Jumat, Maret 29, 2024

Euro 2016, Manuel Neuer, dan Teman Ahok

Fini Rubianti
Fini Rubianti
Tim riset dan program di Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta.
buffon
Penjaga gawang Italia Gianluigi Buffon (kanan) menyalami Manuel Neuer (kiri) usai Jerman mengalahkan Italia, 6-5, lewat adu pinalti. AFP Photo/Vincenzo Pinto

Sekurang-kurangnya ada tiga hal “menguntungkan” yang bisa dinikmati pecinta sepak bola tanah air dari perhelatan Euro 2016 di Prancis kali ini. Pertama, Euro menjadi alternatif teman sahur yang asik, dibanding menonton drama picisan, atau acara lawak-sarkasme yang setengah hati, pun dengan jajaran artis yang itu-itu saja.

Kedua, Euro 2016 menjanjikan sebuah angin segar bagi peluang munculnya juara baru dengan format tim yang lebih besar, 24 negara. Kita sudah saksikan, beberapa tim awalnya digadang-gadang mampu menampilkan sepak bola yang apik, tetapi sayang harus terpaksa duluan mudik.

Rusia yang dulu lekat dengan pesona Arshavinnya, Ceko dengan kegemilangan Milan Barosnya, atau Turki dengan keistiqamahan Hakan Sukurnya, justru menjadi tim-tim yang pertama kali harus angkat koper di babak penyisihan.

Generasi mereka telah berganti. Kita malah silau dengan permainan gemilang Wales, yang mampu membalik keadaan dengan memupuk skor 3-1 ketika berhadapan dengan skuad Belgia. Atau Islandia yang terpaksa harus memaksa Inggris exit untuk kedua kalinya (setelah Brexit dari Uni Eropa).

Terakhir, entah sengaja entah tidak, perhelatan sepak bola seolah menyusup ke dalam wacana dominan publik, menyalip tensi-tensi sosial politik yang tengah marak di Indonesia. Ini bukan pertama kalinya fokus politik Indonesia terdistraksi oleh perhelatan ajang sepak bola. Tahun 2004 silam, konstelasi politik justru menyajikan tensi yang lebih panas karena final Euro 2004 hanya selang satu hari sebelum pemilu presiden putaran pertama. Tak pelak, banyak publik kala itu kerap bercanda bahwa “Euro 2004 lebih dinanti ketimbang pemilu presiden.”

Tahun 2014 juga menyajikan fenomena yang kurang lebih sama, pemilihan umum langsung dengan vis-a-vis Jokowi-Jusuf Kalla akan berhadapan dengan Prabowo-Hatta di 9 Juli 2014 lalu. Ajang piala dunia yang kerap lebih awal dihelat menghadirkan sebuah warna-warna pemberitaan media, di samping mengandung politik gonjang-ganjing, juga tersaji sebuah keriaan sepak bola.

Debat kandidat capres-cawapres kala itu berlangsung sengit. Media sosial ramai, netizen saling memenangkan pasangan mereka. Yang paling saya ingat kala itu, digelar pula pertandingan Jerman vs Brasil dengan skor dramatis, 7-1. Otomatis, tim asuhan Joachim Loew turut dihubung-hubungkan dengan peluang kemenangan pasangan Jokowi dan JK. Sempat ada sebuah plesetan yang pernah dibuat netizen: Jerman vs Brasil = 7OKOW1 (baca: Jokowi).

Saya tebalkan angka 7 dan 1 yang ditandai sebagai kemenangan bagi Der Panzer, maka kemenangan selanjutnya pula bagi pasangan Jokowi-JK di pemilu 2014.

Jika sepak bola adalah sebuah metafor, maka ia merupakan antitetis dari fanatisme. Sebagaimana diungkap oleh Umberto Eco, dalam novelnya Il nome della Rosa: “ada untuk membuat orang menertawakan kebenaran”.

Politik domestik yang sudah kelewat percaya diri, kemudian dilenturkan oleh wacana ajang pertandingan sepak bola. Tak pelak, ketika media tengah panas-panasnya memberitakan sebuah kontestasi elite, sepak bola hadir untuk memadamkannya. Pemberitaan menjadi lebih beragam, khususnya sehabis laga Jerman vs Italia berlangsung selama hampir tiga jam.

