Ribuan lilin menyala. Menghadirkan cahaya. Di banyak kota. Tak ada teriakan. Apalagi sumpah serapah. Doa cukup dilantunkan dalam diam. Karena Tuhan tak perlu dipanggil atau dipaksa jadi pembela.
Dalam gelap, lilin memberi terang. Meski tak setajam sinar matahari, lilin mampu menerangi jalan. Saat gelap terus menyergap. Bahkan terkadang lilin-lilin itu harus mengorbankan dirinya demi memberi terang orang lain.
Mengapa begitu banyak lilin dinyalakan? Adakah bangsa ini benar-benar telah berada dalam kegelapan sehingga harus diberi terang, meski oleh sekadar cahaya lilin?
Lorong Kegelapan
Ribuan lilin itu dinyalakan bukan sekadar untuk ritual peribadatan, meski dalam tradisi berbagai agama kerap digunakan untuk tujuan demikian. Namun, kini, lilin-lilin itu dinyalakan, bahkan oleh berbagai kalangan dari keyakinan yang berbeda, sebagai pertanda bahwa ada sesuatu yang gelap di negeri ini.
Ya, kegelapan itu ada di ruang pengadilan. Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok telah divonis dua tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Hakim bahkan memerintahkan agar Ahok langsung ditahan, sekalipun tim pengacara dan Ahok mengajukan banding.
Dari sini saja sudah kelihatan keanehan dari vonis tersebut. Selain keputusan yang lebih besar dari tuntutan jaksa, sesuatu yang jarang terjadi di dunia pengadilan, juga perintah penahanan langsung memantik pula keganjilan. Alasan terdakwa takut melarikan diri dan menghilangkan barang bukti tampak sekali mengada-ada.
Selama ini Ahok selalu kooperatif dan tidak pernah sekalipun mangkir dari pengadilan. Sejak diperiksa Kepolisian sampai mengikuti proses persidangan ia selalu hadir. Dengan demikian, niat baiknya untuk mengikuti proses hukum tak perlu diragukan. Bandingkan dengan tersangka-tersangka lain yang bahkan tidak mau datang memenuhi panggilan Kepolisian. Sebagian malah harus dipanggil secara paksa.
Yang lebih menyayat hati adalah bahwa vonis itu dijatuhkan bukan karena kasus pelanggaran hukum yang benar-benar nyata dilakukan Ahok. Ia didakwa hanya karena asumsi-asumsi yang diberikan sekelompok orang: Penodaan agama. Dan majelis hakim, anehnya, tidak mempertimbangkan pembelaan-pembelaan yang mematahkan asumsi tersebut. Padahal yang mematahkannya adalah orang-orang yang paham tentang agama, sebagian merupakan ulama. Dan, Ahok tetap dinyatakan bersalah.
Semua itu bermula dari adanya pasal penodaan agama yang dituduhkan kepada Ahok. Atas dasar pasal itulah Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara menyimpulkan bahwa Ahok secara sah dan meyakinkan telah melakukan penodaan agama (Islam) melalui pidatonya di Kepulauan Seribu. Uniknya, hal itu bermula dari rekaman video pidato Ahok yang telah diedit oleh seseorang.
Inilah lorong gelap dunia peradilan di negeri ini. Pasal 156, terutama 156 a dalam UU Hukum Pidana (KUHP), yang kerap disebut “pasal karet” itu menjadi momok yang menakutkan. Ia rawan dijadikan amunisi politik oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menyerang atau “menghabisi” rival-rival politiknya. Dan, faktanya hal tersebut kerap terjadi.
Aturan yang sangat multitafsir tersebut dengan mudah diterapkan pada seseorang atau kelompok. Bahkan untuk sesuatu yang abstrak seperti pemikiran atau ideologi pun, seperti Syi’ah dan Ahmadiyah, pasal ini juga bisa diberlakukan. Dua kelompok ini harus berkali-kali berhadapan dengan massa sekelompok umat Islam yang menganggap keduanya telah melakukan penodaan agama.
Berbagai upaya pengujian undang-undang (judicial review) oleh sejumlah kalangan tak kunjung menemukan hasil. Selalu saja ada penolakan. Tentu saja karena sebagian elite politik di negeri ini masih memerlukannya. Mereka bisa berlindung di baliknya untuk menghantam musuh demi melanggengkan kekuasaannya.
Beragam dalih pun, yang kadang-kadang tidak masuk akal, diajukan demi mempertahankan pasal karet tersebut. Antara lain untuk membendung bangkitnya ajaran komunisme di Indonesia. Hal ini, misalnya, seperti yang disampaikan baru-baru ini oleh salah seorang petinggi PKS Hidayat Nur Wahid.
Jelas sekali alasan tersebut sangat subjektif dan, tentu saja, tidak masuk akal. Apa hubungannya penodaan agama dan bangkitnya ajaran komunisme? Komunisme sebagai sebuah ajaran atau ideologi tidak akan pernah mati. Di mana pun. Komunisme sebagai sebuah partai, semisal PKI di negeri ini, boleh saja mati. Tetapi tidak sebagai pemikiran atau ideologi.
Setiap kali ada fenomena penindasan, dominasi kelompok tertentu (kelas dalam bahasa Karl Marx), persekutuan antara penguasa dan agamawan, dan semacamnya, maka ideologi komunisme akan hadir. Ia tak lain adalah kritik atau atau antitesis atas fenomena-fenomena tersebut. Sama sekali bukan sebagai penodaan terhadap sebuah keyakinan atau agama.
Lilin Tetap Menyala
Inilah lorong gelap yang membuat kita berjalan seperti orang buta atau setidaknya rabun sehingga tertatih-tatih. Kita tak bisa memandang sesuatu dengan jernih atau jelas karena ada sesuatu yang menghalangi pandangan kita. Kita tidak bisa membedakan antara kritik dan penghinaan atau penodaan.
Maka, lilin-lilin tersebut akan terus menyala. Bahkan jika ribuan lilin yang tengah menyala tersebut engkau padamkan, sesungguhnya mereka tetap masih menyala. Mereka tidak akan pernah benar-benar padam selama kegelapan masih tetap menyelimutimu.
Lilin-lilin itu akan terus mengetuk pintu hatimu, menelusup nuranimu, dan menyentuh sisi ruang batinmu. Engkau akan tetap merasakan sentuhannya, bahkan jika engkau berusaha menjauhkannya atau membuangnya, dengan cara apa pun.
Lilin-lilin itu sesungguhnya dinyalakan bukan hanya untuk Ahok, melainkan untuk para korban penodaan agama, baik yang telah, sedang, maupun yang akan mengalaminya. Selama pasal karet penodaan agama tersebut masih terus dipertahankan, maka Ahok-Ahok yang lain akan terus berjatuhan.
Maka, lilin-lilin itu akan terus menyala. Dan kita, sebagai bangsa, mungkin selamanya tersesat dalam lorong kegelapan. Meski Tuhan terus mengetuk pintu hati.
Kolom Terkait: