Bagi tim pemenangan dan aktor politik yang terlibat dalam Pilkada Jakarta, dengan terpilihnya Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta sebagai pemenang, menganggap kampanye telah usai boleh saja. Namun, tidak bagi efek torehan “luka” yang ditinggalkan melalui mobilisasi massa dengan politik SARA sebagai senjata untuk menghujat dan menghantam serta intimidasi sebagai mesin di akar rumput, misalnya dengan menjadikan masjid sebagai ruang politik untuk memupuk intoleransi.
Efek destruktif ini menjadi mesin stereotip dan akumulasi kebencian yang membadan dalam keseharian masyarakat, yang suatu saat bisa dengan mudah dikeluarkan hanya karena mereka berbeda baik, etnik, ideologi, ataupun agama. Karena itu, pengabaian atas efek torehan luka sosial ini, dengan mengatakan bahwa usai Pilkada DKI seluruh elemen masyarakat baik-baik saja, merupakan bentuk pengingkaran terbesar bahwa brutalitas dengan menggunakan sentimen agama dan etnik di level bawah merupakan cara baru untuk mengalahkan lawan politik di ruang publik dan demokrasi elektoral.
Alih-alih mendapatkan penghormatan, kemenangan dengan cara tersebut justru memunculkan pertanyaan besar, apakah mendapatkan kemenangan harus dengan cara brutal seperti itu dengan merobek tenun kebangsaan yang sebelumnya selalu didengung-dengungkan?
Becermin dari pertanyaan ini, penghormatan dan simpati publik justru diberikan kepada yang kalah, yakni Ahok-Djarot. Hal ini tergambar dari pelbagai karangan bunga yang terus berdatangan di Balai Kota DKI Jakarta untuk mengekspresikan rasa sayang dan empati kepada Ahok-Djarot. Kerja-kerja adminstratif dan infrastruktur dengan mengutamakan keadilan sosial dan ekonomi melalui program-program bantuan untuk masyarakat kelas bawah membuat mereka sedih dan tidak bisa move on.
Namun, di satu sisi, mereka mengucapkan terima kasih atas kerja-kerja Ahok-Djarot. Kerja mereka berdua telah menjadi monumen ingatan bahwa setelah Ali Sadikin, Jakarta pernah memiliki gubernur keren bernama Ahok. Karangan bunga yang berdatangan tersebut merupakan cermin betapa hati nurani masih memberikan ruang untuk tetap menggerakan kemungkinan masa depan Jakarta dan Indonesia yang damai.
Karangan bunga itu juga cermin bahwa Indonesia pernah memiliki Gubernur DKI Jakarta yang jujur dan berani, meski kejujuran dan keberaniannya yang menarik empati publik untuk berpihak harus dibayar mahal. Meminjam ungkapannya sendiri bahwa menjadi seorang Gubernur di Jakarta harus seperti Nemo. Kendati berbadan kecil dan tampaknya tidak memiliki tenaga, rasa empati besar dan itikad kuat Nemo membebaskan kawanan ikan besar yang terjebak jaring nelayan menggerakkan hatinya untuk menolong mereka.
Awalnya, tidak ada satu pun kawanan ikan tersebut yang mau mengikuti seruan Nemo agar berenang ke bawah dan berlawanan arah, melawan tekanan jaring yang sedang dinaikkan secara otomatis. Sikap keberanian Nemo ini yang ditentang oleh Marlin, sang Ayah, saat itu. Ia khawatir Nemo akan terjerumus dalam jaring tersebut.
Perkiraan Marlin benar, kawanan itu akhirnya terlepas dari jaring. Namun, alih-alih mengucapkan terima kasih, mereka pergi begitu saja setelah terbebas dari jeratan jaring. Ironisnya, karena gencetan kawanan ikan tersebut, Nemo pingsan tergeletak tak sadarkan diri dan masuk dalam jebakan jaring tersebut. Metafora ini secara ringkas dijelaskan oleh Ahok saat kedatangan tamu anak-anak TK.
Lebih jauh ia mengungkapkan, “Jadi inilah yang harus kita lakukan, sekalipun kita melawan arus semua, melawan semua orang berbeda arah, kita harus tetap teguh. Semua tidak jujur, nggak apa-apa, asal kita sendiri jujur. Mungkin setelah itu tidak ada yang terima kasih sama kita, kita tidak peduli karena Tuhan yang menghitung untuk kita, bukan orang.” (detik.com, 25 April 2017).
Metafora ini juga menjadi cermin kepada siapa saja bahwa badai fitnah dan tekanan akan selalu datang kepada mereka yang serius membangun Jakarta dan Indonesia. Dengan demikian, becermin dari penjelasan tersebut, kemenangan Anies-Sandi ini mengisyarakatkan tiga hal penting sebagai pekerjaan rumah yang harus dilaksanakan.
Pertama, Anies-Sandi harus membuktikan bahwa terpilihnya mereka berdua dengan meraih 52 persen suara bisa mempersatukan warga Jakarta yang telah mendapatkan torehan luka sosial selama proses kampanye Pilkada Jakarta. Agar keamanan dan stabilitas tetap terjaga tanpa adanya intimidasi dan teror atas nama agama seiring naiknya kelompok konservatif yang justru membantunya memenangkan pilkada.
Kedua, Anies-Sandi harus membalikkan keadaan agar seluruh warga Jakarta memiliki harapan ke depan yang lebih baik, sesuai janji-janji politiknya dengan mengedepankan hak-hak publik dan konstitusi tanpa melihat agama, etnik, dan kelas warga Jakarta dengan jargon persatuan.
Ketiga, dengan metafora Nemo tersebut, Anies-Sandi harus memiliki keberanian dan kejujuran dalam membangun Jakarta dari para perampok anggaran APBD yang selalu mengintai dalam setiap periode pemerintahan. Jika ketiga hal ini tidak dilakukan, alih-alih membayangkan diri menjadi Nemo, mereka berdua akan menjadi tak ubahnya seperti kawanan ikan besar yang justru masuk dalam jebakan penghisap anggaran negara.
Pertanyaannya, apakah mereka berdua bisa melakukan ketiga hal tersebut? Hanya waktu dan kerja-kerja keberpihakan kepada kebenaran yang bisa menjawabnya dalam membangun Jakarta. Hal ini penting diingatkan karena Jakarta tidak lagi milik sekelompok orang, tapi masyarakat Jakarta seluruhnya dan Indonesia.
Apa pun, tak mudah dibantah, dalih membangun sentimen agama untuk memupuk kekuasaan dan akumulasi kapital demi kepentingan individu dan kelompok yang telah berjasa memenangkannya ke kursi jabatan yang dibidik selalu meminta jatah uang keringat atas investasi yang telah mereka tanam.