Dalam beberapa tahun terakhir, acara diskusi tentang peristiwa 1965 dan wacana kiri terus diganggu mulai dari acara diskusi bedah buku, pemutaran film sampai festival seni. Tidak hanya itu, pemerintah juga gencar menggerebek buku-buku bertema kajian kiri hingga para atribut bergambar palu arit dan tokoh kiri lainnya. Bahkan seorang pemuda yang memparodikan logo palu arit Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam kaos bersablon “Pecinta Kopi Indonesia” juga ikut diciduk (Tempo.co, 2016).
Kini, orang begitu terusik ketika wacana 1965 dan hal-hal berbau kekirian diangkat ke permukaan. Akibatnya, timbul pertanyaan mengapa hal itu terus terjadi. Untuk memahaminya kita perlu membedah lebih dalam signifikansi Peristiwa 1965 dalam politik Indonesia untuk memahami mengapa upaya penggagalan kegiatan yang mengangkat isu tersebut terus terjadi.
1965 dan Legitimasi Pemenang Sejarah
Peristiwa 1965 merupakan konflik politik penuh darah namun juga menjadi titik tolak munculnya militer, khususnya TNI Aangkatan Darat, sebagai kelompok terkuat dalam politik Indonesia. Setelah insiden pembunuhan para perwira tinggi, TNI AD dipimpin oleh Jenderal Suharto bergerak secara sistematis melumpuhkan lawan-lawan politiknya, terutama Partai Komunis Indonesia (PKI). Hasilnya, rezim Orde Baru berdiri dengan militer sebagai kaki utama pendukung berdirinya rezim itu.
Pemenang akan menuliskan sejarah kemenangannya, demikian pula TNI AD sebagai pemenang konflik 1965. Studi sejarah 1965 pada masa Orde Baru hanya sampai pada insiden pembunuhan para perwira tinggi TNI AD. PKI dijadikan terpidana tunggal untuk insiden tersebut. Pengetahuan ini diproduksi dalam berbagai bentuk; mulai dari buku sejarah, diorama museum, hingga film layar lebar. Bahkan setiap 30 September rezim Orde Baru mewajibkan semua stasiun televisi menayangkan film Pengkhianatan G30S PKI.
Meskipun banyak studi yang menunjukkan kejanggalan sejarah versi rezim Orde Baru mulai dari makalah karya Ben Anderson (1987) yang menguliti hoaks tentang mutilasi jenazah para jenderal, hingga studi yang dilakukan oleh John Roosa (2006). Studi John Roosa bahkan menunjukkan tidak ada pelaku tunggal pada penculikan dan pembunuhan para perwira tinggi Angkatan Darat. Namun, insiden ini dijadikan dalih untuk menghabisi kader dan simpatisan PKI.
Akibatnya, sekurangnya ratusan ribu orang tewas (Cribb 1990) dan kurang lebih satu juta orang ditahan tanpa proses pengadilan (Amnesty International [1977] dikutip dalam Cribb, 1990). Upaya rezim Orde Baru memproduksi pengetahuan sejarah 1965 merupakan hal yang strategis. Karena rezim membutuhkan legitimasi untuk berkuasa.
Peristiwa 1965 merupakan hal yang signifikan bagi militer karena pada titik itulah mereka muncul sebagai pemenang sejarah dan mengukuhkannya sebagai legitimasi untuk berkuasa. Narasi peristiwa 1965 dibingkai sedemikian rupa untuk memunculkan militer sebagai penyelamat bangsa dari pemberontakan PKI. Sebagaimana ditunjukkan oleh John Roosa (2006), peristiwa 1965 berhasil dijadikan dalih untuk melumpuhkan lawan-lawan politik militer, PKI, dan kelompok kiri lainnya.
Kontrol Pengetahuan dan Reproduksi Pelaku Persekusi-Diskriminasi
Kontrol terhadap pengetahuan dibutuhkan rezim untuk menanamkan hegemoni pada memori masyarakat. Sistem politik yang otoriter dan kontrol ketat terhadap publikasi pers, baik cetak maupun elektronik, oleh Kementerian Penerangan memungkinkan rezim mengontrol apa yang dibaca oleh masyarakat.
Selain itu, institusi pendidikan juga menjadi garda terdepan untuk menanamkan pengetahuan tentang peristiwa 1965. Kurikulum pelajaran sejarah yang disuplai oleh rezim Orde Baru menjadi referensi utama bagi masyarakat untuk memahami sejarah 1965. Dengan begitu, reproduksi pelaku persekusi dan diskriminasi terhadap korban 1965 dan keluarganya terus terjaga.
Jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 sempat memunculkan angin segar bagi munculnya pengetahuan alternatif tentang peristiwa 1965. Buku-buku kajian dari perspektif berbeda dan kesaksian para korban bebas beredar. Selain itu, kurikulum pelajaran sejarah juga direvisi. Pada kurikulkum tahun 2004, peristiwa 1965 disajikan sebagai konflik politik dengan berdasarkan beragam versi kajian sejarah. Tidak dalam versi tunggal seperti pada masa Orde Baru.
Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Sejak 2007 pemerintah mulai giat mengembalikan arah kurikulum ke kurikulum lama. Dimulai dengan penyitaan buku-buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan kata PKI setelah G30S oleh Kejaksaan Agung (Antaranews.com, 2007). Sejak saat itu buku-buku sejarah mulai beralih menceritakan prahara 1965 dengan narasi versi rezim Orde Baru.
Setelah itu pemerintah gencar memburu beragam acara kajian yang mengangkat isu prahara 1965 di ranah publik. Keterlibatan ormas bahkan pemuda dalam persekusi korban 1965 dan upaya penggagalan beragam kegiatan diskusi bertema prahara 1965 menunjukkan bahwa reproduksi pelaku persekusi dan diskriminasi berhasil menghadirkan kader-kader baru para pelaku persekusi dan diskriminasi terhadap para korban 1965 dan pihak-pihak yang kritis terhadap narasi 1965 versi pemerintah.
Peristiwa 1965 merupakan konflik berdarah yang memakan korban massa dalam jumlah banyak. Dia dijadikan dalih untuk menghabisi lawan politik sekaligus legitimasi untuk berdirinya sebuah rezim militeristik. Keberlanjutan persekusi korban 1965 dan pihak-pihak yang kritis terhadap narasi 1965 menunjukkan kemunduran tradisi literasi akibat kuatnya pemaksaan narasi tunggal atas sebuah peristiwa.
Penggorengan isu bangkitnya komunisme setiap kali kajian kritis tentang 1965 dan ide-ide kiri dilakukan, menunjukkan ada pihak yang berkepentingan agar topik ini tidak pernah didiskusikan di ruang publik secara terbuka. Akibatnya, pengetahuan tentang 1965 dan ide-de kiri diisi oleh mitos dan kajian yang tidak memadai. Bagaimana kita mau memahami dengan utuh jika ruang diskusi dibatasi.
Dari pembahasan tentang signifikansi peristiwa 1965 sebelumnya dapat kita lihat bahwa pihak militer merupakan pihak yang diuntungkan dengan adanya peristiwa 1965. Tragedi 1965 menjadi dasar legitimasi bagi mereka untuk berkuasa dan membangun rezim Orde Baru. Tidak aneh jika pada tahun ini militer giat mengkampanyekan pemutaran film Pengkhianatan G30S PKI kembali.
Bagi warga, meski berat karena harus melawan propaganda yang disponsori negara, tradisi literasi tetap harus dihidupkan. Bukan hanya sekadar menulis dan membaca tapi juga menghidupkan diskusi untuk menguji gagasan-gagasan yang dilontarkan dalam buku.
Menghadapi situasi sulit ketika pemaksaan narasi tunggal terus terjadi, sudah waktunya komunitas-komunitas pengetahuan dihidupkan untuk menyediakan lingkungan diskusi yang sehat.
Dengan demikian, menjadi relevan jika hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat terus diperjuangkan agar warga bisa berhimpun untuk mengaktualisasi wawasannya dan tidak terkungkung dalam narasi yang dipaksakan oleh otoritas pemerintahan. Teruslah membaca dan berhimpun untuk mendiskusikan semua yang dianggap tabu, tidak hanya 1965, tapi juga masalah Papua, LGBT, persekusi terhadap kelompok minoritas, dan isu-isu lainnya.
Pengalaman terus diganggu dan dibubarkan ketika berdiskusi dan mengekspresikan gagasan, menunjukkan pada kita bahwa kebebasan tidak otomatis hadir dari kitab konstitusi tapi juga harus diperjuangkan agar selalu ada.
Kolom terkait:
Efek Streisand, Repdem, dan Jenderal Gatot
Mengapa Saya Ikut Simposium Tragedi 1965
Malam yang Panjang di LBH dan Dendam Imajiner yang Lebih Panjang