Jumat, Maret 29, 2024

Curhat buat Mantan Pejabat

Fakhri Zakaria
Fakhri Zakaria
Pegawai negeri sipil di sebuah lembaga pemerintah. Pengarang buku LOKANANTA (2016)
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan sambutan dan pidato dukungan kepada pasangan calon Gubernur DKI nomor urut satu Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni di Sentul International Convention Center (SICC), Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (8/2). Tim sukses pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni menggelar acara yang bertajuk silaturahmi paguyuban bersama Rakyat Tangguh Republik Wibawa (RTRW) dan Laskar Masyarakat Kreatif (LMK). ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya/aww/17.
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan sambutan dan pidato dukungan kepada pasangan calon Gubernur DKI nomor urut satu Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni di Sentul International Convention Center (SICC), Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (8/2). ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya/aww/17.

Selalu ada cerita tersisa dari pejabat teras yang selesai masa tugasnya. Secara administratif, tugas yang bersangkutan sudah selesai dalam struktur organisasi. Atas nama penghormatan terhadap segala jasa budinya, beberapa instansi menyiapkan wadah supaya pejabat tadi tetap terlihat punya peran sembari menunggu masa pensiun tiba.

Setelah kebutuhan-kebutuhan dasar terpenuhi, pengakuan dan aktualisasi diri adalah pencapaian berikutnya, merujuk pada hierarki kebutuhan Abraham Maslow. Saat dua elemen tadi belum juga tercapai, manusia akan berusaha dengan segala cara. Ada yang memang sudah nomplok karena garis keturunan, seperti anak lanang yang dapat jabatan karena bapaknya jadi pembesar. Ada pula yang mesti didapat dengan segala daya usaha dari bawah terlebih dahulu. Pendek kata, pengakuan dan dianggap punya peran perlu juga dipenuhi seperti halnya kebutuhan nasi dan penyaluran hasrat birahi.

Saat punya kedudukan sebagai pejabat, peran dan pengakuan tentu akan datang dengan sendirinya seperti banjir Ciliwung saban hujan. Perkara jadi pejabat lewat proses seleksi atau ujuk-ujuk namanya muncul, itu lain soal. Atau selama menjabat tidak pernah membereskan tanggung jawab dan lebih sibuk dengan menyalurkan hobi membuat rumah hantu, itu juga beda perkara. Wong secara konstitusional sudah diketok palu, kok.

Tentu sebagai pejabat keistimewaan menjadi bagian dari fasilitas yang diterima. Tapi dianggap penting dan punya peran krusial itu yang membuat kursi pejabat jadi kursi empuk yang sulit buat ditinggalkan. Saat dianggap penting dan punya peran itulah kebutuhan manusia bisa dikatakan sudah mencapai tingkat paripurna. Tidak mengherankan kalau mempertahankannya perlu usaha jumpalitan.

Usaha-usaha mempertahankan supaya dianggap penting ini yang sering membuat geli. Sebagai gambaran saja, seringkali kita temukan pejabat yang gagap membaca teks pidato sambutan. Maklum, dirinya tinggal terima beres naskah sambutan yang dikerjakan semalam suntuk oleh staf-staf ahlinya supaya tetap terlihat intelek dan penting di semua kalangan.

Juga yang sedang tren: razia sambil marah-marah ke nayapraja yang dianggapnya tak becus. Pokoknya marah dan tunjuk-tunjuk muka di depan awak media dulu. Perkara mereka justru sedang menjalankan perintah si pejabat, itu urusan belakangan. Kalau itu juga belum cukup ada pasangan, utamanya istri, yang bisa diberdayakan sebagai tenaga sukarela untuk perang semesta.

Ada pepatah klasik kalau di balik kesuksesan seorang pria, ada sosok perempuan di belakangnya. Di dunia birokrasi, kerja-kerja para istri pejabat ini diwadahi dalam rupa Dharma Wanita. Kegiatannya beraneka ragam guna memenuhi tuntutan para istri yang punya segepok aktivitas. Mulai kursus kolintang, demo masak dan kecantikan, sampai jadi pembisik untuk penentuan kebijakan.

Dalam situasi darurat, ibu pejabat ini adalah centeng yang ketangguhannya setara dengan Paspampres. Kalau Paspampres urusannya melakukan pengamanan fisik jarak dekat, tugas ibu pejabat berperan menjaga wibawa suami dalam berbagai cara, termasuk menghadapi kroco-kroco kurang ajar yang nekat berkomentar serampangan.

