Kolom dengan judul Ilusi Mesias Politik dalam Demokrasi Indonesia yang ditulis oleh Hurriyah beberapa waktu lalu menarik bagi saya, karena berusaha mengupas apa yang disebut sebagai messianism. Konsep dalam diskursus keagamaan yang berisi kepercayaan terhadap datangnya sosok “pembebas” untuk kebaikan umat manusia ini berusaha diadaptasi dalam diskursus ilmu politik melalui fenomena harapan akan datangnya pemimpin besar yang bisa membawa perubahan besar.
Tulisan itu juga menarik karena berusaha mendefinisikan perjuangan untuk membela Ahok ataupun Jokowi di tahun 2014 sebagai messianism. Hal ini dilatarbelakangi oleh sosok pemimpin tersebut yang dirasa memiliki karakter kuat untuk membuat perubahan dari keterpurukan politik yang sudah ada dan menjadi satu-satunya pilihan.
Ada beberapa poin yang ingin saya tanggapi dari tulisan Hurriyah. Beberapa di antaranya saya rasa perlu dikritisi karena berhubungan erat dengan bagaimana cara kita memandang gerakan relawan yang ada di perpolitikan Indonesia saat ini.
Pemimpin Masa Lalu dan Sekarang
Dalam kolomnya, Hurriyah membandingkan fenomena Jokowi dan Ahok di era demokrasi modern dengan sosok-sosok pemimpin di era Revolusi seperti HOS Tjokroaminoto dan Soekarno. Tokoh-tokoh nasional ini dianggap relevan apabila dicitrakan sebagai mesias politik karena perjuangan saat itu adalah melawan penjajahan.
Namun, menurut Hurriyah, menjadikan Jokowi dan Ahok, ataupun pemimpin politik lain, di era demokrasi modern sekarang seagai mesias politik adalah sebuah kesalahan. Argumennya, karena dalam demokrasi modern saat ini kepentingan politik elite sangat dipengaruhi oleh kepentingan oligarkis para pemilik modal dan dinasti-dinasti politik. Alhasil, menurut dia, masyarakat akhirnya hanya akan dikecewakan oleh kinerja yang tidak sejalan dengan janji-janji saat kampanye.
Untuk hal ini, saya sepakat dan tidak sepakat.
Saya sepakat bahwa memang kondisi pada masa pergerakan nasional banyak diisi oleh tokoh-tokoh brilian yang terbilang “bersih” dan hanya memikirkan masa depan Indonesia. Karena itu, mereka sering disebut sebagai negarawan. Sedangkan pada era modern sekarang ini kepentingan ekonomi dan kekuasaan yang eksploitatif sulit menelurkan orang-orang seperti itu.
Akan tetapi, yang luput dari tulisan Hurriyah adalah penilaian secara objektif bahwa pemimpin-pemimpin di masa lalu juga tidak terlepas dari kekecewaan mendalam masyarakat yang dipimpinnya. Soekarno adalah sosok yang pada akhirnya tidak mampu membentuk sebuah kualitas demokrasi yang menjadi cita-cita pendiri bangsa yang lain. Demokrasi Terpimpin yang diciptakannya membuat orang seperti Hatta kecewa dan akhirnya tidak lagi mau berada di kapal yang sama.
Hal itu belum termasuk sisi-sisi kehidupan Presiden pertama kita yang juga menyimpan kekurangan sebagai manusia (baca tulisan-tulisan Soe Hok Gie untuk mendapat gambaran objektif tentang hal itu). Dengan kata lain, yang namanya politisi itu hidup di masa sekarang maupun masa lampau, termasuk Soekarno.
Namun demikian, kebesaran bapak-bapak pendiri bangsa seperti Soekarno bisa dibilang menutupi kekurangan-kekurangan itu di mata masyarakat dan saya pun sangat mengaguminya.
Hal lain yang menjadi argumen Hurriyah adalah bagaimana pemerintah Jokowi perlahan tapi pasti mulai mengalami penurunan kepercayaan dari masyarakat dan ini dijadikan alasan untuk membuktikan kesalahan melihat Jokowi sebagai mesias politik. Bagi saya, pandangan itu cenderung over generalisasi.
Meskipun saya tetap setuju bahwa Jokowi bukan mesias politik, kita tetap perlu secara objektif melihat pencapaian pemerintah. Berbicara data, survei terkait kepercayaan publik kepada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masih dapat dikatakan baik, bahkan meningkat dari awal masa pemerintahan. Dalam hasil survei di tahun 2016, beberapa lembaga seperti CSIS, SMRC, Indikator, ataupun Kompas menempatkan kinerja dua tahun Jokowi-JK masih dalam jalur yang baik.
Survei CSIS pada Agustus 2016 menunjukkan 66,5 persen penduduk puas dengan kinerja Jokowi-JK, meningkat 50,6 persen dari tahun 2015. Hal serupa terjadi di survei SMRC, Indikator, ataupun litbang Kompas pada rentang Agustus-Oktober 2016 yang menunjukkan tingkat kepuasan publik berada di atas 60 persen. Hal ini tidak terlepas dari penilaian positif terhadap ekonomi Indonesia di tengah tekanan kemunduran ekonomi global.
Karena itu, saya ingin mengatakan bahwa tidaklah apple to apple untuk membandingkan kondisi pemimpin kita di era Orde Lama dengan era modern sekarang. Era modern memberikan kita banyak sekali fasilitas untuk bisa memberikan penilaian yang lebih objektif dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebebasan pers dan menyuarakan pendapat juga menjadi ciri khas demokrasi modern yang tentunya justru bagi saya mampu membuat masyarakat lepas dari ilusi Messianism itu sendiri.
