Minggu, Oktober 13, 2024

DPD, Politik Petualangan, dan Petualang Politik

Yance Arizona
Yance Arizona
PhD Researcher at Van Vollenhoven Institute, Leiden University. Pengajar Ilmu Hukum di President University. Salah satu karyanya berjudul "Konstitusionalisme Agraria" (2014)
Anggota DPD Sulawesi Tengah Nurmawati Dewi Bantilan (kedua kiri) mengangkat poster protes disaksikan Ketua DPD Oesma Sapta Odang (kedua kanan) dan Wakil Ketua DPD Darmayanti Lubis (kanan) saat pembukaan masa sidang DPD di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (11/4). Rapat DPD tersebut diwarnai aksi protes “Tolak Pimpinan Ilegal” yang dilakukan oleh beberapa senator. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/kye/17

Kisruh pemilihan pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang berlangsung awal April lalu memunculkan kekecewaan publik. DPD yang selama ini berjuang menjadikan dirinya signifikan dalam sistem ketatanegaraan malah cakar-cakaran dalam merebutkan jabatan pimpinan.

Peristiwa itu semakin memperburuk citra DPD, apalagi terjadi dengan mengabaikan putusan Mahkamah Agung (baca kolom Feri Amsari, Mengapa DPD Membangkang Putusan MA?). Bahkan bila tidak ada upaya penyelamatan berarti, muncul pula gagasan untuk membubarkan DPD (Khairul Fahmi, Senjakala Dewan Perwakilan Daerah).

Tulisan ini menawarkan perspektif lain dengan melihat situasi DPD saat ini sebagai sebuah eksperimen politik, karena ketidakpastian kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan serta mengamatinya sebagai manuver politisi avonturir di dalamnya. Kemudian menawarkan tiga jangkar untuk mengawal langkah DPD kedepan.

Politik Petualangan

Setidaknya ada lima penyebab yang perlu diutarakan untuk memahami kondisi DPD hari ini. Pertama, lembaga ini sejak dalam kandungannya tidak diniatkan sebagai co-legislator yang setara dengan DPR. Sehingga menimbulkan sikap inferior dan kemauan dari anggotanya hendak dipersamakan dengan DPR.

Kedua, daerah sebagai basis konstituen DPD tidak terdefinisikan dengan jelas. Kalau hanya membutuhkan perspektif daerah yang diperoleh dari proses konsultatif dalam pembentukan undang-undang, maka tidak perlu dibentuk DPD. Cukup dengan menyerap aspirasi melalui pemerintah daerah atau DPRD.

Ketiga, tidak ada demarkasi pencalonan anggota DPD dan DPR sehingga memungkinkan pertukaran di antara keduanya. Yang terjadi adalah politik pintu putar (revolving door politic) yang memungkinkan politisi keluar masuk. Tidak sedikit anggota DPD kemudian dalam pemilu berikutnya masuk partai dan terpilih menjadi anggota DPR. Keberhasilannya dipandang sebagai “naik kelas.” Sebaliknya politisi senior yang pernah jadi anggota DPR melanjutkan karirnya menjadi anggota DPD untuk menjaga konstituen politiknya.

Keempat, anggota DPD sangat memahami bahwa upaya penguatan DPD selalu terbentur dengan penerimaan dari DPR. Selama ini DPR selalu mempersempit ruang keterlibatan DPD dalam proses legislasi. Beberapa kemenangan kecil diperoleh DPD melalui judicial review kepada Mahkamah Konstitusi, namun hal itu belum cukup membuatnya menjadi lembaga yang setara. Gagasan amandemen kelima untuk penguatan peran DPD tak akan pernah tercapai tanpa dukungan partai politik di DPR.

Kelima, masalah kepemimpinan di DPD yang selama ini dinilai kurang garang memperjuangkan penguatan DPD. Ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan anggota. Ditambah dengan operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Irman Gusman. Peristiwa itu memperkuat krisis terhadap kepempimpinan di tubuh DPD.

Memahami lima permasalahan itu, langkah anggota DPD meleburkan diri ke dalam partai politik yang memiliki koneksi langsung dengan DPR menjadi salah satu alternatif untuk penguatan DPD ke depan. Langkah ini dapat dipandang sebagai respons atas dilematisnya posisi DPD dalam sistem ketatanegaraan kita. Namun bukan berarti pilihan ini tanpa risiko.

