Sabtu, April 20, 2024

DPR Kita, Makin Sakti Makin Sakit

Maman Suratman
Maman Suratman
Mahasiswa Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Tahu kau bedanya pendekar dengan DPR? Pendekar itu makin lengkap ilmu yang ia miliki dan kuasai, kebal, dan sakti mandraguna, maka orang akan makin segan dan hormat padanya. Sementara DPR, makin ia mengupayakan kesaktian untuk anggota atau lembaganya, maka yang didapatnya justru adalah penyakit.

Alih-alih hanya sakti, disahkannya revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) justru membuat lembaga negara paling korup ini makin sakit. Kesaktian mereka, meski baru sebatas pengupayaan, beralih jadi penyakit yang entah mereka sadari atau tidak.

Sejak revisi UU MD3 dihembuskan pada 12 Februari 2018, beragam respons publik terus tumbuh. Persis sebagaimana yang sudah-sudah, bukannya simpati atau dukungan, tindak-tanduk yang mereka cipta malah menelurkan kecaman bersimpul protes. Makin hari bentuk kecaman dan protes itu makin deras dan keras. Semuanya berbiak seperti jamur di musim penghujan saja.

Respons dari mantan Menko Maritim RI, Rizal Ramli, misalnya. Ia nilai upaya wakil rakyat yang mengesahkan revisi UU MD3 itu tak ubah seperti kacang yang lupa kulitnya. Yang fatal, baginya, upayanya itu malah menunjukkan potensi pengembalian Indonesia ke alam gelap penuh kekolotan.

“Masa mau bikin siapa yang ngritik anggota DPR ditangkap? Kalian ada di situ karena demokratisasi. Masa mau kembalikan zaman purbakala Indonesia?” tegas Rizal dalam salah satu sesi wawancaranya di media televisi.

Mungkin memang anggota DPR kita lupa. Atau justru hanya pura-pura lupa, sehingga tampak mengenyampingkan kesadaran asalnya. Bahwa demokratisasilah yang memungkinkan mereka bisa duduk santai di Senayan sana.

Sayang, syahwat politik kotor yang tertanam di dirinya jauh lebih berkuasa. Mereka lalu khianati demokratisasi itu dengan mengajukan pemidanaan atau penangkapan bagi siapa pun yang berani mengkritik, apalagi menghina oknum atau lembaganya. Padahal kritik, juga hinaan dalam kasus tertentu, adalah satu tolok ukur utama sebuah alam bisa disebut demokratis. Kritik membuat alam demokrasi jadi matang, tak melulu lahirkan konflik.

Karena hal tersebut terkesan ingin dihilangkan melalui pembentukan UU MD3 oleh DPR kita, tak heran jika di dunia maya di mana Petisi Tolak Revisi UU MD3 pun menggema. Petisi itu, tak butuh waktu yang lama, langsung mendapat respons yang luar biasa hebat. Hampir 200 ribu warganet membubuhkan tanda tangannya hanya dalam kurun waktu 1 minggu saja.

Tiga Pasal Kontroversial

Dalam revisi UU MD3, setidaknya ada tiga pasal yang memang tampak kontroversial. Pertama, Pasal 73 tentang mekanisme pemanggilan paksa dengan mendayagunakan kekuatan aparat negara. Polisi, oleh DPR, wajib menjalankan tugas sebagaimana yang mereka pinta.

“… DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian (ayat 3); Kepolisian wajib memenuhi permintaan…(ayat 4); Dalam hal menjalankan panggilan paksa, Kepolisian dapat menyandera setiap orang paling lama 30 hari (ayat 5).”

Tampak jelas ada semacam frasa wajib bagi siapa pun yang dipanggil menghadap DPR. Jika yang bersangkutan menolak, maka DPR boleh perintahkan polisi untuk melakukan pemaksaan, bahkan menyandera hingga berpuluh hari lamanya.

“Coba bayangkan jika yang dipanggil adalah Presiden. Sementara dalam UU Kepolisian, ranahnya bukan legislatif, tapi eksekutif. Bagaimana kacaunya konstitusi kita kalau pasal (73) ini diberlakukan? Ini pengkhianatan kepada demokrasi atau daulat rakyat,” ujar praktisi hukum Saor Siagian dalam satu kesempatan di ILC_DPRSemakinSakti, Selasa (20/2).

Nada yang sama juga diungkapkan Ridwan Saidi, mantan anggota DPR. Berbekal pasal kontroversial itu, DPR tampak ingin tampil dengan memiliki hak untuk memaksa. DPR, menurutnya, jauh lebih gawat pengelolaannya daripada Orde Baru Soeharto.

“Itu tidak bisa. Tidak ada dalam sejarah di Indonesia lembaga perwakilan itu keberatan untuk dikritik. Anda tidak berhak mengatur rakyat. Anda tidak berhak membikin penjara,” tegasnya.

Kedua, pasal 122 tentang kewenangan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang atau badan yang merendahkan kehormatan lembaga atau anggota DPR.

Apa yang masalah dalam pasal ini? Selain bermasalah di wilayah peran dan fungsi MKD, soal “langkah hukum dan/atau langkah lain” juga turut jadi penambal. Ditambah lagi soal makna “merendahkan” dalam kalimat pasal itu. Tidak jelas.

