Rabu, Oktober 16, 2024

Dramaturgi Politisi Kita dan Hukum Setegak Tiang Listrik

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.

Kisah politisi kita barangkali persis seperti kisah-kisah dalam drama sinetron. Tiap episode menampilkan wajah-wajah yang berbeda dengan suguhan kisah yang berbeda pula. Seperti sekarang ini, baik di koran dan televisi, wajah salah satu tokoh itu tidak ada habisnya disorot awak media. Ia ibarat tokoh utama yang memiliki kekuatan, yang mampu membalikkan semua keadaan di luar batas pemikiran manusia biasa.

Tokoh kontroversial: Dia yang tak bisa disebut namanya selalu membikin kita geleng-geleng kepala. Segala tuduhan serta kesalahan yang ada padanya runtuh begitu saja di hadapan hukum. Sebut saja kasus megakorupsi E-KTP yang menyeret namanya tidak juga membuatnya menyerah di meja hukum. Bahkan, pernah meruntuhkan tuduhan lembaga antirasuah itu di praperadilan. Luar biasa, bukan?

Tanpa sadar, ia telah memainkan peran yang signifikan dalam membuat kisah-kisah apik dalam bungkus yang berbeda. Dari episode ke episode yang membuat euforia rakyat turut ikut serta meramaikan suasana. Ia pun tak luput dari bulan-bulanan cacian, cemoohan, dan kritik rakyat di media sosial.

Pelbagai kritik telah ditampilkan para netizen, lewat meme, quote, hingga tulisan-tulisan yang setiap kali terbaca di beranda media sosial. Ini bentuk kekecewaan sekaligus kegeraman rakyat terhadap wakil rakyat yang setiap hari membuat bualan-bualan tak bermutu tanpa bekerja melayani rakyat. Seakan rakyat tidak percaya lagi dengan bahasa-bahasa palsu yang kerapkali mereka tampilkan di pelbagai media.

Bangsa ini telah jengah dengan drama yang ditampilkan para politisi kita. Anda bisa lihat sendiri, kehidupan konstelasi politik kita. Tidak ada politik tanpa kepentingan. Dan, dalam politik tidak ada yang gratis. Semua adalah kepentingan semata. Persoalannya adalah kepentingan seperti apa yang hendak diraih? Apakah politik kepentingan pribadi semata atau untuk kepentingan orang banyak?

Coba lihat politisi yang terjebak dalam ilusi politik. Pertemanan alot tadinya punya prinsip yang sama, tapi karena kepentingan, akhirnya berseberangan. Adu debat di televisi kayak anak TK yang sibuk memperebutkan mainannya. Ada yang ingin kedudukan, jabatan, uang demi perut sejengkal itu. Segila-gilanya mencecar lawan dengan kalimat-kalimat pedas. Membabi buta tanpa ada rasa malu. Entah. Mungkin rasa malunya sudah hilang. Nah itulah kalau nalar politik sudah tidak sehat. Berpolitik butuh pikiran sehat. Kalau tidak, bisa gila.

Ada lagi, politisi dan pengacara yang mati-matian membela teman klien dan sejawatnya padahal sudah terbukti korup dan diseret ke pengadilan. Lelucon demi lelucon ditampilkan di hadapan sorot awak media. Politisi yang tertangkap tangan menerima suap, gratifikasi, kasus pencucian uang, dan lain-lain. Tak mengapa, sepanjang masih bisa muncul di televisi dan disorot awak media tidak jadi soal.

Sudah tidak tahu malu. Sudah hilang urat malunya. Masih tersenyum sumringah dengan baju tahanan ketika diliput media. Senyum sambil dadah bak pahlawan yang dielu-elukan. Nah, kalau yang ini benar-benar kehilangan akal sehatnya.

Pada prinsipnya, manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu, ada adagium “Ubi societas ibi ius” (di mana ada masyarakat di situ ada hukum). Artinya, setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan bersifat sebagai “semen perekat”, yaitu hukum.

Tetapi, ada betulnya juga, hukum dibuat untuk dilanggar. Manusia seperti mengkhianati hukum yang telah dibuatnya. Mulai dari masyakat kelas bawah hingga penguasa yang duduk di singgasana melanggar hukum. Tidak lupa, wakil rakyat sebagai lembaga/institusi pembuat produk hukum juga ikut melanggarnya.

