Dalam politik, yang abadi hanya kepentingan, bukan kawan ataupun lawan. Demikian Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo mempertegas itu dalam pernyataannya.
Usai acara Penganugerahan Kepala Daerah Inovatif Koran SINDO 2017 di Hotel Westin, Jakarta, Selasa (1/8), dengan gagah Hary Tanoe blak-blakan di depan awak media—disaksikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo—bahwa di penghujung tahun ini ia akan usulkan Jokowi sebagai Calon Presiden 2019 di Kongres Partai Perindo.
Puluhan pasang mata seketika terbelalak. Hembusan nada Hary nyaris memekikkan telinga. Karena, baik Hary Tanoe maupun partainya, sama-sama diketahui publik sebagai oposisi paling “lancang”, yang lalu mereda entah apa, meski baru sebatas rencana.
Benar-benar. Langkah politik itu memang dinamis, saudara-saudara. Jika tujuan sudah bicara, apa pun cara bisa jadi halal. Benci bisa jadi cinta, termasuk tai kucing sekalipun bisa berasa coklat. Semua karena jika tujuan politik sudah dimutlak-mutlakkan.
Hal ini persis dengan apa yang juga menjadi diktum terkenal Harold Lasswell. Ilmuwan politik ini pernah mengatakan: who says what, to who, to which channel, and with what effect, yang kurang lebih bermakna politik selalu bicara tentang apa, dapat apa, siapa, bagaimana, dan apa efek-efek jangka panjangnya.
Lantas, apa kira-kira yang dikehendaki Hary Tanoe juga Partai Perindo dengan mewacanakan isu dukungannya kepada Jokowi untuk Pemilihan Presiden 2019 ke depan? Adakah kaitannya ini dengan kasus hukum yang kini menimpa berat sang Ketua Umum? Apakah ini semacam satu strategi jitu politik Partai Perindo demi kuatnya eksistensinya di dunia perpolitikan Indonesia? Ataukah justru monuver politik ini diniscayakan demi kelangsungan pundi-pundi bisnis seorang Hary Tanoe?
Untuk lebih jelasnya, biar pembaca bisa menilainya sendiri, berikut saya kutipkan wawancara langsung saya dengan bos MNC Group ini di sela-sela kesibukan beliau bermanuver politik.
Pak Hary, saya dengar kabar Anda akan mengusulkan nama Jokowi sebagai Calon Presiden 2019. Benar begitu, Pak?
Benar. Itu sudah saya wacanakan ke awak media, bahkan sudah sampaikan langsung ke Mendagri Pak Tjahjo.
Apa yang hendak Pak Hary tuju dengan mewacanakan isu dukungan tersebut? Apa itu tidak menyalahi kodrat Pak Hary selaku politikus yang getol melawan Jokowi?
Jadi begini. Anda tahu kan kalau saya hari ini tengah dilanda banyak masalah? Pertama, saya sudah jadi tersangka dalam kasus ancaman saya via SMS kepada Jaksa Yulianto. Saya bakal dijerat Pasal 29 Undang-undang ITE dengan ancaman pidana 4 tahun penjara.
Yang kedua, saya juga harus menjalani kasus tindak pidana korupsi terhadap pembayaran restitusi atas permohonan PT Mobile 8 Telecom tahun 2007-2008 yang melibatkan saya selaku komisaris perusahaan. Di kasus ini, saya harus melawan kenyataan pahit karena Kejaksaan Agung sendiri sudah menemukan transaksi fiktif antara perusahaan saya dengan PT Jaya Nusantara dalam proyek pengadaan ponsen juga pulsa dengan nilai transaksi Rp 80 miliar.
Dari dua kasus yang kini tengah melanda saya itu, tentu selayaknya jika saya harus berpikir lebih realistis. Tak mau saya mengulur-ngulur waktu lagi, membuang-buang kesempatan yang ada. Apa pun cara akan saya tempuh selama itu memungkinkan kondisi saya terbebas dari jerat kasus hukum yang tiada ampun ini. Semua akan saya korbankan, termasuk harga diri sekalipun, demi kebebasan saya.
Lalu, apa hubungannya dengan dukungan Anda ke Pak Jokowi, Pak?
Pak Jokowi ini kan penentu kebijakan. Sebagai presiden, jelas ia punya kekuatan besar untuk mempengaruhi, mengintervensi jalannya hukum di negeri ini. Saya harus sadar itu. Apalagi beliau dipastikan akan kembali maju di Pilpres 2019 besok. Kalau saya tidak mulai mendekati Pak Jokowi hari ini, terus bersikap oposisi dengan beliau, maka yang ribet kan saya juga. Nah, momentum ini yang mau saya ambil.
Artinya, dukungan saya ke Pak Jokowi ini saya akui hanyalah taktik untuk bisa lepas dari jerat dua kasus yang melilit saya itu. Siapa sih yang tidak mau bebas? Saya sudah capek dikejar-kejar seperti maling begini. Hampir tiap malam saya was-was. Tidur saya tidak pernah pulas. Sepanjang hari tidak tenang. Saya ingin bebas. Makanya, mewacanakan isu dukungan saya dan partai saya untuk Pak Jokowi, setidaknya bisa mengambil sedikit belas kasih dari Pak Jokowi.