Kuatnya fenomena Ratu Adil di masa lampau juga dapat terjadi ketika tingkat pendidikan dan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang belum memadai seperti sekarang ini. Selain itu, kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang jauh berbeda membuat setiap periode pemerintahan menghadapi tantangan yang jauh berbeda.
Hal terpenting adalah masyarakat di era modern saat ini lebih memiliki akses dalam menilai apakah pemimpin mereka berada pada jalur yang benar atau tidak dan ini adalah buah dari demokrasi. Ya, kepentingan oligarkis memang sangat besar dan tidak terjangkau, namun demokrasi adalah sebuah sistem yang justru menciptakan optimisme untuk bisa mengontrol itu dan menciptakan alternatif dalam partisipasi politik.
Adakah Mesias dalam Demokrasi Modern?
Bagi saya, jawabannya adalah tidak ada. Bukan saja dalam demokrasi modern, namun juga di masa lampau. Mencampurkan konsep messiasnism dengan politik memiliki banyak sekali kekurangan. Dibandingkan dengan messianism, saya lebih memilih untuk menggunakan populisme sebagai fenomena politik modern saat ini. Hal ini dikarenakan konsep messianism seakan menjadikan para pemilih sebagai orang yang irasional.
Populisme adalah apa yang sebenarnya terjadi dalam fenomena dukungan terhadap Jokowi, begitu juga dengan Ahok, ataupun lawannya Anies. Konsep populisme jugalah yang menjalar di berbagai belahan dunia yang menggunakan demokrasi sebagai sistem politik mereka. Menggunakan populisme sebagai dasar analisis menjadi penting karena berarti kita menempatkan masyarakat sebagai orang yang sebenarnya memiliki kapasitas untuk memilih secara rasional.
Dari awal, para pemilih tidak mengharapkan mesias, namun manusia biasa yang dengan segala kekurangannya paling mampu memberikan solusi dari masalah yang menjadi masalah di masyarakat. Konsep populisme sendiri tidak bertentangan dengan pemilihan rasional dalam voting behavior. Gejala populisme ini dapat terjadi ketika kepercayaan terhadap institusi demokrasi, seperti partai politik, sangat rendah sehingga masyarakat beralih melihat langsung pemimpin dari sosok personalnya.
Hal yang saya tangkap dari tulisan Hurriyah adalah penilaian bahwa pemilih Jakarta, terutama yang sedang mendukung Ahok, terbilang tidak kritis, terutama dalam konteks bahwa semua pemimpin pasti akan mengakomodasi kepentingan oligarkis. Lebih jauh lagi, ia menilai para pendukung Ahok saat ini (sangat mungkin yang lain juga, namun dari kolom Hurriyah hanya menyinggung Ahok) dengan berbagai puja-pujian yang dilontarkan hanya akan membuat mereka irasional.
Penilaian yang sangat subjektif itu tidak adil untuk disematkan kepada mereka yang secara sukarela mendukung Ahok atau yang masuk dalam gerakan Teman Ahok. Mencitrakan kelompok ini sebagai orang yang secara irasional melihat Ahok sebagai mesias politik justru menurut saya tidak tepat. Mereka justru tidak berada dalam ilusi, melainkan ada di dalam rasionalitas mereka sendiri dalam memilih pemimpin.
Menurut saya, gerakan partisipasi politik yang aktif dalam bentuk relawan adalah sebuah langkah maju dari demokrasi kita, karena itu patut diapresiasi. Para relawan justru bisa keluar dari berbagai kepentingan dan bias elite untuk kemudian secara personal dan komunal berpartisipasi dalam politik. Pemilu hanyalah bentuk partisipasi minimal bagi seorang warga negara. Ketika ada usaha untuk berbuat lebih, maka ada alasan kuat untuk memberikan pengorbanan itu.
Gerakan relawan yang independen sendiri juga memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan kekuatan oligarkis. Dalam artikel saya di The Jakarta Post (11/10/2016) berjudul Local Elections: Balancing Political Party Bossism, saya telah menuturkan bahwa gerakan relawan adalah cara untuk mengimbangi kepentingan politik elite dalam memilih calon pemimpin di daerah maupun nasional.
Gerakan relawan dengan sendirinya akan menjadi anjing penjaga (watch dog) bagi pemimpin yang mereka pilih dan itu semakin menguatkan relasi representasi politik antara yang terpilih dengan konstituennya. Catatan khususnya, gerakan relawan sendiri adalah sebuah bentuk kritik kritis terhadap kondisi politik kita saat ini.
Sebagai penutup, ada baiknya kita memaknai kata-kata Pramoedya Ananta Toer: “seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.” Sikap ini saya rasa penting untuk dimaknai dalam situasi politik kita saat ini. Seluruh pemimpin hanyalah orang biasa yang sedikit banyak memiliki kekurangan. Yang terpenting adalah bagaimana kita berdebat dan mendiskusikan kekurangan dan kelebihan masing-masing secara rasional.
Catatan:
Saya tidak tergabung dalam gerakan relawan mana pun. Ibu Hurriyah sendiri sangat saya hormati dan merupakan dosen saya saat masih di universitas. Bagi saya, perbedaan pendapat itu baik dalam diskusi berbasis keilmuan.