Petualang Politik

Kehadiran Oesman Sapta Odang (OSO), anggota DPD dari Kalimantan Barat, memberikan warna berbeda. Oesman telah lama berupaya untuk tampil signifikan dalam kancah politik nasional. Sebelumnya melalui Partai Persatuan Daerah (2002-2010), dan Partai Persatuan Nasional (2011-2016). Terakhir ia memperoleh posisi sebagai Wakil Ketua MPR (2014) dan Ketua Partai Hanura (2016).

Oesman menjadi magnet tersendiri bagi anggota DPD yang resah dengan dilema yang dihadapi oleh DPD. Mereka menghendaki perubahan dari dalam. Setidaknya ada 70 anggota DPD berbondong-bondong masuk dan menjadi pengurus Partai Hanura. Belum lagi anggota DPD yang berafiliasi kepada partai lainnya. Situasi ini memunculkan kekhawatiran bahwa DPD akan menjadi perpanjangan tangan fraksi partai politik.

Pergantian kepemimpinan dipandang sebagai langkah pertama untuk mengubah wajah DPD. Oleh karena itu, didesakkan adanya tata tertib yang berlaku surut memangkas masa jabatan pimpinan DPD menjadi 2,5 tahun. Sejauh ini upaya mengganti kepemimpinan telah berhasil dilakukan dengan mengabaikan Putusan Mahkamah Agung yang telah membatalkan substansi tata tertib yang membatasi masa kepempimpinan 2,5 tahun.

Namun, apakah akan ada perubahan signifikan ke depan dalam kaitannya memperjuangkan kepentingan rakyat? Hal ini masih menjadi tanda tanya sebab tidak semua anggota DPD hanya fokus dengan profesi ketatanegaraannya di DPD. Tidak sedikit anggota DPD memandang posisinya di DPD hanya sebagai tempat transit dalam trayektori politiknya. Sebagian dari mereka berencana mencalonkan diri menjadi anggota DPR, atau menjadi kepala daerah. Sebagian konsisten dengan tugas mulianya sebagai wakil daerah.

Tiga jangkar

Justru dalam situasi sekarang, DPD harus mendapat perhatian tajam dari publik. Ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian ke depan menilai DPD. Pertama, kemampuan DPD mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Apabila DPD tidak terlibat dalam memperhatikan permasalahan-permasalahan mendasar yang dialami oleh masyarakat, maka DPD akan kehilangan relevansinya, serta membenarkan bahwa kisruh tempo hari hanya untuk mengenai cari-cari jabatan.

Kedua, semakin berkurangnya potensi korupsi. Korupsi terjadi karena kegagalan memisahkan kepentingan yang bertentangan satu sama lain, misalkan kepentingan pribadi dan publik. Dalam hal ini antara posisi sebagai anggota DPD dan pengurus partai politik. Apalagi citra partai politik sebagai salah satu episentrum korupsi sudah jamak diketahui karena banyak politisi, terutama di DPD, yang dipidana melakukan korupsi.

Maka, perlu mengawal agar alokasi anggaran untuk kegiatan-kegiatan DPD tidak dipergunakan untuk kepentingan mengurusi partai politik di daerahnya. Selain itu, kejadian yang menimpa Irman Gusman juga tidak terjadi lagi.

Ketiga, peran DPD dalam proses legislasi yang makin signifikan. Terkoneksinya DPD dengan DPR melalui partai politik semestinya membuat dukungan penguatan DPD semakin besar di DPR. Sehingga peran DPD semakin kuat dalam proses legislasi. Hal ini tidak mudah mengingat suara di dalam DPD sendiri terbelah antara yang setuju beraliansi dengan partai politik dan yang hendak memurnikan DPD dari anasir partai politik.

Robohnya batas antara DPR dan DPD memungkinkan politisi keluar-masuk dengan mudah. Di satu sisi, ini memberikan angin sepoi-sepoi bagi penguatan kelembagaan DPD untuk mengubah framing tentang DPD dari dalam DPR. Namun, di sisi lain, eksperimen ini memuluskan jalan bagi migrasi anggota DPD ke “kantor sebelah”. Dalam jangka panjang, pagar antara DPR dan DPD harus dibangun lagi bila komitmen konstitusi membentuk sistem bikameralisme hendak dipertahankan.

Yance Arizona
Yance Arizona
PhD Researcher at Van Vollenhoven Institute, Leiden University. Pengajar Ilmu Hukum di President University. Salah satu karyanya berjudul "Konstitusionalisme Agraria" (2014)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.