Sungguh, saya ingin Pak Jokowi memberi sedikit rasa kasihannya pada saya. Apa pun akan saya berikan sama Pak Jokowi, termasuk memberinya dukungan penuh secara politik melalui Partai Perindo yang punya massa dukungan riil di lapangan. Ya, jika itu bisa membuat saya bebas dari kasus saya, kenapa tidak saya lakukan? Itu saja kepentingan saya.
Kalau publik tahu Anda punya kepentingan licik seperti ini, apa itu tidak akan jadi masalah besar untuk Bapak sendiri?
Persetanlah dengan anggapan publik. Mau menilai saya apalah, licik kek, pencundang kek, terserah. Yang penting itu satu, saya bisa terbebas dari kasus hukum saya. Itu saja yang saya mau. Terserah orang mau bilang apa tentang saya. Tidak pedulilah.
Tapi, Pak, apakah Pak Jokowi sendiri sudah tahu rencana Bapak ini?
Sudah sih. Tapi, beliau tidak mau menerima usulan transaksi barter saya semacam ini. Memang, Pak Jokowi berterimakasih sekali dengan rencana dukungan saya melalui Partai Perindo, dan dia sangat berharap kader, pendukung, dan simpatisan Perindo bisa memberi dukungan riil untuknya di Pilpres 2019 besok.
Tapi, khusus untuk kasus hukum saya, Pak Jokowi menolaknya mentah-mentah. Beliau tak mau bertindak licik dengan menerima transaksi barter saya. Payah juga, kan? Menurutnya, apa pun kondisinya, hukum tetap harus berjalan. Semua harus sama katanya di mata hukum. Ampun saya.
Meski begitu, tetap saja akan saya upayakan rencana dukungan saya ini. Kalau bisa, saya akan gelontorkan dana habis-habisan untuk memenangkan beliau. Karena, dengan begitu, saya yakin kelak juga Pak Jokowi akan memberi sedikit hatinya pada saya. Tidak mungkinlah Pak Jokowi setega itu sama orang yang pernah memberinya bantuan. Saya yakin itu.
Kalau nanti Pak Jokowi tetap bersikukuh pada prinsipnya, apa itu tidak akan merugikan Pak Hary Tanoe?
Matilah saya kalau begitu. Akan rugi besar saya. Tapi mau gimana lagi, hanya itu yang bisa saya harapkan. Sudahlah. Yang terpenting itu kan usaha. Hasilnya nanti, biar itu urusan nanti sajalah.
Kan ada Pak Prabowo, kenapa tidak meminta bantuan ke sana, Pak?
Prabowo? Bisa apa dia? Untuk maju di Pilpres 2019 saja, partai dan pengikutnya harus mengais-ngais dukungan yang lain dulu. Tak cukup hanya dengan Gerindra, PKS, ditambah PAN. Makanya, di diplomasi nasi goreng mereka kemarin, Prabowo harus berselingkuh dengan SBY. Suara Demokrat yang benar-benar bisa ia dapatkan. Itu pun kalau cukup.
Lagi pula, yang membuat Prabowo besar itu kan saya. Saya yang kasih dia dana waktu nyapres tahun 2014. Saya juga yang keluarkan dana untuk memenangkan paslon usungan Gerindra, Anies-Sandi, di Pilkada DKI Jakarta kemarin. Tanpa saya, bisa apa dia? Masa saya harus meminta dukungan ke orang yang tidak bisa berbuat apa-apa tanpa saya? Ngaco aja kamu ini.
Oh ya, kan ada massa aksi yang dulu bela Islam itu, Pak. Kenapa tidak coba minta bantuan ke mereka saja kalau begitu? Pak Hary kan masih berpengaruh kuat, setidaknya memegang pimpinan-pimpinannya. Kenapa tidak gunakan itu saja, Pak?
Itu sudah saya coba. Hasilnya gagal. Massa yang kemarin yang berhasil menjegal dan menjebloskan Ahok ke penjara itu sudah tidak solid, sudah tercerai-berai. HTI saja sudah kalang-kabut pasca dibubarkan Jokowi. GNPF MUI dan FPI, yang bisa dikatakan sebagai bagian paling inti dalam Aksi Bela Islam, juga sudah merapat ke Jokowi. Presidium Alumni 212, bisa apa mereka? Mengandalkan Amien Rais? Dia sendiri sudah sekarat begitu.
Sudahlah ya, sudah tak ada yang bisa saya harapkan lagi. Satu-satunya harapan saya hari ini ya cuma dengan langkah seperti ini. Partai Perindo mesti saya peralat demi membebaskan saya dari kasus hukum. Perindo akan saya jual ke Pak Jokowi.
Selain itu, Pak, adakah tujuan lain selain membebaskan Bapak dari jerat kasus yang menimpa ini?
Terbebas dari jerat kasus itu yang utama. Untuk tujuan lainnya, ya tetap ada juga. Saya ingin membesarkan kembali nama Partai Perindo di kancah perpolitikan nasional. Saya juga mau melebarkan sayap-sayap bisnis saya ke depan. Sia-sia dong perjuangan saya selama ini jika harus begini juga akhirnya. Saya tidak mau itu terjadi.
Terakhir, Pak, apa harapan besar Pak Hary Tanoe untuk Pak Jokowi?
“Woi..!! Ngelamun aja kerjaanmu ini. Kerja yang benar, dong!” teriak bos saya.
Ah, sial. Ternyata wawancara saya dengan Pak Hary Tanoe hanya lamunan.
“Iya iya, Pak. Maaf.”
Baca juga:
Saya Percaya Amien Rais, tapi…