Jerman vs Italia
Bagi kawan-kawan yang menonton pertandingan Jerman vs Italia dini hari kemarin, pasti sepakat bahwa laga tersebut adalah sesi paling dramatis sejauh Euro 2016 dihelat. Jerman vs Italia di partai ini memang bukan hanya soal siapa tim yang akan melaju ke babak semi final. Lebih dari itu, ia merupakan sebuah pertandingan heroik sekaligus historik.

Dilansir dari beberapa referensi, kedua tim memang telah bertemu sebanyak 33 kali, dengan kemenangan lebih unggul sebanyak 15 partai oleh Gli Azzurri. Secara teoritis sistem permainan kedua tim memang sedikit berbeda. Jerman adalah bentukan dengan pola permainan tim yang solid, cenderung tidak menonjolkan kapasitas personal, sehingga gol-gol yang dihasilkan sebagian besar berasal dari finishing dan akurasi yang baik, biasanya dari sayap kanan atau kiri untuk dieksekusi dengan sundulan.

Berbeda dengan Italia, selain unggul dalam hal pertahanan, tim yang tengah diasuh Conte kerap memiliki mental eksekutor yang andal. Mereka mengandalkan kerapatan di lini tengah dan belakang. Jika dirasa perlu, beberapa punggawa akan bergerak maju, melewati pertahanan lawan dan tidak takut head to head dengan kiper.

Di satu sisi, inilah yang kemudian, menurut saya pribadi, seringkali menjadi kekurangan sekaligus kelebihan Jerman. Tim asuhan Loew hadir dengan semangat tim yang kapabilitas pemainnya kurang lebih sama. Alhasil, Jerman hampir stabil lolos dari mulai babak penyisihan, semi final hingga final. Namun, kegemilangan ini kerap dikalahkan jika harus berhadapan dengan skuad-skuad terbaik lawan, misalnya Fabio Grosso atau Mario Balotelli yang secara berani pernah menampilkan akurasi tendangan kekuatan penuh.

Siapa sangka, Euro 2016 menorehkan sejarah baru. Selain karena Jerman berhasil mencetak gol terlebih dahulu, Der Panzer akhirnya menang setelah drama adu penalti terpanjang dengan skor akhir 6-5. Di menit-menit awal, kita pasti bertanya-tanya siapakah algojo yang disiapkan oleh Jerman dalam menghadapi fase ini. Maklum, secara teori dan kalkulasi hitam di atas putih, Italia banyak menyimpan kualitas pemain mumpuni yang kekuatan tendangannya jauh lebih baik.

Yang tentu menjadi sorotan, laga ini juga merupakan penegasan atas eksistensi Neuer dan Buffon. Dilihat secara gamblang, Buffon nampaknya jauh lebih berpengalaman dalam mengeksekusi sebuah tendangan. Berbeda dengan Neuer yang meski performanya sangat gemilang, tetapi masih terbilang jarang untuk langsung menghalau sebuah tendangan penalti. Hampir tak ada yang menyangka, Jerman akhirnya unggul satu poin atas penalti dari Italia.

Meski diakui, tendangan demi tendangan yang dilontarkan Jerman memang tidak sepenuhnya profesional. Kegagalan justru datang dari eksekutor yang biasanya menjebol gawang lawan semisal Ozil, Muller, bahkan Schweinsteiger.

Di pihak Italia, juga menunjukkan pola yang kurang lebih sama. Simone Zaza yang dimainkan di menit-menit akhir, dengan performa prima, justru menghasilkan tendangan yang melebar (walau diawali dengan intro beberapa detik yang terkesan lihai). Hal serupa ditampilkan oleh Graziano Pelle, tendangannya sedikit melebar and Neuer would have saved it anyway!

Neuer yang Bermanuver dan Teman Ahok yang Menohok
Melihat partai Jerman vs Italia di Euro 2016, kiranya tidak berlebihan jika Manuel Neuer ditempatkan sebagai man of the match laga itu. Secara empiris dan rasional, awalnya Gianluigi Buffon tampak mampu melewati laga penalti dengan baik. Realitas berkata lain, Neuer justru mampu menghalau tendangan dari Leonardo Bonucci dan Matteo Darmian. Buffon yang digadang-gadang lebih tangguh dalam babak ini, akhirnya harus rela melewati kekalahan setelah Jonas Hector memastikan kemenangan Jerman.

