Kamis, April 25, 2024

Badut-Badut Jakarta: Dari Rumah Lapis hingga Trotoar Atlet

Eko Kuntadhi
Eko Kuntadhi
Pegiat Media Sosial
[foto: vivanews.com]

Mencermati berita-berita yang tersebar belakangan ini tentang Jakarta, mungkin Anda bisa mual. Apalagi bila mengikuti ocehan dua pemimpin Jakarta yang baru. Kita pasti akan dibuat bengong membacanya.

Gubernur bicara soal rumah lapis untuk menjelaskan kebijakan soal perumahan di Jakarta. Istilah yang diperkenalkannya agak unik. Sebetulnya seperti mau ngeles menggunakan idiom rumah susun yang digunakan Ahok. Waktu kampanye, dengan nyinyirannya, dia memang mencela ide rusunawa yang sedang dikembangkan Ahok.

Tapi setelah berkali-kaki ngeles dengan ngomong muter-muter, akhirnya dia mengakui rumah lapis legit itu ya sama dengan rumah susun. Kemampuannya mengganti istilah memang jago. Bikin orang mengernyitkan dahi.

Setelah itu muncul lagi kebijakan aneh lainnya. Misalnya dengan mengatakan trotoar untuk kendaraan roda dua. Atau rencana mencabut larangan sepeda motor di jalur utama Sudirman-Thamrin.

Apalagi wakilnya. Ini lebih aneh lagi. Anehnya sudah pada level gak ketulungan. Dia menuding pejalan kaki penyebab kemacetan di Tanah Abang. Malah membela pedagang kaki lima yang tadinya sudah bersih untuk kembali lagi memenuhi jalanan di sana.

Dalam soal trotoar, wakil ini punya ide aneh: akan menjadikan tempat tersebut sebagai lokasi atraksi atlet. Entah apa yang dimaksud dengan atraksi atlet. Ini trotoar, bukan stadion.

Lalu menanggapi demo buruh, dia berkomentar semoga demo itu akan menjadi hiburan warga Jakarta. Gila! Demo pasti memacetkan jalan. Bagaimana hal itu bisa jadi hiburan?

Ada banyak statemen yang jika kita pandang dari sisi akal sehat tergolong ngaco dan lucu. Tapi setiap hari kita disuguhkan oleh komentar-komentar ini.

Ada beberapa kemungkinan kenapa dua orang ini selalu membuat statemen yang aneh, provokatif, dan cenderung bikin berkernyit. “Baru kali ini ada pemimpin daerah menyalahkan pejalan kaki yang membuat macet. Ini pertama dan satu-satunya di dunia,” ujar teman saya.

Kemungkinan pertama, mereka berdua bingung beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru. Tapi posisinya telanjur terpilih. Bingung yang saya maksud adalah lebih banyak gak tahunya ketimbang mengerti bagaimana mengelola pemerintahan daerah.

[ilustrasi rumah lapis]
Artinya, kemungkinan pertama, semua statemen itu keluar dari ketidakmengertiannya. Jadi, memang segitu kualitas dan cara berpikirnya.

Kedua, sebetulnya mereka orang pintar. Nah, segala keanehan itu sengaja dilakukan agar mata publik terus tersorot padanya. Kita tahu politik elektoral ini membutuhkan popularitas. Semakin rendah tingkat popularitas seseorang, semakin rendah  juga tingkat elektabilitasnya. Begitu juga sebaliknya.

Dengan kata lain, mereka berusaha untuk masuk ke top of mind publik, meski dengan cara seaneh Jim Carrey dalam film Dumb and Dumber. Popularitas nomor satu.

Toh, nanti jika membutuhkan elektabilitas, mereka tinggal belokkan saja dengan isu baru yang lebih mengena. Sekarang yang penting popularitas dulu.

Statemen Gubernur yang selalu nampak beroposisi dengan kebijakan Presiden bisa dilihat juga sebagai bagian dari strategi itu. Ujungnya adalah Pilpres 2019.

Lihat saja Wagub yang sering menggunakan istilah agamis. Bahkan untuk menyelesaikan kasus tenaga kerja Alexis dia menyuruh ikuti pengajian atau celetukannya mengubah Alexis jadi Al-Ikhlas.

Jika ini yang ditargetkan, tampaknya memang lumayan berhasil untuk sementara. Publik yang masih waras otaknya bereaksi terhadap statemen mereka yang memang menantang akal sehat.

Jadi, kemungkinannya memang hanya dua: warga Jakarta punya pemimpin yang “aneh”. Atau punya pemimpin yang sangat ambisius menapaki jalan vertikal politik. Jadi, gak terlalu penting juga dengan hasil kerja di DKI.

Kenapa di mata mereka gak penting? Kerja itu butuh proses. Butuh waktu. Baru bisa dirasakan hasilnya. Berbeda dengan omongan, gak butuh waktu untuk didapati reaksinya.

Sementara 2019 sebentar lagi. Kalau mereka fokus bekerja, akibatnya rakyat butuh waktu juga untuk mendapatkan hasilnya. Tapi apakah mereka sesabar itu?

Itulah masalahnya. Ada kemungkinan segala kesejukan statemennya yang bikin mual, cuma salah satu target agar mereka menjadi top of mind di benak publik.

Jika harus dilakukan dengan membadut, ya gak apa-apa. Toh, pengalaman kita, ingatan publik di Indonesia itu pendek sekali. Bagi mereka, jauh lebih mudah mengubah badut jadi pahlawan, ketimbang menempelkan nama mereka secara positif di kepala publik.

Baca juga:

Kegalauan Anies, Kemaksiatan Alexis

Anies-Sandi dan Mimpi Punya Rumah tanpa DP

Mau ke Mana Kebijakan Transportasi Anies-Sandi?

Memulangkan Trotoar pada Khitahnya

Anies-Sandi versus PKL Tanah Abang

Eko Kuntadhi
Eko Kuntadhi
Pegiat Media Sosial
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.