Sabtu, April 20, 2024

DPR dan Libido Politik yang Membuncah

Iding Rosyidin
Iding Rosyidin
Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi (kanan), mantan Sekjen Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni (kedua kanan), mantan Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap (kedua kiri) dan Direktur Fasilitas Dana Perimbangan Ditjen Keuangan Kemdagri Elvius Dailami (kiri) meninggalkan ruangan saat rehat sidang lanjutan dugaan korupsi proyek E-KTP dengan terdakwa mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/3). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Dewan Perwakilan Rakyat tak henti-hentinya membuat kehebohan. Belum lama ini publik dikejutkan dengan isu bancakan dana pembuatan e-KTP yang jumlahnya sangat mencengangkan. Meski terjadi pada periode 2009-2014, sejumlah nama anggota DPR yang disinyalir telah mendapatkan aliran dana itu masih menjabat sampai saat ini.

Kini, lagi-lagi kabar tak sedap datang dari para penghuni Senayan itu. Ada dua kasus yang membuat publik geregetan dengan sikap lembaga perwakilan rakyat tersebut. Pertama, terkait manuver yang dilakukan Panitia Khusus RUU Pemilu. Seperti diberitakan, Pansus memunculkan wacana tentang dimungkinnya (lagi) anggota DPR untuk menjadi komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Alasan “gagahnya” tetapi sekaligus menunjukkan kenaifannya adalah karena penyelenggaraan pemilu di Jerman, tempat mereka melakukan studi banding, diisi juga oleh orang-orang partai.

Wacana tersebut sontak menimbulkan reaksi publik yang cukup besar karena publik tampaknya curiga bahwa DPR dianggap ingin melakukan intervensi politik. Kecurigaan publik atas manuver Pansus RUU Pemilu sangat masuk akal, setidaknya jika dikaitkan dengan dua konteks. Pertama, wacana tersebut dimunculkan tepat berbarengan dengan tahap-tahap akhir seleksi komisioner KPU dan Bawaslu, yakni tahap uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di Komisi II.

Seharusnya DPR segera melakukan proses tersebut, karena masa tugas komisioner KPU dan Bawaslu yang sekarang akan berakhir pada 12 April 2017. Namun sampat saat ini masih belum ada tanda-tanda pelaksanaan proses tersebut. Ironisnya, Komisi II berdalih bahwa mereka masih menunggu rampungnya pekerjaan Pansus RUU Pemilu. Ini bisa diartikan bahwa DPR seolah-olah hendak mengambil-alih atau setidaknya menyalip di tikungan dengan memasukkan anggotanya ke dalam calon komisioner.

Kedua, manuver politik anggota Pansus tersebut menunjukkan bahwa DPR dipandang tidak konsisten dengan komitmen agar penyelenggara pemilu bebas dari kepentingan-kepentingan politik. Keberdaan anggota DPR ke dalam KPU dan Bawaslu akan menjadi pintu masuk paling lebar bagi intervensi partai-partai politik. Padahal selama ini aturan tentang komisioner KPU dan Bawaslu sudah berjalan cukup baik. Politisi yang berminat menjadi komisioner, misalnya, harus mundur dari keanggotaan di partai politik setidaknya lima tahun. Maka, dengan usulan itu DPR seperti ingin mundur jauh ke belakang.

Kedua, tindakan DPR yang ingin merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tampaknya ingin mempreteli kewenangan lembaga antirasuah tersebut. Beberapa revisi yang bisa membuat KPK kehilangan taringnya adalah penghilangkan pasal penyadapan, keharusan meminta izin ke pengadilan dalam penyadapan, dan pembatasan penanganan kasus korupsi minimal 50 miliar rupiah. Publik tentu bisa membaca dengan jelas ke mana arah keinginan para anggota dewan yang terhormat itu.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa sejumlah anggota DPR banyak yang terjerat kasus korupsi dan bahkan beberapa di antara mereka sudah mendekam di balik jeruji besi. Hal tersebut bisa terjadi karena keberhasilan KPK mengungkap kasus-kasus pidana korupsi yang melibatkan mereka dengan kewenangan penyadapan. Oleh karena itu, jika kewenangan penyadapan tidak lagi dimiliki KPK, sulit bagi lembaga ini untuk menindak berbagai kasus korupsi tersebut.

Beberapai operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK memperlihatkan keberhasilannya dalam mencekok para koruptor, termasuk di antaranya adalah anggota atau mantan anggota DPR, karena adanya kewenangan khusus tersebut. Bisa dibayangkan, jika kewenangan itu dihapus, para koruptor akan berlenggang bebas. Dan kita bisa menebak siapa yang akan bertepuk tangan.

Satu hal lagi yang membuat publik geram, misalnya, seperti dikatakan Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dalam acara dialog dengan mahasiswa Universitas Hasanuddin pada 24 Maret 2017 (Tempo.com), mengapa DPR hanya meributkan KPK, padahal yang memiliki kewenangan penyadapan bukan hanya lembaga ini. Kepolisian dan kejaksaan juga punya kewenangan yang sama, tetapi DPR tidak pernah mengungkit-ungkitnya.

Tidak heran kalau kemudian publik mencurigai bahwa DPR sepertinya menyimpan dendam terhadap KPK. Marwah yang kian menipis DPR tampaknya tidak pernah mau belajar atau mungkin sudah sangat bermuka tebal atas praktik-praktik politiknya yang cenderung tidak sejalan dengan garis konstitusi. Ada banyak contoh kasus tentang hal in. Nafsu para anggota dewan untuk mengintervensi penyelenggara pemilu dan mempreteli kewenangan KPK hanyalah dua contoh saja dari sekian banyak kasus.

Kecenderungan ini memperlihatkan betapa libido politik para anggota dewan yang terhormat tersebut semakin lama semakin membuncah. Padahal sejak era reformasi kewenangan DPR sudah berubah seratus delapan puluh derajat jika dibandingkan dengan era sebelumnya. Artinya, mereka sebenarnya telah diberikan banyak (atau malah terlalu banyak?), kewenangan, tetapi agaknya masih belum puas juga.

Dari perspektif ketatanegaraan, kewenangan DPR sebenarnya sudah melampaui dari yang seharusnya, bahkan jika dibandingkan dengan House of Representatives atau lembaga parlemen Amerika Serikat. Kewenangan presiden untuk mengangkat duta-duta besar, untuk menyebut salah satu contoh saja, harus melalui proses uji kepatutan dan kelayakan di DPR. Padahal kasus seperti ini tidak ditemukan di AS.

Dengan semakin terkuaknya libido politik para anggota DPR, semakin terbuka pulalah alasan mengapa kewenangan lembaga ini dibuat sedemikian dominan di era sekarang ini. Ternyata syahwat politik jauh lebih dominan ketimbang faktor-faktor lainnya. Maka, dengan kewenangan yang berlebih itu libido politik mereka semakin menjadi-jadi.

Kenyataan tersebut tentu membuat marwah DPR semakin hari semakin menipis, kalau tidak boleh dibilang hilang sama sekali. Para anggota parlemen itu agaknya tidak (mau) sadar bahwa hal itu akan membuat kepercayaan publik terhadap mereka semakin merosot. Mungkin karena tidak (mau)sadar itulah mereka terus menggali lubang kuburnya sendiri.

Iding Rosyidin
Iding Rosyidin
Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.