Rakyat tentu menginginkan agar hukum ditegakkan. Tegak setegak tiang listrik. Tidak goyah sedikit pun. Tidak memandang ia siapa. Hukum harus mengatur serta mengadili pelanggar hukum, tidak peduli apa latarbelakangnya. Jika nenek mencuri kayu bakar bisa dihukum, politisi pun harus bisa disentuh hukum. Hukum tidak main hakim sendiri, sebagaimana sepasang remaja dipersekusi dan ditelanjangi massa di keramaian orang, pelaku pun harus ditelanjangi atas nama hukum. Lagi-lagi, hukum tak boleh berat sebelah. Ia harus seimbang.

Tetapi, jika hukum hanya dipermainkan demi kepentingan elite semata, maka hilanglah letak keadilan yang ada pada hukum itu sendiri. Saya teringat dengan kritik Bentrand Russell dalam bukunya, Education and Social Order. Dikisahkan bahwa pada suatu ketika di sekolahnya, Russell mendapati seorang anak kelas menegah memperlakukan secara tidak adil seorang anak kecil yang tidak sekelas dengannya. Lalu Russell menegurnya, tapi dia berkata, “orang–orang besar memukul saya, maka saya memukul para bayi. Itulah keadilan!”

Inilah gambaran sejarah hidup manusia, ketika yang kuat dan yang berkuasa menindas yang lemah dan yang tidak berkuasa; yang kaya memperdaya yang miskin. Melihat kenyataan yang demikian, rupanya Russell tidak merasa pesimistis terhadap kodrat manusia di mana yang kuat berlaku seenaknya terhadap yang lemah.

Russell yakin bahwa manusia pada kodratnya memilki sikap altruistik (sikap mementingkan orang lain) dan sikap egoistik (sikap mementingkan diri sendiri). Sehingga manusia hanya melakukan sesuatu yang baik dan menguntungkan bagi yang dicintai tetapi juga mengejar sesuatu yang mengandung dan memiliki nilai-nilai kebenaran dan kebaikan umum.

Walaupun demikian, manusia tetap perlu diakui bahwa dalam kehidupan bersama ada satu faktor yang secara prinsipil mengontrol tindakan dan perbuatan manusia dalam relasi sosial dengan sesamanya, yakni “nafsu menguasai”. Maka, Russell terang-terangan mengatakan bahwa seluruh organisasi dalam dunia perpolitikan memiliki satu basis yang satu dan yang sama, yakni kekuasaan.

Melihat akibat-akibat ini, Russell berjuang untuk menghapusnya dari muka bumi ini, sebab sistem ini merupakan satu penyakit yang menghalang-halangi kesejahteraan seluruh manusia. Ia memberi kebebasan kepada setiap individu dan justru ini yang ditantang oleh Russell dan dikritik habis-habisan. Karena jika sistem ini tetap ada dan merajalela di jagat ini, maka kesejahteraan dan kebebasan hanya dimiliki oleh kaum penguasa.

Agar kebebasan dan kesejahteraan itu dinikmati dan dimiliki banyak orang, Russell menginginkan satu sistem pemerintahan yang bersifat demokrasi sebagai yang dianut oleh rakyat. Satu sistem pemerintahan yang bersifat merayat, dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, sehingga rakyat sebagai pemegang kendali kekuasaan. Jika rakyat bebas memilih dan memutuskan segala sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri.

Di sisi lain, Russelll bertujuan untuk menciptakan satu dunia yang damai, aman, dan tentram di mana semua orang yang tinggal didalamnya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Saya bersepakat dengannya bahwa “Our great democracies still tend to think a stupid man is more likely to be honest than a clever man, and our politicians take advantage of this prejudice by pretending to be even more stupid than nature made them.”

Hari-hari yang telah kita lewati sampai sekarang ini, sebagaimana dengan kisah-kisah para politisi yang mengkhianati hukum dan keadilan, adalah bagian kecil dari kehidupan yang tidak terpisahkan. Manusia dan hukum akan tetap ada, sebagaimana politisi dan segala leluconnya. Sebagai penutup, Patrick Rothfuss pernah bilang “power is okay, and stupidity is usually harmless. Power and stupidity together are dangerous.”

Kolom terkait:

Setya Novanto dan 3 Kir (Mangkir, Mungkir, Terjungkir)

Setnov dan Meme Berujung Pidana

Kesaktian Setnov, Kerapuhan Pancasila

Papa Setnov, Jack Sparrow, dan Patah Hati KPK

Kebiadaban Korupsi KTP Elektronik

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.