Segala keistimewaan dan peran penting sebagai pejabat akhirnya harus diletakkan kembali saat masa jabatan selesai. Reformasi birokrasi memang membutuhkan energi-energi baru untuk membenahi dapur pemerintahan yang dibiarkan keropos oleh penguasa sebelumnya. Pembenahan ini penting karena masyarakat sebagai pihak yang dilayani kebutuhannya terus berkembang dari waktu ke waktu.

Akan sulit jika memenuhi hajat hidup masyarakat dengan tetap mengandalkan mesin birokrasi lama yang onderdilnya sudah rusak di sana sini. Tentu saja selain perbaikan mesin, juga perlu juru mudi andal supaya rangkaian mesin tadi tidak menabrak ke sana kemari dan tetap berada di track yang sesuai aturan.

Pejabat yang tahu diri akan menarik diri dan memberikan keleluasaan pejabat baru untuk bekerja dengan progam dan kebijakan yang diemban. Mereka akan kembali menjalani kehidupan seperti biasa, seperti mengabdikan diri sebagai pengajar untuk tetap mempertajam daya pikir sembari tetap menyediakan tenaga dan pikiran jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Tentu tak semua pejabat legowo begitu saja. Namanya manusia, pasti masih ada rasa tak puas, meski sudah diberi perpanjangan waktu buat duduk di kursi empuk. Mantan pejabat tipikal begini yang membuat urusan yang seharusnya kelar setelah serah terima jabatan jadi mbulet tak karuan.

Agar si mantan pejabat tak merasa wibawanya turun karena dianggap sudah tidak dibutuhkan, para bedinde berusaha sekuat tenaga agar juragannya tidak muntab (marah besar). Setidaknya setiap hajat-hajat khas birokrasi seperti curah pikir, seminar, atau sosialiasi, si mantan pejabat tadi dengan segala upaya dihadirkan untuk memenuhi kuota narasumber atau memberi sambutan yang sebetulnya tak penting-penting amat.

Mantan-mantan seperti begini yang membuat kinerja birokrasi jadi terganggu. Secara pekerjaan mereka tidak bisa disamakan dengan pegawai lain mengingat embel-embel sebagai mantan pejabat yang seringkali membuat rikuh. Tapi kalau tak diberi beban kerja malah tak lebih dari benalu yang mengganggu. Itu belum ditambah pusingnya mengakali alokasi anggaran supaya wibawa si mantan pejabat tadi tidak turun derajat. Mulai dari membuatkan rumah dinas atau sekadar membayari sopir pribadi agar mobilitas tanda tangan honorarium narasumber tak surut.

Persoalannya, sudah diberi segala macam fasilitas tambahan ndilalah si mantan pejabat masih saja merasa dipinggirkan. Masih ingin ikut urusan dapur sementara juru masaknya sudah berganti resep baru yang mungkin lebih nyamleng. Apalagi kalau si juru masak ini adalah sosok muda, kesayangan segenap kawula, dan tanpa ragu langsung sigap membereskan sisa-sisa kekacauan pesta sebelumnya. Tambah makin panaslah si mantan pejabat tadi.

Terlebih lagi dirinya seperti dianggap sosok gaib. Ada dan seringkali nongol di waktu-waktu tertentu, tapi tetap saja dianggap sebagai makhluk tak kasatmata yang sesekali perlu di-ruqyah supaya tak sering-sering menggangu

Sebelum teknologi memberi fasilitas curhat gratis bernama Twitter, segala uneg-uneg biasanya disampaikan lewat pergunjingan jalur belakang yang hanya diketahui jaringan orang dalam si mantan pejabat. Setelahnya, segala gundah gulana si mantan pejabat mendadak jadi warta yang tersebar sampai ke kolong jagat. Dari menyindir secara halus sampai meminta supaya dirinya paling tidak diajak ikut urun rembuk isu-isu strategis sambil mencicipi bakmi godog dan bakmi goreng.

Tak ada yang salah dengan curhat. Manusia butuh pelepasan emosi. Yang bikin geli kalau mendadak curhat tanpa tedeng aling-aling. Suami istri yang punya ikatan personal dan emosional saja biasanya menunggu cuaca mendukung untuk mengeluarkan uneg-uneg, ini yang cuma mantan pejabat tiba-tiba langsung curhat sepanjang kisah 1001 Malam tanpa diminta.

Sepertinya memang sulit untuk menemukan mantan-mantan pejabat yang benar-benar melakukan ajaran lelaku meninggalkan takhta secara sukarela (lengser keprabon) untuk kemudian hidup di pertapaan sebagai begawan yang mulia nan bijaksana (madeg pandhita). Mengikhlaskan selalu lebih berat dari sekadar melupakan.

Fakhri Zakaria
Fakhri Zakaria
Pegawai negeri sipil di sebuah lembaga pemerintah. Pengarang buku LOKANANTA (2016)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.