Di tengah keprihatinan masyarakat karena lonjakan harga cabai pasca tahun baru, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengeluarkan pernyataan yang kemudian jadi sorotan. Ditanya soal upaya pemerintah dalam meredam harga cabai yang meroket, Menteri Amran justru menyasar ibu-ibu.
Dalam kunjungan ke Desa Tetawatu, Sulawesi Tenggara (12/1/2017), Amran menyatakan, “kalau 126 juta ibu di Indonesia mengurangi gosipnya lima menit dan bergerak menanam cabai, persoalan cabai akan selesai.”
Selain itu, Amran menyerukan agar rakyat “jangan cengeng” dan “tidak meributkan” cabai. Menurutnya, persoalan harga cabai ini terlalu dibesar-besarkan. Amran menambahkan bahwa melambungnya harga cabai ini “hanya satu masalahnya, malas“.
Pernyataan kontroversial ini sontak mengundang reaksi negatif, khususnya dari para netizen yang sebagian besar menyesalkan bapak menteri mengeluarkan pernyataan yang seksis. Sebagian lagi keheranan.
Apa hubungan antara ibu-ibu, bergosip, dan tanam cabai? Mengapa hanya ibu-ibu yang disuruh menanam? Ke mana bapak-bapaknya? Begitu rata-rata komentar yang mewarnai linimasa media sosial, hingga ada inisiatif warga yang mengirim petisi daring untuk menuntut Amran meminta maaf kepada publik dan mundur dari jabatan.
Jangankan mundur atau meminta maaf, klarifikasi tentang pernyataan tersebut datang bukan langsung dari Amran, tetapi dari seorang pejabat Humas Kementerian Pertanian. Ia menyebut bahwa konteks pernyataan Amran adalah bercanda. Justru yang dimaksud Menteri Amran adalah apresiasi terhadap peran ibu-ibu untuk kedaulatan pangan. Menurutnya, ini hanya misinterpretasi bahasa yang digunakan menteri saat berkelakar.
Pernyataan Amran rasanya perlu dilihat bukan hanya sebagai persoalan fatsun dan kepatutan politik (political correctness). Lebih dari itu, menurut saya, penting untuk menempatkan bahasa yang Amran gunakan dalam konteks komunikasi politik dalam membangun diskursus. Apa yang Amran ucapkan bisa dibaca sebagai gejala atas penyakit yang telah mendarah daging dalam wacana publik sehari-hari: politik kambing hitam.
Mencari Kambing Hitam, Menutupi Akar Masalah
Dalam kasus lonjakan harga cabai ini, jika dicermati simpul utama permasalahan bukan dari sisi produksi, tetapi mata rantai distribusi dan permainan harga komoditas oleh tengkulak dan spekulan. Meski harga jual meroket, petani tidak menikmati keuntungannya karena seringkali mereka diminta menjual dengan harga lebih rendah.
Problem mekanisme pasar yang kompleks ini direduksi oleh Amran sebagai imbas dari “kemalasan” untuk menanam. Solusi yang ditawarkan juga akhirnya terlalu menyederhanakan masalah. Alih-alih membereskan persoalan koordinasi dengan Kementerian Perdagangan dan Bulog, Kementerian Pertanian melihat momen untuk gencar melancarkan program pembagian bibit. Tak kurang dari Rp 20 miliar anggaran negara digelontorkan untuk proyek ini.
Pernyataan Amran yang menyerukan “ibu-ibu” menanam cabai juga sebenarnya bagian dari sosialisasi program. Pasca komentar Amran yang seksis, percakapan di dunia maya meningkat drastis mengkritik Amran. Di tahap tertentu, wacana tandingan ini kontraproduktif karena berpusat pada seputar pernyataan kontroversial Amran yang semakin viral dan fokus pada “ibu-ibu”.
Di sini, kita bisa melihat bagaimana politik kambing hitam jadi strategi yang menguntungkan. Pertama, ia menutupi inti persoalan yang sebenarnya, yaitu inefisiensi intervensi pemerintah dalam mengontrol mekanisme pasar. Kedua, dengan melibatkan “ibu-ibu rumah tangga” atau “kemalasan rakyat” sebagai aktor yang dijadikan sasaran dalam narasinya, Amran sesungguhnya menggeser fokus diskusi publik pada sang target alias pengalihan isu.
Selain itu, mari lihat bagaimana bapak menteri tak mengakui kesalahan dan justru menyebut bahwa masyarakat “kurang bersyukur, beras sudah enggak impor selama 32 tahun, tapi cabai teriak. Allah nanti marah,” ujarnya. Atau bagaimana Amran menyarankan agar ibu-ibu “kurangi make-up untuk menanam cabai, nanti tetap disayang suami“. Narasi semacam ini secara tidak langsung menciptakan kerangka moral bagi target yang disasar: apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan.
Dalam mekanisme politik kambing hitam, insentif moral ini tak hanya bertujuan untuk menyalahkan atau membebani target, tetapi juga membuat target (yang mungkin sebenarnya adalah korban) merasa bertanggung jawab. Kerangka normatif semacam ini juga memberikan justifikasi dan legitimasi bagi program yang dilakukan. Narasi Amran seolah-olah mengatakan bahwa program pembagian bibit ini baik karena menyediakan wadah bagi ibu-ibu melakukan tugas mulia membantu negara dan bangsa untuk memproduksi cabai.
Mengapa “Ibu-ibu” yang Jadi Sasaran?
