Fahri Hamzah kembali memenangi perseteruan melawan Partai Keadilan Sejehtera (PKS) setelah upaya banding dikabulkan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta pada Kamis (14/12/17). Tak hanya menang banding, PKS juga tetap diharuskan membayar denda Rp 30 miliar. Gugatan Rp 30 miliar itu dikabulkan karena majelis menganggap apa yang dialami Fahri setelah dipecat sangat berat. Disebutkan kalau Fahri mengalami tekanan psikologis akibat pemecatan tersebut.
Kemenangan kali ini merupakan kali kedua bagi Fahri. Sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memenangkan sebagian gugatan Fahri Hamzah terhadap DPP PKS dalam Nomor Perkara 214/Pdt.G/2016/PN JKT.SEL pada 14 Desember 2016. Dalam amar putusan tersebut, majelis hakim memerintahkan PKS agar membayar ganti rugi imateril sebesar Rp 30 miliar.
Menang dua kali, sesumbar Fahri tentu semakin menjadi-jadi. Melalui akun twitternya, @Fahrihamzah, ia berkomentar yang disinyalir ditujukan untuk PKS. Ia ngomong soal partai citarasa club bola. Begini sebagian cuitannya, “Sekarang ini menceraikan isteri saja gak boleh sepihak. Apalagi memecat kader. Masak DPR dianggap sebagai klub sepak bola.”
Ia juga menyinggung soal hak imunitas DPR, “UUD 1945 memberi imunitas kepada anggota DPR untuk mewakili suara rakyat. Tapi ahli hukum tata negara menganggap imunitas itu tunduk kepada sikap partai.”
Posisi Fahri bagi PKS memang serba membingungkan dan mbulet. Mau dirawat kok menggigit, ingin dibuang kok sulit. Mengapa sulit? Karena diam-diam si Fahri ini juga menunjukkan kesaktiannya, meski belum seampuh Setya Novanto yang berkali-kali lolos jeratan hukum. Terbukti sudah dua kali memenangkan banding, PKS tentu saja semakin risih dibuatnya.
Di mata PKS, Fahri tak ubahnya seperti Jose Mourinho, manajer sepakbola asal Portugal. Selama karir kepelatihannya, Mourinho dikenal sebagai manajer dengan “mulut besar” karena kerap melontarkan pendapat yang menyerang musuhnya. Seperti ketika Chelsea kalah 1-2 dari Barcelona pada ajang Liga Champions tahun 2006, Mourinho menuding pelatih Barcelona, Frank Rijkaard, bertemu dengan wasit Anders Frisk setelah babak pertama sehingga Didier Drogba menerima kartu merah. Akibatnya ulahnya, Mourinho dijatuhi hukuman denda 8.900 pounds dan larangan mendampingi Chelsea sebanyak dua pertandingan.
Selain bermulut besar, Mourinho juga kerap melakukan tindakan kontroversial dan sering melancarkan psywar atau perang urat syaraf kepada lawan mainnya. Ia bahkan kerap sesumbar yang kelewat batas ketika klub yang dibelanya menang. Sampai-sampai melabeli dirinya dengan “The Special One”.
Soal label “mulut besar” yang diberikan kepada Mourinho, ini beda-beda tipis sama Fahri. Atau malah sama saja sih. Ingat saat Fahri Hamzah mengatakan bahwa banyak anggota DPR “rada-rada beloon” saat wawancara di televisi terkait pembangunan gedung baru DPR pada 2015 silam? Ia bahkan mengatakan bahwa dalam tradisi demokrasi, otak anggota Dewan harus diperkuat. Sebab, anggota DPR dipilih rakyat bukan karena kecerdasannya, melainkan karena rakyat suka. Sontak saja komentar ini bikin geger sesama anggota DPR.
Ulah mulut Fahri ini kemudian berbuntut teguran dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Wakil Ketua DPR ini dinilai melanggar kode etik ringan. Tentu saja ini membuat PKS semakin gerah. Apalagi sebelumnya, kinerja Fahri juga mendapat sorotan Badan Penegak Disiplin Organisasi (BPDO) PKS. Badan ini menerima laporan beberapa kader PKS soal sikap Fahri yang dinilai cenderung membela politisi Partai Golkar Setya Novanto selama tersandung kasus ‘Papa minta saham’. Fahri kemudian dituntut mundur dari PKS.
Apa sikap Fahri saat itu? Dia bilang BPDO tak punya hak untuk mengevaluasi kinerja pejabat publik. Sebab, menurut Fahri, badan ini bertugas menyelenggarakan penegakan disiplin organisasi dan melakukan pemeriksaan terhadap anggota yang diduga melanggar peraturan partai. Ia juga mengatakan tidak pernah menerima surat apa pun dari kader PKS yang menginginkan agar dirinya mundur dari jabatannya.
Adu mulut yang menohok, bukan? Sama seperti Mourinho yang terlibat ketegangan dengan klub yang dibelanya sendiri, yakni Real Madrid, pada tahun 2011. Saat itu dikabarkan Presiden Madrid Florentino Perez mulai tak suka dengan aksi “jual omongan” Mourinho. Perez mengkritik Mourinho yang mengumbar kata kepada media soal rencana memboyong striker baru.
Polemik Fahri kemudian berujung pemecatan oleh PKS. Majelis Tahkim PKS pada 11 Maret 2016 memutuskan memecat Fahri dari seluruh jenjang jabatan di kepartaian. SK DPP terkait keputusan Majelis Tahkim tersebut ditandatangani Presiden PKS Sohibul Iman Pada 1 April 2016. Tak sampai di situ, PKS juga mendesak agar DPR mengganti Fahri sebagai Wakil Ketua DPR.
Apakah Fahri diam? Oh tidak! Dipecat oleh partainya sendiri, Fahri melawan melalui jalur hukum. Hasilnya seperti saat ini, Fahri masih menang 2 : 0 melawan PKS di pengadilan. Fahri bahkan menutut PKS membayar denda Rp 30 milar. Angka yang cukup fantastis tentunya. Ini setali dengan kisah Mourinho saat dipecat Madrid pada 2013 silam. Dikabarkan Madrid dituntut membayar 10 juta euro atau setara Rp 130 miliar sebagai kompensasi pemecatan di tengah jalan lantaran kontrak Mourinho sampai tahun 2016.
Saat ini PKS kabarnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Di sanalah akan ditentukan babak selanjutnya. Akankah PKS menang atau kembali berduka? Kita lihat saja nanti perkembangannya. Tapi yang jelas, kita berharap kisruh Fahri vs PKS ini tidak menggganggu stabilitas nasional. Apalagi posisi Fahri masih sebagai Wakil Ketua DPR.
DPR sendiri sedang goyang setelah ketuanya, Setya Novanto, jadi pesakitan KPK sampai hari ini. Maka, jangan sampai kisruh ini semakin membuat suram situasi bangsa.
Kolom terkait:
Ahok, Fahri Hamzah, dan PKS: Antara Moral dan Citra
Setelah Tsamara Membedah Fahri Hamzah