Kontestasi Pilkada DKI 2017 yang kadang diwarnai aroma panas persaingan telah dimulai sejak masa kampanye dibuka pada 28 Oktober 2016 lalu. Saling serang antarpendukung kandidat, bahkan sesekali dilakukan oleh kandidat itu sendiri, baik di dunia nyata dan lebih-lebih di dunia maya, kerap tersajikan secara gamblang.
Kini aroma panas persaingan masih terus berhembus, hanya saja tempatnya telah bergeser ke panggung yang lebih terbuka di mana semua pasangan kandidat bertemu muka dan berdebat secara langsung. Inilah panggung debat kandidat pertama dari tiga serial debat yang direncanakan. Debat ini bisa disebut sebagai pertempuran tersisa dari para kandidat untuk bisa memenangi Pilkada DKI Jakarta 2017.
Debat kandidat ini tampaknya telah ditunggu-tunggu oleh publik, khususnya publik Jakarta. Pasalnya, sebelum digelar debat terbuka yang pertama pada Jumat lalu (13/1), pernah juga diadakan dua kali debat kandidat nonformal oleh stasiun televisi, tetapi jumlahnya selalu tidak lengkap. Pasangan pertama tidak pernah datang, sehingga publik sangat menunggu bagaimana performa pasangan ini dalam berdebat.
Analisis Retorik
Dalam literatur komunikasi politik, salah satu pendekatan untuk menganalisis debat kandidat yang notabene merupakan bagian dari kampanye politik adalah retorika. Ada tiga unsur retorika seperti yang dijelaskan Aristoteles, yaitu ethos, logos, dan pathos. Secara sederhana bisa dijelaskan, etos merujuk pada kredibilitas atau integritas komunikator, logos pada argumentasi dan bukti, sementara phatos pada himbauan emosional (Richard West dan Lyn H. Turner, 2008).
Jika melihat pada debat antar tiga pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta yang pertama tadi malam, tampak jelas perbedaan ketiga pasangan tersebut dari tiga unsur retorika di atas. Memang ada keunggulan dari setiap pasangan dilihat dari ketiga unsur retorika tersebut, hanya persoalannya adalah apakah keunggulan itu akan menjadi keuntungan politik yang signifikan ataukah tidak.
Pasangan yang pertama dan terutama yang ketiga cukup menonjol dalam aspek pathos, yakni himbauan emosional. Dengan kata lain, pasangan ini memang piawai untuk membangkitkan emosi khalayak dengan kemampuan retorika. Kepiawaian Anies Baswedan dalam memainkan kata-kata sangat mendukungnya untuk menonjolkan pathos. “Kami tidak menghilangkan orang miskin, tetapi kami menghilangkan kemiskinan,” adalah di antara ungkapan rethorik bernada pathos dari Anies.
Tetapi komunikator politik yang lebih menonjol pada aspek pathos biasanya mengalami kesulitan pada aspek lainnya, terutama logos. Itulah yang terlihat pada pasangan pertama dan ketiga. Meskipun dari sisi visi dan misinya tampak jelas, kedua pasangan calon tersebut ketika berbicara tentang program kerja terlihat gelagapan. Publik tidak melihat apa program kerja yang riil dari pasangan tersebut.
Sementara pasangan kedua yang notabene petahana, yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-DJarot Saeful Hidayat, merupakan kebalikannya, yakni lebih menonjol pada aspek logos. Ahok fokus pada argumentasi dengan menyajikan berbagai data dan bukti atas kinerjanya selama memimpin Jakarta. Data-data tersebut bisa menjadi jawaban atas serangan dari kedua pasangan penantangnya, misalnya, mengenai GINI Rasio di DKI Jakarta yang sempat disinggung Agus-Sylvi.
Sebagai petahana Ahok tentu lebih diuntungkan terkait program kerja karena ia tinggal melanjutkan apa yang telah ia lakukan selama memimpin Jakarta di mana sejumlah pihak mengakui keberhasilannya. Ini yang pada gilirannya membuat kedua pasangan penantang kesulitan untuk menawarkan program kerja yang lebih baik, bahkan terkesan mengajukan program kerja yang serupa dengan petahana, meski dengan kemasan berbeda. Tentu ini tidak menguntungkan bagi mereka.
Efek Debat
Debat kandidat sesungguhnya merupakan arena adu program kerja antar kandidat. Karena itu, di dalam acara tersebut yang diperdebatkan adalah isu-isu konkret yang dihadapi pemerintah dan warga Jakarta. Debat kandidat bukanlah ruang perdebatan akademis di mana seorang kandidat berupaya menyajikan gagasan dengan cara yang canggih seraya mengutip teori atau ungkapan dari sejumlah tokoh.
Debat-debat calon presiden di Amerika Serikat sejak dari debat pertama tahun 1960 antara Kennedy dan Nixon, misalnya, selalu membahas isu-isu konkret yang dihadapi warga AS. Debat capres terakhir antara Hillary Clinton dan Donald Trump juga membicarakan hal-hal konkret seperti masalah kaum imigran, kenaikan pajak, banyaknya aksi terorisme dan lain-lainnya. Semua kandidat kemudian berbicara tentang bagaimana langkah-langkah mereka mengatasi masalah tersebut.
Oleh karena itu, pasangan yang memiliki keunggulan aspek logos sangat diuntungkan dalam debat kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta. Pasalnya yang ditunggu publik dari debat ini adalah program kerja apa yang menjadi andalan para kandidat sehingga mampu menarik simpati warga ibu kota. Ketika satu pasangan bicara dengan jelas dan konkret mengenai program kerja, peluang untuk mendapatkan dukungan warga cukup besar sehingga berpotensi terpilih.
Dengan kata lain, debat kandidat Cagub dan Cawagub Jakarta diyakini memiliki efek terhadap preferensi politik pemilih. Mitchell S. McKinney dan Diana B. Carlin melalui tulisannya “Political Campaign Debates” dalam Lynda Lee Kaid (Handbook of Political Communication Research, 2004: 210), menegaskan bahwa debat kandidat mempunyai efek jika dilihat, misalnya, dari konteks kampanye secara keseluruhan.
Konteks kampanye di sini menekankan antara lain adalah adanya kandidat yang relatif kurang dikenal dan banyaknya pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voters). Agus Harimurti Yudhoyono, misalnya, meskipun sudah dikenal luas karena merupakan anak Susilo Bambang Yudhoyono, dianggap sebagai pendatang baru yang sama sekali belum punya pengalaman. Karena itu, kehadirannya di debat terbuka ditunggu-tunggu sehingga akan memberikan efek kepadanya: menaikkan atau menurunkan citranya.
Sementara itu, para pemilih yang belum menentukan pilihannya juga relatif banyak di Jakarta seperti terlihat dalam sejumlah survei. Rata-rata mereka berada di kisaran angka dua puluh persenan. Biasanya mereka adalah pemilih rasional yang menunggu sampai benar-benar yakin terhadap kapabilitas para kandidat. Dan salah satu hal yang bisa meyakinkan mereka adalah adu program kerja di acara semacam debat kandidat tersebut.
Dalam konteks inilah pasangan yang lebih fokus dan jelas dalam menawarkan program kerja (logos) akan lebih mudah memperoleh dukungan publik. Dengan demikian, pertempuran yang tersisa antar para Cagub dan Cawagub Jakarta melalui debat kandidat ini agaknya lebih menguntungkan pasangan petahana.