Berkhayal itu perlu dan penting. Sebab, ia dapat memberikan kita semacam energi baru terbarukan. Kemampuan seseorang berimajinasi adalah semacam bahan bakar motivasi bagi dirinya sendiri. Tanpa khayalan atau imajinasi, maka sesungguhnya seseorang itu sudah mati karena ia tidak mampu mewujudnyatakan sesuatu yang ilusif menjadi konkret, walau masih sebatas konsep.
Oleh karena itu, saya berpendapat fiksi sebagai bentuk hasil imajinasi adalah gambaran abstrak yang coba kita datangkan dari alam bawah sadar kita menjadi semacam bentuk realita atau kenyataan melalui sudut pandang kita sendiri dalam bentuk yang juga kita angan-angankan. Bisa juga disebut abstrak yang konkret.
Maksud saya adalah ketika kita mengkhayalkan sesuatu (abstrak), maka kita akan berupaya merangkaikan jalan ceritanya sedemikian rupa agar apa yang kita angankan itu tercapai. Dan ketika hal tersebut tercapai dalam benak kita, itulah bentuk nyata (konkret) dari sosok/benda/hal imajinatif yang kita khayalkan sebelumnya.
Itulah sebabnya saya mengatakan bahwa fiksi adalah jalan manusia membawa masa depan ke masa sekarang. Apa yang kita imajinasikan itulah sebenarnya masa depan kita. Siapa yang berani berkhayal dan mewujudkan khayalannya itu, dialah pemenang masa depan sebenarnya. Terlepas khayalannya itu terwujud atau tidak.
Dan itu semua berkorelasi dengan apa yang dikatakan oleh filsuf Yunani, Heraclitus (535 BC-475 BC), sebagai the only thing that is constant is change. Ya, perubahan adalah abadi. Perubahan adalah bahan bakar dari munculnya imajinasi-fiksi dunia. Hal yang bisa memompa manusia untuk terus berpikir dan berkhayal mengubah sesuatu menjadi kenyataan. Walau kenyataan itu bisa berbeda makna dan bentuknya. Tergantung sudut pandang kita.
Nah, pada titik ini menjadi masuk akallah apa yang dikatakan oleh Prabowo Subianto, purnawirawan jenderal Angkatan Darat merangkap Ketua Umum Gerindra itu, tentang bubarnya Indonesia pada 2030 dari perspektif retorika angan-angan. Tentu, agar fiksi ini terkesan nyata, ia akan dibumbui dengan berbagai indikator faktual kekinian yang beliau yakini tepat.
Sah-sah saja dia khawatir tentang kelanjutan masa depan Indonesia melihat fenomena yang diyakininya itu. Antara lain, lemahnya kontrol negara terhadap penguasaan hajat hidup orang banyak, penguasaan lahan oleh 1% orang berduit dan berkuasa, bahwa sebagian besar kekayaan alam kita diambil ke luar negeri, angka kemiskinan yang membesar dan lain sebagainya.
Masalahnya, hal-hal tersebut bukanlah isu baru. Itu adalah isu-isu lama yang di-framing sedemikian rupa semata-mata demi tujuan politik.
Namun, sumber retorika angan-angan itu menjadi menjengkelkan manakala ia disebut melalui kajian akademis dan yang mencengangkan adalah kajian tentang Indonesia bubar 2030 itu ternyata berasal dari sebuah buku novel fiksi berjudul Ghost Fleet karya Peter W. Singer dan August Cole, yang oleh penulisnya sendiri dinyatakan fiksi bukan prediksi. Artinya apa? Sang penulis sebatas mengkhayalkan bahwa Indonesia pada 2030 akan bubar dengan latar belakang perang antara Amerika Serikat dan China.
Lantas, akankah sang penulis akan mewujudkannya? Jawabannya: tidak. Memang, siapa dia rupanya?
Dalam tautan di akun Twitter pribadi penulisnya di @peterwsinger dan @august_cole per tanggal 21 Maret 2018, mereka pun tidak menyangka novelnya bakal menjadi rujukan untuk meramalkan bubarnya Indonesia itu. Intinya, mereka menyayangkan kenapa novel fiksi bisa berubah menjadi alat “ilmiah” untuk meramalkan?
Perihal penulisnya adalah orang-orang ahli strategi intelijen atau apa pun namanya tidak bisa serta-merta menjadi bahan rujukan manakala karyanya hanya berupa novel, apalagi jelas-jelas dikatakan fiksi. Salah satu kehebatan penulis luar adalah kemampuan mereka meramu fiksi menjadi karya yang seolah-olah nyata dan ilmiah. Riset dan penelitian adalah kegiatan yang biasa mereka lakukan. Tinggal kita mau percaya begitu saja atau tidak.
Barangkali berita ini menjadi heboh karena yang mengucapkannya adalah salah seorang ketua umum partai yang berencana maju kembali menjadi calon presiden di republik ini tahun 2019 mendatang. Barangkali ini hanyalah salah satu caranya untuk menarik simpati warga pemilih. Namun, yang saya sangat sayangkan adalah keluguan beliau mempercayai begitu saja karya fiksi penulis asing.
Bukankah novel itu adalah salah satu contoh scenario writing? Bukankah dia sendiri pernah bilang bahwa asing sangat berkepentingan menguasai sumber daya alam Indonesia? Kenapa dia tidak berpikiran bahwasanya novel fiksi tersebut adalah salah satu sarana propaganda untuk membuat gaduh negara-bangsa ini sekaligus memudahkan asing melakukan penetrasi ke Tanah Air?
Lalu, mau dibawa ke mana cerita fiksi sang jenderal ini? Jika seorang calon pemimpin menebarkan pesimisme, akankah kita memilihnya menjadi pemimpin?
Kolom terkait:
Referensi “Wow” Prabowo dan Indonesia yang Hilang di 2030
Prabowo, Oposisi Integratif, dan Demokrasi Kita
Peluang Prabowo Pasca Pilkada Jakarta