Sekali lagi, sama pula dengan konstelasi politik tahun 2004 atau 2014, sepak bola menyalip ke dalam wacana politik. Saya melihat spirit Neuer juga turut merepresentasikan wajah politik Indonesia yang tengah gandrung akhir-akhir ini. Neuer mampu menunjukkan progresivitasnya.

Di awal laga penalti, saya kira Neuer terlihat sedikit canggung dan terkesan gugup. Namun siapa sangka dua tendangan eksekutor terbaik milik Italia berhasil dihalau kiper berusia 30 tahun itu, delapan tahun lebih muda dari Buffon. Sama halnya dengan politik domestik kita, semangat Neuer juga relevan dengan kemunculan kelompok epistemik—Teman Ahok—untuk memenangkan calon gubernur Basuki Tjahaja Purnama di putaran Pemilihan Kepala Daerah Jakarta 2017 mendatang.

teman-ahokBaik Neuer dan Teman Ahok sama-sama menunjukkan eksistensinya bahwa kaum muda mampu tampil sebagai bintang. Sebelum laga, Neuer yang terbilang lebih muda dari Buffon juga diprediksi tidak terlalu settle untuk menghadapi laga yang sengit ini.

Selain itu, pertandingan Italia vs Jerman di tahun 2012 pernah “memaksa” ia untuk maju melewati kotak penalti, ikut bermain di lini tengah menyerang Italia ketika posisi Jerman telah terdesak. Kini, Neuer muda akhirnya belajar dari kesalahan. Ia mampu menyajikan perfoma yang lebih stabil dan tidak emosional.

Senada dengan Teman Ahok, sekelompok anak muda kreatif ini juga belajar dari sejarah perpolitikan yang lebih pantas disebut—meminjam buku karya Kuskridho Ambardi—sebagai Politik Kartel. Indeks korupsi partai politik yang tinggi, ketidakseriusan kinerja dan faktor lainnya turut membentuk sebuah gerakan politik non-partai untuk mengumpulkan satu juta KTP sebagai bentuk syarat sekaligus legitimasi Ahok melenggang ke pemilihan gubernur mendatang.

Jika Neuer mampu mematahkan opini publik yang sebelumnya menganggap dirinya tidak lebih expert dari Buffon, maka Teman Ahok pun mampu menunjukkan kapasitasnya meraih dukungan satu juta rakyat melalui KTP, dibanding manuver dan tekanan sejumlah elite politik yang usianya tidak muda lagi.

Jika Bonucci berhasil membuahkan penalti di laga 90 menit permainan, manuver sang kiper Der Panzer langsung menyamber tendangan algojo itu di laga penalti ke-5 Italia vs Jerman Sesaat, Neuer tampak belajar dari kesalahannya. Tendangan Benucci langsung terbaca dan gagal membuahkan gol!

Kiranya bentuk kemunculan Teman Ahok juga merupakan manifestasi dari sejarah. Elite politik kita tak dapat berkilah, relawan Ahok adalah mereka kaum muda yang belajar dari pilgub atau pemilu sebelumnya. Mereka tidak ingin sejarah kelam terulang. Setidak-tidaknya, calon yang sudah memberikan hasil kerja jelas patut didukung.

Akhirnya, saya ucapkan selamat kepada Neuer dan semangat kepada Teman Ahok. Mereka yang sama-sama muda dan tengah berjuang di bidangnya tak perlu takut akan mitos, tekanan publik atau sejarah kelam.

Dari Manuel Neuer, kita belajar akan pentingnya sebuah keyakinan, melawan egoisme tim yang sudah banjir kartu kuning di menit-menit awal pertandingan. Dari Teman Ahok, kita pun belajar, melawan sebuah dominasi egoisme para elite politik yang sudah keteteran dan tidak henti-hentinya menekan.

Fini Rubianti
Fini Rubianti
Tim riset dan program di Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.