleh Bareskrim Polri terkait kasus dugaan penistaan agama. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc/16.Lalu, apakah itu berarti Ahok sama seperti Trump. Tentu saja tidak. Saya sama sekali tidak melihat hal paralel dari kedua figur bermulut besar ini. Setidaknya Ahok tidak menggunakan sentimen rasisme dan Islamofobia atau semacamnya untuk menang dalam pilkada.

Lalu, delusional bagaimana? Maksud saya begini (mohon maaf kalau saya mulai serius, apalagi kalau Anda seorang wota). Dalam khazanah pemikiran sistem tata kelola moderen (bahasa kerennya Modern Governance System), sebuah sistem pemerintahan yang berbasis demokrasi pada dasarnya dikelola melalui tiga jalur utama: struktural, finansial, dan politikal. Struktural berkaitan dengan organisasi dan aransemen kelembagaan, finansial berkaitan dengan pengaturan sumber daya keuangan, dan politikal berhubungan dengan respons masyarakat.

Mungkin Ahok boleh dikatakan cukup berhasil mengelola dua unsur pertama. Dan mau tidak mau harus kita akui bahwa selama memerintah Jakarta sebagai penerus Jokowi, Ahok sudah menunjukkan hasil kerja nyata, baik dalam sistem birokrasi dan administrasi maupun pengelolaan keuangan yang relatif transparan.

Masalahnya adalah seluruh prestasi itu tidak ada maknanya jika unsur ketiga tidak terkelola dengan baik. Bagaimanapun, legitimasi dan efektivitas seorang pemimpim dalam sistem demokrasi sangat ditentukan oleh situasi politik yang sedikit banyak dipengaruhi oleh persepsi publik. Di sinilah letak kelemahan Ahok. Dan fatalnya dia seperti enggan untuk menyadari fakta itu. Kenapa? Dalam teori saya sederhana, dia adalah seorang megalomania yang menganggap hanya dirinya sebagai pusat kebenaran.

Dan kita tahu apa yang terjadi dengan megalomania, bukan? Dia akan tersingkir dengan sendirinya dalam kompetisi politik yang plural dan penuh dinamika khususnya seperti Jakarta. Segala kekisruhan tentang Ahok yang kita saksikan akhir-akhir tidak lain tidak bukan adalah akumulasi dari perilaku Ahok yang merasa benar sendiri. Memang dia meminta maaf setiap kali dia mengucapkan sesuatu yang menyinggung sekelompok orang. Tapi mau sampai berapa kali dia harus melakukan itu dan kemudian meminta maaf lagi? Kata si mantan presiden yang satu itu, “mau tunggu sampai lebaran kuda?”

Pada akhirnya, Ulil tidak perlu bingung untuk mencari cara “how to get rid of Ahok” karena pada dasarnya Ahok sedang melakukan itu untuk dirinya sendiri. Dan kalau itu benar-benar terjadi, saya kira Gubernur Djarot bukan ide yang buruk juga.

Baca juga

Jakarta’s Game of Throne

Sulfikar Amir
Sulfikar Amir
Peneliti studi kota dan pengajar sosiologi di Nanyang Technological University, Singapore.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.