Kamis, Mei 2, 2024

Bumi Dipijak, Merah Putih Berkibar

Ali Romdhoni
Ali Romdhoni
Pengajar FAI Universitas Wahid Hasyim, Semarang. Saat ini sedang studi doktoral di Heilongjiang University, China. Pengurus Cabang Istimewa NU Tiongkok.

[ilustrasi]
Siang itu, kami berada di pusat perbelanjaan di Harbin, China. Di salah satu bagian tempat penjualan barang, pihak manajemen menghiasi sudut ruangan itu dengan bendera dari berbagai negara di dunia. Melihat puluhan bendera negara yang dikibarkan di ruangan itu, puteri saya segera mencermatinya satu persatu.

“Lho, Yah… kok bendera merah-putih tidak ada,” tanya puteri saya yang sebentar lagi akan naik ke kelas tiga sekolah dasar itu dengan nada protes.

Dia meributkan persoalan bendera Indonesia tidak sekali dua kali. Di tempat tinggal kami pun, saya diminta memasang si merah-putih di depan pintu masuk rumah. “Supaya orang-orang tahu bendera negara Indonesia,” katanya memantapkan saya.

Karena faktor harus mengikuti orangtuanya studi di luar negeri, secara tidak langsung puteri kami terdidik untuk mencintai negaranya. Iya, keadaan telah membuat dia merasakan kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari, bahkan merindukan tanah kelahirannya.

Subjek bernama “Indonesia” kemudian hadir di dalam kesadaran hati dan fikiran anak berusia delapan tahunan ini. “Indonesia” hadir sebagai bendera merah-putih yang harus berkibar di antara bendera-bendera negara lain. Menjadi warga negara Indonesia kemudian membuat dirinya merasa harus mengenalkan nationality-nya kepada orang-orang yang dia temui, dan lain sebagainya.

Sekali lagi, keadaan mendidik seseorang untuk lebih mencintai negaranya.

Perihal yang demikian tidak hanya terjadi pada anak saya, atau saya sendiri. Teman-teman kami sesama mahasiswa Indonesia di China juga kerap mengungkapkan perasaan yang sama. Di negara orang tempat mereka belajar, nasionalisme mereka mengental.

“Kami adalah orang Indonesia,” demikian kata yang selalu terucap ketika kami berkenalan dengan orang lain.

Di negeri orang, kami hidup di tengah-tengah masyarakat asing, bertetangga dengan orang-orang yang berkewarganegaraan berbeda. Maka, dari itu, kami tidak memiliki identitas lain, kecuali sebagai orang Indonesia.

Kami tidak mungkin mengidentifikasi diri sebagai kelompok dari komunitas tertentu, atau orang desa ini yang membedakan diri dengan orang dari desa lain. Kami tidak mungkin mengenalkan diri sebagai anggota dari partai tertentu, atau warga dari suku tertentu.

Kami hanya memiliki satu rumah dan satu identitas, yaitu Indonesia. Siapa pun orangnya bila berasal dari Negara Indonesia, maka dia adalah saudara, sebangsa. Dalam kondisi demikian, rasa keindonesiaan dan solidaritas kami sebagai satu bangsa teruji.

Kami akhirnya memahami, kalaupun bersama-sama berada dalam satu lingkaran (organisasi, persatuan) akan tetap saja terlihat kecil. Apalagi kalau kami berceceran di luar lingkaran, maka akan semakin kaburlah keberadaan kami di negeri orang.

Ketika pada suatu saat ada orang yang mengenal Indonesia dan menyimpan kesan positif, kami tersanjung dan sangat bangga. Namun, ada kalanya kami bertemu dengan orang yang belum mengetahui Negara Indonesia. Dalam kondisi demikian, kami sedikit kecewa. Lebih kecewa lagi bila ada orang yang mengetahui Indonesia, namun yang dia catat sebagai kesan adalah hal yang negatif. Wah, kami bisa sangat malu.

Saya sendiri beberapa kali berkenalan dengan orang China yang tidak mengetahui Negara Indonesia. Memang dia belum tahu. Tetapi ada juga orang China yang tidak mengetahui Indonesia, padahal dia sangat faham dan ingin berlibur ke Pulau Bali. Dia baru mengerti ketika saya jelaskan bahwa Bali itu ada di Indonesia.

“Huh, payah,” gerutu saya dalam hati. Terus, Bali itu dia kira ada di mana? Iya, kan?

Bentuk cinta dan bangga kami—mahasiswa Indonesia di Harbin, China—kepada nusa dan bangsa juga kami wujudkan dengan mengenalkan bahasa dan budaya bangsa Indonesia kepada masyarakat internasional. Dengan dukungan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing, China, mahasiswa Indonesia di Kota Harbin, Provinsi Heilongjiang, membuat organisasi Pusat Pembelajaran Bahasa Indonesia atau PPBI.

Pada setiap periode pembelajaran, puluhan mahasiswa asing dari berbagai negara seperti dari China, Yaman, Pakistan, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Thailand, Korea, Rusia, Kenya, Sudan, Mesir, Laos, Kamboja, Amerika, Jerman, dan lainnya dengan antusias mengikuti program kursus bahasa yang tidak dipungut biaya ini. Ketika di akhir masa pembelajaran diadakan lomba berbahasa Indonesia, mereka dengan sukarela mendaftarkan diri menjadi peserta.

Tidak hanya itu, melalui wadah Persatuan Pelajar Indonesia atau PPI di Harbin, China, mahasiswa Indonesia setiap tahunnya juga menggelar Festival Budaya Indonesia. Selain mengadakan pameran seni dan budaya Indonesia, para mahasiswa mempersembahkan pementasan kesenian drama.

Terselenggaralah pagelaran unik, seni ketoprak (Jawa) yang dikolaborasikan dengan seni opera. Pementasan drama yang menonjolkan kualitas dialog, perkelahian dan musik, membawakan cerita-cerita khas Nusantara, seperti kisah Rara Jonggrang dan Raja Arok dari Singasari.

Ada satu harapan dari kegiatan yang merupakan ekspresi dari rasa memiliki kami terhadap negeri Indonesia, yaitu agar Indonesia semakin dikenal oleh masyarakat internasional. Dikenal dengan keluhuran budi masyarakatnya, serta keagungan budaya bangsanya.

Karena itu, hati kami sedih ketika mendengar masyarakat Indonesia yang tinggal di dalam negeri justru selalu ribut, bertengkar dengan sesama saudara sendiri. Kami malu bila mengetahui bahwa orang Indonesia justru asyik membuka aib sudara dan bangsanya sendiri. Lebih-lebih kalau kami mendengar kelakuan orang Indonesia yang demikian dari teman mahasiswa asing yang lebih dahulu membaca kabar dari media. Tetapi, mau bagaimana lagi.

Dirgahayu Republik Indonesia. Bersatulah bangsa Indonesia. Cintai bangsa dan saudara kita sendiri.

Baca juga:

Ben Anderson, Tragedi, dan Rekonsiliasi

Sebuah Pertanyaan Untuk Nasionalisme

Titik Balik Nasionalisme

72 Tahun Kemerdekaan dan Isu-isu Krusial Kita

Ali Romdhoni
Ali Romdhoni
Pengajar FAI Universitas Wahid Hasyim, Semarang. Saat ini sedang studi doktoral di Heilongjiang University, China. Pengurus Cabang Istimewa NU Tiongkok.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.