Kita tahu, peran MKD sebagai lembaga kehormatan dari dan untuk anggota dewan hanya sebatas penjaga kehormatan saja. Ibarat anjing, MKD tak bisa dilepas untuk melampaui tugas mulianya. MKD, hematnya, hanya bertugas menjaga tanpa harus ada imbuhan berupa sikap reaktif.

Adapun soal “langkah hukum dan/atau langkah lain” itu, artinya bahwa MKD memang diarahkan untuk melampaui kerja-kerja dasarnya. Jika memang mau konsisten pada tugas, maka kerja sebagai penjaga ya menjaga saja. MKD tak boleh ikut-ikutan jadi tukang lapor segala.

Selanjutnya tentang definisi merendahkan yang juga tidak jelas itu. Saya pikir begini: jika memang harus ada yang dinilai merendahkan, maka mereka sendirilah, anggota DPR kita, yang merendahkan derajat itu melalui pembentukan UU MD3 dengan isi yang sama sekali tak pantas dibakukan.

Ini pulalah yang menjadi satu dasar mengapa petisi bertajuk DPR Tidak Boleh Mempidanakan Kritik! itu Koalisi UU MD3 layangkan. Ia patut memprakarsasinya demi sehatnya arah pengelolaan bangsa ini ke depan.

“Tiap orang yang dianggap merendahkan DPR dapat dipenjara. Ini adalah upaya membungkam masyarakat yang ingin mengkritik DPR. DPR seakan menjadi lembaga otoriter. 250 juta masyarakat terancam dengan peraturan ini, apalagi jelang pilkada, pileg, dan pilpres. Mau bentuknya seperti meme Setnov dulu, ataupun tweet, bahkan dikutip di media sekalipun bisa kena.” Begitu terang poin 1 petisinya.

Dan yang ketiga, pasal 245 tentang pemeriksaan anggota dewan yang terlibat kasus hukum harus melalui pertimbangan MKD terlebih dahulu. MKD patut memberi nilai sebelum putusan itu dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin selanjutnya.

Apa-apaan ini? Rakyat saja, yang sejatinya adalah bos dari wakil rakyat (anggota DPR), tidak punya keistimewaan seperti itu jika ada yang melaporkannya ke pihak berwajib. Kalau salah, ya salah saja. Tiap orang berhak melaporkannya ke polisi, lalu memanggilnya untuk menghadapi kasus hukumnya.

Bukankah semangat kesetaraan di mata hukum harus negara kedepankan? Kalau aturan ini benar-benar diberlakukan, maka semangat pemberantasan korupsi, misalnya, pun bisa jadi akan terhambat. Pencurian uang rakyat kok dikasih toleransi istimewa seperti itu? Ya hancur bangsa ini kalau begitu; hal mendesak tak diprioritaskan!

Lari dari Tujuan

Dari tiga pasal tersebut, tak satupun yang mengindikasikan tujuan dirumuskannya UU MD3. Diketahui bahwa tujuan pembentukan pasal tersebut adalah untuk meningkatkan kinerja DPR sebagai lembaga yang punya fungsi perwakilan dan pengawasan.

Apa yang disampaikan Ketua MPR Zulkifli Hasan bahwa DPR diberi hak imunitas agar optimal kenerjanya sama sekali tak bisa kita benarkan.

Bagaimana bisa optimal kalau kritik guna perbaikan kinerja saja harus dibatasi sedemikian rupa? Jika pun alasannya demi memperkuat eksistensi, maka tunjukkan itu melalui menjadi lembaga yang bersih dari suap dan korupsi. Bukan dengan membentengi diri dari kritik, wahai anggota-anggota dewan yang terhormat!

Itu baru 3 pasal. Bagaimana soal penambahan jumlah pimpinan yang juga dicantumkan dalam revisi UU MD3? Apa kaitannya memang dengan peningkatan kinerja DPR?

Sungguh, kuantitas tak bisa menjamin kualitas kerja. Justru, makin gemuk kepengurusan suatu lembaga, maka makin lambat ia akan bekerja.

Tentang hal ini, kita patut mencontoh Jokowi atau Ahok, yang selalu berupaya meminimalisasi teman kerjanya. Bagi mereka, mengelolah keuangan negara/daerah jauh secara efektif dan efisien jauh lebih berguna dari sekadar memanfaatkan itu untuk kepentingan segelintir orang. Sangat bedalah dengan kepengurusan DKI Jakarta di tangan Anies-Sandi hari ini.

Ya, seperti penambahan pimpinan di DPR, banyaknya orang-orang yang Anies-Sandi jadikan pembantu kerjanya, tak ada poin lain yang bisa kita tangkap selain hanya untuk menghabiskan anggaran dana saja.

Kalau kata Koordinator Formappi, Sebastian Salang, tidak ada penjelasan yang bisa diterima akal sehat selain untuk memenuhi hasrat atau libido kekuasaan dari mereka yang sedang menyusun UU itu. Sakit, itulah yang DPR lahirkan melalui pengupayaan kesaktian untuk dirinya.

Tulisan terkait:

DPR dan Aktor Utama UU MD3

Ketika KPK Tersandera Angket DPR

Wajah Seram Senayan

UU MD3 Siasat DPR Menipu Rakyat

Maman Suratman
Maman Suratman
Mahasiswa Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.