Harus diakui bahwa di Indonesia kultur patriarki masih mengakar kuat dalam masyarakat. Tempat perempuan adalah di rumah, urusan dapur menjadi kewajiban perempuan, istri, ibu. Perempuan sulit punya akses pada sumber daya ekonomi dan politik, karena perannya direduksi, seolah mereka cukup jadi manajer urusan domestik.
Dari pernyataan Amran, kita bisa menakar betapa diskriminasi terhadap perempuan dilanggengkan dalam wacana sehari-hari, dan mungkin dianggap lumrah.
Pertama, Amran salah kaprah menyebut 126 juta “ibu” di Indonesia. Sensus Penduduk 2010 mencatat 126 juta adalah jumlah penduduk perempuan. Dari sini bisa dilihat bahwa Amran mengasumsikan semua perempuan sebagai ibu. Kedua, penggunaan bahasa yang tidak sensitif dalam mengenali kategori sosial ini diperparah dengan mereduksi citra ibu dengan stereotipe “gosip” dan “make-up”, serta dianggap “malas”.
Jauh dari mengapresiasi peran ibu (seperti klaim pejabat Humas Kementan), pernyataan Amran justru mereproduksi narasi yang mengerdilkan peran perempuan. Padahal perempuan di Indonesia justru berjuang mengalami hambatan struktural. Menurut data Badan Pusat Statistik (2013), jumlah perempuan yang bekerja hanya sekitar 50% dari laki-laki. Dari jumlah tersebut, rata-rata pekerja perempuan digaji hanya 87,64% dari gaji yang diterima rekan kerja laki-lakinya.
Bagi banyak perempuan, bekerja bukan hanya aktualisasi diri atau pilihan, tapi kewajiban (dan tanggung jawab) untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Setelah di tempat kerja bersusah payah bekerja lebih keras untuk mendapat hak setara, di rumah para perempuan juga diharapkan melakukan sebagian besar pekerjaan rumah tangga. Kemudian bapak menteri ingin menambahi beban menanam cabai? Sungguh terlalu.
Tak hanya persoalan pangan, dalam banyak isu lain kita bisa menemukan bagaimana perempuan dikambinghitamkan, dijadikan target sasaran kesalahan. Contohnya, dalam diskusi tentang korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut bahwa istri konsumtif adalah penyebab suami korupsi, dan selalu ada yang meresonansi pemahaman ini.
Ketika warga Jakarta diresahkan oleh maraknya perkosaan di angkot, gubernur saat itu dan beberapa ormas agama menyerukan agar para perempuan tidak memakai rok mini atau celana ketat. Logika victim-blaming ini turut dipelihara oleh media lewat pemberitaan kriminalitas.
Di tengah aksi Kartini Kendeng menolak pembangunan pabrik semen, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo justru mempertanyakan siapa dalang yang “mendesain” aksi tersebut, seolah para petani perempuan ini tak cukup kuat untuk menyuarakan diri mereka sendiri. Tak hanya pemerintah, pola pikir serupa juga digunakan oleh kelompok sosial yang ironisnya juga mengkritisi pemerintah.
Masih ingat dengan organisasi mahasiswa Lingkar Studi Ciputat yang memakai pakaian dalam wanita untuk demo Jokowi-Jusuf Kalla?
Jika kita melihat persoalan kambing hitam dalam konteks lebih luas, perlu disadari bahwa perempuan bukan satu-satunya kelompok sosial yang rentan untuk dijadikan bantalan kesalahan. Warga miskin dan kelas bawah seringkali juga dijadikan atas kegagalan tata kelola kelompok penguasa.
Jakarta punya segudang cerita soal ini: dari penggusuran, reklamasi, sampai demokrasi yang bisa dibeli politik uang, semuanya mengutip warga miskin sebagai yang bersalah, dan biasanya diberi embel-embel bahwa mereka “malas” (ya, sama persis seperti yang diucapkan Menteri Amran).
Saya kira kita perlu memahami praktik politik kambing hitam agar tak ikut tersesat dalam wacana publik yang sudah seperti benang kusut, saling menyalahkan sana-sini. Tesis René Girard (1989) tentang scapegoat bisa dijadikan kerangka berpikir untuk mengenali siapa yang jadi target dalam politik kambing hitam.
Filsuf Prancis ini berargumen bahwa yang dikorbankan adalah mereka yang marjinal dalam struktur sosial. Meminjam bahasa Girard, si kambing hitam dipilih karena ia adalah “target yang mudah, tanpa perlu khawatir akan timbul perlawanan”.
Ketika yang lemah jadi “yang bersalah”, viktimisasi menjadi tak terelakkan. Tanpa adanya kekuatan dan sumber daya untuk mobilisasi yang terorganisir, sulit bagi kelompok-kelompok ini untuk membangun resistensi yang berarti. Yang paling mudah dilakukan akhirnya sebatas hujatan di media sosial atau petisi daring, itu pun oleh mereka yang punya akses terhadap teknologi.
Mencari kambing hitam mungkin retorika yang mudah dan familiar bagi para politisi. Tetapi, perlu digarisbawahi bahwa ini bukan strategi yang konstruktif untuk pembangunan sosial. Tak hanya soal pengalihan isu, retorika politik yang mengusung semangat “cari-cari kesalahan” punya konsekuensi yang lebih besar, terutama ketika paradigma ini dipakai untuk membuat kebijakan yang justru melanggengkan ketimpangan.